Monday, August 12, 2013

Ceramah Pak Habibie di Aachen


Pada tanggal 30 Juli lalu, I4 (Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional) mengadakan kuliah tamu yang dihadiri mantan karyawan IPTN, peneliti, dan mahasiswa Indonesia di Aachen, Jerman. Pembicaranya adalah Pak Habibie yang menghabiskan masa-masa mahasiswa-nya di RWTH, Aachen. Isi pembicaraan Pak Habibie cukup banyak dan kadang membuat dahi saya mengereyit. Mungkin pemilihan kata beliau yang kurang akrab di telinga saya dan juga otak saya yg kurang nyambung untuk merangkai rentetan ide-ide beliau.

Isi kuliah beliau berkisar tentang kemajuan Indonesia yang berhasil dicapai dalam bidang penerapan teknologi. Hal ini bisa terlihat dari berkembangnya industri pesawat terbang (IPTN, PT DI), kereta api (INKA), kapal (PT PAL), dan telekomunikasi (Telkom). Perkembangan Indonesia sangat pesat dari yang dimulai dari tahun 1975-an (ketika beliau pulang dan mulai membangun industri strategis di Indonesia) sehingga pertengahan 1990an sudah bisa membuat pesawat terbang sendiri (N-250 yang terbang perdana tahun 1996). 

Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang mampu dan sejajar dengan bangsa lain dalam hal teknologi. Selain itu, Pak Habibie juga menghimbau agar kita tidak mendiskriminasikan seseorang berdasarkan suku, agama dan ras dalam hal perekrutan dan kerja sama dalam membangun Indonesia. Beliau tidak perduli tentang latar belakang suku, agama dan ras ketika merekrut seseorang. Sejalan dengan itu, asal sesama anak bumi pertiwi, kerja sama akan ditempuh asal menguntungkan. Yang menarik juga, Pak Habibie masih semangat untuk mendorong kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia ke depan. Beliau tidak mempermasalahkan periode masa lalu yang sempat melemahkan industri-industri strategis Indonesia.

Berbicara tentang industri strategis, berikut saya ringkaskan pandangan beliau:

  • Indonesia tidak perlu riset dasar kecuali negara lain tidak ada yang mau riset bidang tersebut. Saat ini, riset di Indonesia sebaiknya diarahkan ke penerapan teknologi. Kita buat pesawat tanpa perlu bikin sofwer sendiri, tanpa perlu riset material komposit, dll. Tetapi setelah berjalan dan ada kebutuhan riset dasar yg belum ada, maka Indonesia perlu melakukan riset dasar tersebut. 
  • Tidak semua industri strategis atau berteknologi tinggi perlu dijajaki oleh Indonesia. Kita perlu memperhatikan kebutuhan dalam negeri dan meneliti analisis Break Even Point (BEP). Contohnya industri pesawat tempur. Katakan kebutuhan Indonesia adalah 32 unit pesawat tempur. Menurut beliau, jumlah kebutuhan ini terlalu kecil untuk BEP (karena RnD-nya muahal). Lain halnya dengan pesawat komersial yang kebutuhan dalam negeri-nya tinggi. Solusi dari kebutuhan 32 unit pesawat tempur adalah beli dari luar negeri, tapi upayakan (sebagian) bayar pakek jam kerja orang Indonesia (sayap, badan, dibuat di Indonesia misalnya)
  • Bolehnya kerja sama dengan pihak luar negeri dengan tetap diperhatikan neraca perdagangan, neraca pembayaran, dan neraca jam kerja. Ketiga neraca tersebut harus menguntungkan Indonesia, atau paling tidak seimbang. Contohnya adalah (dari saya) industri mobil di Indonesia. Walaupun sebagian besar proses produksi dan assembly di Indonesia, tapi sebenarnya bagian RnD (yang paling menguntungkan) dan komponen-komponen penting lainnya masih diimpor dari luar. Artinya kita bayarin jam kerja (sumber daya manusia) orang luar. Di samping itu, sebaiknya Indonesia menyekolahkan anak bangsa untuk menggapai kemampuan yang dibutuhkan dari pada mengimpor tenaga ahli dari luar.
  • Tidak mengapa Indonesia hanya menjadi integrator. Indonesia tidak harus membuat semua komponen industri strategis tersebut. Ini seperti yang dilakukan oleh PT DI yang mengintegrasikan berbagai teknologi mulai dari mesin, roda, dan yang lainnya. Jika kita membuat semua komponen tersebut (vendor item), hal tersebut bisa menambah beban dan resiko kegagalan disamping perlunya investasi yang tinggi. Malah menurut beliau, keuntungan integrator itu sangat menggiurkan dibanding berkutat pada vendor item.
  • Untuk memulai industri strategis, kita tidak perlu menunggu adanya industri pendukung. Kita hanya perlu membangun ujung industri strategis saja. Jika berjalan dengan baik, dengan sendirinya akan muncul industri2 pendukung (vendor) yang menawarkan produknya bagi industri strategis kita.




No comments: