Monday, August 5, 2013

Restrukturisasi Industri Pertahanan Nasional


Indonesia berpotensi besar untuk mengembangkan industri pertahanan yang kuat. Namun, kecilnya anggaran yang diperoleh setiap tahun menjadi kendala dalam mengembangkan industri strategis tersebut.

Setidaknya ada 10 industri strategis yang kini dikembangkan pemerintah, yakni PT Dirgantara Indonesia (industri pesawat terbang, PT PAL Indonesia (pabrik kapal), PT Pindad (untuk industri senjata/pertahanan), PT Dahana (industri bahan peledak), PT Krakatau Steel (industri baja), PT Barata Indonesia (industri alat berat), PT Boma Bisma Indra (industri permesinan/diesel), PT Kereta Api (industri kereta api), PT Telekomunikasi Indonesia (industri telekomunikasi), dan PT LEN (industri elektronika dan komponen).

Kesepuluh industri strategis tersebut memiliki peluang besar untuk dikembangkan menjadi pusat unggulan teknologi sesuai dengan jenis industrinya, termasuk dalam mendukung industri militer. Meski menghadapi sejumlah tantangan, Indonesia masih memiliki prospek dan peluang yang baik dalam membangun industri pertahanan yang kuat.

Penelitian yang dilakukan Richard A Bitzinger (Towards a Brave New Arms Industry, 2003) menunjukkan Indonesia merupakan satu dari tujuh Negara besar di dunia yang diprediksi bakal menguasai industri pertahanan dunia. Negara-negara tersebut adalah Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Eropa Barat, Brasil, India, dan Indonesia. Ketujuh negara tersebut juga akan memiliki pertahanan yang terkuat di antara negara-negara di dunia, kelak.

Kontribusi terhadap Ekonomi 
Namun, ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam membangun industri pertahanan. Kita ketahui bahwa perdagangan senjata tak dapat disamakan dengan bisnis produk lain yang bebas diperdagangkan. Selain itu, semakin banyak negara yang memproduksi senjata ringan,  semakin ketat pula persaingan yang terjadi.

Penyebab lain adalah industri pertahanan terlalu menggantungkan kelangsungan perusahaan dari bisnis inti, yaitu produksi senjata. Meski dihadapkan pada sejumlah tantangan, kita tak boleh pesimistis. Indonesia adalah negara besar dengan potensi pasar yang juga besar.

Hal ini bisa dimanfaatkan dengan mengembangkan industri pertahanan yang bersifat captive market yakni menjadikan negara sendiri sebagai pembeli potensial.  Di samping itu, perlu diversifikasi usaha, di mana industri pertahanan harus bisa mengembangkan bisnisnya yang diarahkan berimbang dengan produk komersial.

Menurut Aimo Vayrynen, kemajuan industri sipil dapat dikembangkan untuk kepentingan militer seperti peralatan baru dan tenaga manusia. Jadi terdapat hubungan yang reversible antara industri militer dan industri sipil.

Bahkan di negara maju, industri sipil berkembang baik dengan ditopang oleh kemajuan industri militer. Hasil-hasil riset industri militer ditransfer ke industri sipil dan diproduksi untuk kepentingan masyarakat sehingga punya kontribusi dalam pembangunan ekonomi. Hal ini dikenal sebagai peranan militer dalam kehidupan masyarakat. Hal ini didasari konsep bahwa poduk militer tidak semata-mata untuk kepentingan pertahanan keamanan (defend needs) tetapi juga berkontribusi pada pembangunan ekonomi.

Karena itulah industri pertahanan Indonesia juga perlu diversifikasi usaha, dengan mengembangkan bisnis yang berhubungan dengan produkproduk komersial dan kegiatan bisnisnya terintegrasi dengan pengembangan industri nasional.

Pendanaan Berkelanjutan
Salah satu tantangan yang dihadapi industri strategis, khususnya industri pertahanan, adalah masalah keuangan dan pendanaan. Apabila pembeli utama alat utama sistem senjata (alutsista) kita adalah bangsa kita sendiri — dalam hal ini TNI – kita pasti akan dihadapkan dengan adanya keterbatasan anggaran. Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, misalnya, alokasi anggaran pertahanan hanya sebesar 1,1% dari produk domestik bruto (PDB). Ini pun angka penyerapan jauh di bawah angka tersebut.

Dalam tiga tahun terakhir belanja pertahanan berturut-turut sebesar 0,92% dari PDB (2007), 0,70% PDB (2008), dan 0,63% PDB (2009). Menurut Buku Putih Pertahanan yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan pada 2008, dalam 2-3 tahun mendatang total anggaran pertahanan diharapkan  dapat mencapai di atas 1% dari PDB dan selanjutnya meningkat menjadi minimal 2% dari PDB dalam kurun waktu 10-15 tahun ke depan.

Sementara itu, menurut Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, kebutuhan anggaran untuk memenuhi rencana kekuatan pokok minimal persenjataan TNI diperkirakan mencapai Rp 150 triliun yang sebagian besar diambil dari RPJMN 2010– 2014. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 100 triliun diambil dari RPJMN 2010–2014. Dengan demikian masih terdapat kekurangan sebesar Rp 50 triliun yang masih harus dicari.

Kecilnya anggaran pertahanan memang menjadi kendala bagi industri pertahanan kita. Ini masih ditambah lagi beberapa faktor, seperti jumlah permintaan dalam satu pesanan yang acapkali relatif kecil jumlahnya. Sistem anggaran yang bersifat tahunan juga menjadi kendala tersendiri. Tanpa adanya base-load berupa kepastian jumlah order, kepastian waktu, mutu, dan harga yang disepakati bersama dalam pengadaan alutsista, kita akan tetap kesulitan mengembangkan industri pertahanan yang berkelanjutan dan berdaya saing.

Bagaimanapun industri pertahanan memerlukan pendanaan yang berkelanjutan mengingat masa produksinya cukup panjang dan memerlukan skema pendanaan yang bersifat tahunan ganda, dengan bunga yang kompetitif, karena industri pertahanan masuk kategori slow yield industry.

Dengan demikian, salah satu solusi adalah menyediakan sistem pendanaan APBN yang memungkinkan alutsista dibelanjakan secara tahunan ganda (multiyears). Selain itu, perlu pula adanya penjaminan bahwa pembelian alutsista akan dibiayai oleh lembaga keuangan/perbankan nasional. (Investor.co.id)

Penulis adalah dosen dan tim ahli di DPR RI





No comments: