"Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah"
--Presiden pertama RI, Ir. Soekarno.
“Kenapa anda tidak menembak Soekarno waktu kudeta dulu?” , Kapten Westerling ditanya. Apa jawabnya? Kapten yang pernah mengatakan bahwa Soekarno adalah tokoh yang paling dibencinya, menjawab: “Orang Belanda itu perhitungan sekali. Satu peluru harganya 35 sen. Sedangkan harga Soekarno tak lebih dari 5 sen. Jadi rugi 30 sen. Kerugian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan”. Dengan kata lain, Westerling ingin menghina Soekarno, bahwa pelurunya lebih mahal daripada nyawa Soekarno.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejarah dibentuk oleh thesis-antithesis, kata Immanuel Kant. Dari dinamika itu, seperti simbol dalam Yin dan Yang, terbentuk Sinthesis,-- sebuah ekuilibrium baru yang lebih baik. Kant berbicara dalam sebuah teori, saat di mana perasaan dan emosi sedikit terlibat, namun tragedi bukanlah semata-mata soal logika dan teori. Tragedi kemanusiaan adalah juga soal hati, harga diri, moral, dan bahkan jiwa yang tak masuk dalam kalkulasi Kant.
Tragedi kemanusiaan adalah bagian kelam dari perjalanan berat dari bangsa ini, bangsa Indonesia, saat keseimbangan dalam dirinya digoyahkan oleh kekuatan luar yang merusak, memaksa, dan menindas membentuk sebuah 'thesis' baru, kolonialisasi. Perjuangan merebut kemerdekaan adalah antithesis dari sebuah kesewenang-wenangan,--jika kita percaya pada Kant-- untuk membentuk sintesa baru : bangsa dan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Negara ini merdeka karena ribuan nyawa telah melayang, bukan karena hadiah dari Amerika Serikat. Bangsa ini dibentuk melalui proses yang sangat panjang, rumit, dan melelahkan dan tidak terbentuk begitu saja. Maka, ketika ada ketidaksempurnaan dari situasi Indonesia saat ini, itu wajar mengingat 350 tahun lebih kita menderita di bawah penindasan bangsa asing, dan proses menuju ke keadaan lebih baik itu memang tidak mudah dan terus terjadi. Jadi sebaiknya kita pahami sebagai bagian dari proses pendewasaan, proses dialektika ala Kant : Thesis-Antithesis dan Sinthesis.
Cuplikan di bawah ini adalah sekelumit catatan sejarah yang hanya bagian 'kecil' saja dari yang kita tahu, dan yang tidak kita tahu bisa jadi jauh lebih buruk dan mengerikan. Tujuannya bukan supaya pembaca jadi 'dendam' pada penjajah Belanda dan benci pada imperialisme (saya tidak menyalahkan Anda jika Anda tidak menyukainya), namun lebih pada niat untuk membangkitkan rasa 'cinta' pada Indonesia dan kesadaran akan pentingnya keadilan sosial.
SEJARAWAN ANHAR GONGGONG
"Ayah dan Dua Kakak Saya Dibantai Westerling"
Pembunuhan 40.000 rakyat di Sulawesi Selatan oleh pasukan Belanda kembali dipersoalkan
Senin, 14 Mei 2012, 05:38Elin Yunita Kristanti
VIVAnews -- Atas nama "penumpasan pemberontakan", pasukan Depot Speciale Troepen yang dipimpin Kapten Raymond Pierre Paul Westerling menyisir desa-desa di Sulawesi Selatan. Hanya sekitar tiga bulan, Desember 1946-Februari 1947, ribuan nyawa melayang dan darah tertumpah di sana.
Termasuk keluarga sejarawan, Anhar Gonggong. "Ayah saya dibunuh bersama dua kakak saya. Satu kakak dikubur bersama ayah, yang lain di kota berbeda, Pare-pare," kata Anhar kepada VIVAnews.com.
Ayahnya, Andi Pananrangi adalah mantan raja di kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, Alitta. Ia memang sudah lama jadi incaran Belanda, dicap sebagai musuh.
Kala itu, Anhar baru berusia 3 tahun. "Saya anak bungsu, tidak melihat kejadian itu. Ibu saya juga tak melihat, saat itu kami mengungsi setelah ayah ditangkap," kata dia.
Itu baru keluarga intinya."Paman saya, sepupu juga dibantai. Kalau dihitung secara keseluruhan di lingkungan keluarga dekat, ayah, kakak, paman, sepupu, mungkin sampai 20-an orang," kata dia.
Tragedi pembunuhan 40.000 rakyat di Sulawesi Selatan oleh pasukan Belanda kembali mencuat ke permukaan, setelah 10 keluarga korban Westerling melayangkan tuntutan ke Pemerintah Belanda. Selain menuntut kata maaf, mereka juga menuntut kompensasi dari Negeri Kincir Angin.
Anhar Gonggong tidak termasuk dalam daftar nama penggugat. "Jujur, saya tidak setuju dengan gugatan itu. Harga nyawa ayah dan dua kakak saya tidak ternilai dengan uang, miliaran sekalipun. Mereka berjuang demi kemerdekaan, keluarga kami tidak butuh uang kolonial," tegas dia.
Maaf dari Belanda juga bukan sesuatu yang diharapkan Anhar. "Apakah dengan maaf Belanda lantas ayah saya hidup lagi?," kata dia. Tak hanya nyawa, pasukan Belanda juga membakar rumah dan menghabisi harta bendanya.
Anhar juga mengingatkan, dalam keputusan Pengadilan Den Haag, Belanda pada kasus Rawagede 9 Desember 1947, disebut bahwa Pemerintah Belanda "telah membunuhi rakyatnya sendiri". "Itu artinya Belanda tidak mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Dia minta maaf, mengakui pelanggaran di wilayah Kerajaan Belanda. Diakui sebagai jajahan, padahal kita berjuang untuk merdeka," tambah dia.
Apalagi, kekejaman yang dilakukan Westerling dan pasukannya tidak bisa dimaafkan. Dari keterangan kakaknya, Andi Selle, Anhar mendapat gambaran faktual soal situasi kala itu. Penduduk dipaksa menggali lubang dalam, kemudian mereka dipaksa duduk di tepi lubang, ada 30 orang, 40 orang, bahkan sampai 100-an orang.
Lalu, para serdadu menanyai mereka, "mana Andi Selle, mana Andi Matalatta," satu-persatu keberadaan nama pejuang ditanyakan. Jika tak menjawab, mereka ditembak, jenazahnya tersungkur masuk lubang. "Bahkan perempuan ada yang ditusuk dengan sangkur. Kejamnya Westerling tak bisa dihapus dengan maaf, nggak ada itu."
Soal pastinya jumlah korban Westerling memang belum diketahui. Pihak Indonesia menyebut 40 ribu orang tewas dibantai, meski versi Belanda menyebut angka sekitar 3.000. Sedangkan Westerling mengaku, korban 'hanya' 600 orang.
Anhar yakin, kalaupun tak sampai 40.000 orang, jumlah korban di atas 20.000. Di Kariano, ibu kota kerajaan ayahnya, yang kini menjadi kampung, kakak Anhar pernah mendata jumlah korban pembantaian Westerling pada tahun 1972. "Di Kariano saja yang kecil ada 700 orang tewas, dia catat namanya, tempat dibunuh. Padahal jarak dari Makassar sampai 100 kilometer," kata dia.
Termasuk keluarga sejarawan, Anhar Gonggong. "Ayah saya dibunuh bersama dua kakak saya. Satu kakak dikubur bersama ayah, yang lain di kota berbeda, Pare-pare," kata Anhar kepada VIVAnews.com.
Ayahnya, Andi Pananrangi adalah mantan raja di kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, Alitta. Ia memang sudah lama jadi incaran Belanda, dicap sebagai musuh.
Kala itu, Anhar baru berusia 3 tahun. "Saya anak bungsu, tidak melihat kejadian itu. Ibu saya juga tak melihat, saat itu kami mengungsi setelah ayah ditangkap," kata dia.
Itu baru keluarga intinya."Paman saya, sepupu juga dibantai. Kalau dihitung secara keseluruhan di lingkungan keluarga dekat, ayah, kakak, paman, sepupu, mungkin sampai 20-an orang," kata dia.
Tragedi pembunuhan 40.000 rakyat di Sulawesi Selatan oleh pasukan Belanda kembali mencuat ke permukaan, setelah 10 keluarga korban Westerling melayangkan tuntutan ke Pemerintah Belanda. Selain menuntut kata maaf, mereka juga menuntut kompensasi dari Negeri Kincir Angin.
Anhar Gonggong tidak termasuk dalam daftar nama penggugat. "Jujur, saya tidak setuju dengan gugatan itu. Harga nyawa ayah dan dua kakak saya tidak ternilai dengan uang, miliaran sekalipun. Mereka berjuang demi kemerdekaan, keluarga kami tidak butuh uang kolonial," tegas dia.
Maaf dari Belanda juga bukan sesuatu yang diharapkan Anhar. "Apakah dengan maaf Belanda lantas ayah saya hidup lagi?," kata dia. Tak hanya nyawa, pasukan Belanda juga membakar rumah dan menghabisi harta bendanya.
Anhar juga mengingatkan, dalam keputusan Pengadilan Den Haag, Belanda pada kasus Rawagede 9 Desember 1947, disebut bahwa Pemerintah Belanda "telah membunuhi rakyatnya sendiri". "Itu artinya Belanda tidak mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Dia minta maaf, mengakui pelanggaran di wilayah Kerajaan Belanda. Diakui sebagai jajahan, padahal kita berjuang untuk merdeka," tambah dia.
Apalagi, kekejaman yang dilakukan Westerling dan pasukannya tidak bisa dimaafkan. Dari keterangan kakaknya, Andi Selle, Anhar mendapat gambaran faktual soal situasi kala itu. Penduduk dipaksa menggali lubang dalam, kemudian mereka dipaksa duduk di tepi lubang, ada 30 orang, 40 orang, bahkan sampai 100-an orang.
Lalu, para serdadu menanyai mereka, "mana Andi Selle, mana Andi Matalatta," satu-persatu keberadaan nama pejuang ditanyakan. Jika tak menjawab, mereka ditembak, jenazahnya tersungkur masuk lubang. "Bahkan perempuan ada yang ditusuk dengan sangkur. Kejamnya Westerling tak bisa dihapus dengan maaf, nggak ada itu."
Soal pastinya jumlah korban Westerling memang belum diketahui. Pihak Indonesia menyebut 40 ribu orang tewas dibantai, meski versi Belanda menyebut angka sekitar 3.000. Sedangkan Westerling mengaku, korban 'hanya' 600 orang.
Anhar yakin, kalaupun tak sampai 40.000 orang, jumlah korban di atas 20.000. Di Kariano, ibu kota kerajaan ayahnya, yang kini menjadi kampung, kakak Anhar pernah mendata jumlah korban pembantaian Westerling pada tahun 1972. "Di Kariano saja yang kecil ada 700 orang tewas, dia catat namanya, tempat dibunuh. Padahal jarak dari Makassar sampai 100 kilometer," kata dia.
Lama Dilupakan
Yang disayangkan Anhar, tragedi tersebut telah lama dilupakan, oleh pemerintah, bahkan di Sulawesi Selatan. Pembantaian Westerling baru ramai dibicarakan setelah korban Rawagede memenangkan gugatan melawan Pemerintah Belanda.
"Seingat saya tak lagi diperingati sejak tahun 1970-1n. Mungkin warga Sulsel malu dikatakan orangnya dibantai. Tapi dia lupa, justru yang jadi pahlawan adalah rakyat kecil yang dibunuh, yang tak mau memberi tahu di mana para pejuang berada. Kematian mereka melindungi pejuang," kata dia.
Penduduk Sulsel yang jadi korban, Anhar menambahkan, mempertaruhkan nyawa demi para pejuang. Mereka melawan dalam diam.
VIVAnews - Setelah kasus Rawagede usai, giliran korban pembantaian keji pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Raymond Westerling menggugat yang diwakili sembilan janda korban.
Inisiasi telah dilakukan, melalui Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) dan pengacara HAM, yang juga mendampingi korban Rawagede, Liesbeth Zegveld. Dukungan pun mengalir pada upaya tersebut, khususnya dari kalangan akademisi Sulawesi Selatan.
Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Arqam Azikin, menilai, tanpa upaya pencarian keadilan sebenarnya, Pemerintah Belanda harus meminta maaf kepada rakyat Sulawesi Selatan dan Indonesia. Pasalnya, Belanda pada tahun 1946 hingga 1947, telah nyata-nyata melakukan kekejaman kepada rakyat Sulsel.
Namun, dosen yang konsen di bidang politik, keamanan dan pertahanan ini tetap menghargai upaya sejumlah pihak untuk mencari keadilan di Belanda. “Tanpa pengadilan pun Belanda itu bersalah dan itu telah terbukti. Tapi jika memang ada keinginan seperti itu, tidak ada masalah,” ujar Arqam kepada VIVAnews, Kamis, 22 Desember 2011.
Bagi Arqam, para janda korban harus memperjuangkan dua hal untuk mencari keadilan ke Belanda. Yakni permintaan maaf dari Pemerintah Belanda kepada rakyat Sulsel dan Indonesia, serta pengakuan kepada dunia internasional, jika Belanda memang telah melakukan pembantaian.
“Itu yang menjadi poin utama pencarian keadilan, karena pembantaian tersebut terlegitimasi di PBB. Jadi Belanda harus meminta maaf dan bukan dalam bentuk materi,” tegasnya.
Pembantaian Westerling terjadi pada Desember 1946 sampai Februari 1947, bermula saat Depot Speciale Troepen (123 pasukan) di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling mendapat perintah untuk memulihkan kekuasaan Hindia Belanda di Sulawesi Selatan.
Dengan alasan mencari 'kaum ekstremis', 'perampok', 'penjahat', dan 'pembunuh', Westerling masuk ke kampung-kampung. Siapa yang dianggap berbahaya bagi Belanda, dibunuh.
Metodenya tak hanya menggunakan berondongan senapan. Dalam sebuah buku yang ditulis Horst H. Geerken, tak hanya menginstruksikan tembak tengkuk, sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh, komandan pasukan khusus Belanda itu juga menginstruksikan penggal kepala. "Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas," demikian isi buku Horst yang dikutip Indonesian Voices.
Selama kurun waktu itu, pasukan Westerling membunuh ribuan orang. Penelitian yang dilakukan Belanda memperkirakan jumlah korban antara 3.000 hingga 5.000 orang. Sedangkan pihak Indonesia menyatakan 40.000 jiwa. Namun, Westerling sendiri berkilah, menyebut korban 'hanya' 600 jiwa.
"Mereka terutama membutuhkan pengakuan terhadap penderitaan yang dialami serta permintaan maaf," kata Liesbeth Zegveld seperti dikutip dari harian Trouw, dan dilansir situs Radio Nederland Siaran Indonesia, Selasa 20 Desember 2011.
“Kenapa anda tidak menembak Soekarno waktu kudeta dulu?” , Kapten Westerling ditanya. Apa jawabnya? Kapten yang pernah mengatakan bahwa Soekarno adalah tokoh yang paling dibencinya, menjawab: “Orang Belanda itu perhitungan sekali. Satu peluru harganya 35 sen. Sedangkan harga Soekarno tak lebih dari 5 sen. Jadi rugi 30 sen. Kerugian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan”. Dengan kata lain Westerling ingin menghina Soekarno, bahwa pelurunya lebih mahal daripada nyawa Soekarno.
Indonesia tentu saja geram dengan penghinaan itu. Beberapa kali ada usaha untuk mengekstradisi Westerling ke Indonesia. Sayangnya usaha itu tak pernah terwujud sampai meninggalnya Westerling tahun 1987 dalam usia 68 tahun di Purmerend Belanda. Beberapa jam sebelum meninggal akibat serangan jantung, Westerling dikabarkan marah-marah pada wartawan Belanda yang tidak pernah berhenti menguber noda masa lalunya.
Permintaan untuk mengekstradisi dan mengadili Westerling terutama bukan karena penghinaan tadi. Tapi juga karena kekejamannya di masa agresi militer Belanda plus percobaan kudetanya terhadap Presiden Soekarno. Kekejaman Westerling dituding memakai cara-cara Gestapo. Tudingan ini bukan hanya dari pihak Indonesia, tapi tudingan pada Westreling ini justru sangat gencar datang dari orang Belanda sendiri, terutana kaum peduli HAM.
Harian “De Waarheid” di Belanda menurunkan berita bulan Juli tahun 1947, isinya tentang kekejaman Westerling yang dinilai sama dengan kekejaman pasukan Jerman di PD II. Kemudian harian “Vrij Nederland” Juli 1947, juga merinci bagaimana kekejaman Westerling. Misalnya menyuruh dua tawanan bertarung. Lalu yang kalah ditembak mati. Termasuk mengeksekusi orang-orang tak bersalah di depan umum. Maksudnya untuk menakut-nakuti penduduk lain agar mereka mau buka mulut tentang persembunyian gerilyawan.
“Semua orang kampung, juga perempuan dan anak-anak, dikumpulkan dan ditembaki satu per satu. Saya pura-pura mati dan menjatuhkan diri di antara timbunan mayat berlumuran darah Saya tidak berani bergerak sebelum merasa yakin, Westerling dan pasukannya itu benar-benar telah pergi jauh”. Begitulah kesaksian seorang penduduk di Makassar atas aksi kekejaman Westerling.
Bahkan bagi anak buahnya sendiri, kekejamannya kadang dinilai keterlaluan. Sampai kadang ada yang menolak melaksanakan perintahnya, karena tak sampai hati menembak tawanan. Akibatnya anak buah yang membangkang tentu saja harus menerima hukuman indisipliner dari sang kapten ini.
Di Indonesia Westerling dikenal sebagai “algojo” yang melakukan pembantaian berkubang darah, terutama di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Dari kota Makassar sampai kabupaten Barru, Parepare, Pinrang, Sidrap, dan Enrekang. Kejadian itu sekitar Desember 1946 – Februari 1947. Korban terbanyak adalah di Galung Lombok, kabupaten Barru. Untuk mengenang sejarah kelam itu, pemerintah kota membangun tugu di kota Makassar, disebut monumen korban 40.000 jiwa. Apakah betul sebanyak 40.000 jiwa, hingga kini masih diperdebatkan kebenarannya jumlahnya. Namun ada satu hal yang jelas. Nyaris semua kesaksian, baik pihak Indonesia maupun pihak Belanda sendiri membenarkan bagaimana kejinya kekejaman Westerling. Dia adalah prajurit yang sangat mudah menembak mati seseorang, tanpa alasan jelas. Seperti menembak burung saja. Itu belum terhitung menyiksa tawanan secara tidak berperikemanusiaan.
Untuk menggambarkan kekejaman Westerling yang berdarah dingin itu, J. Dancey seorang perwira Inggris bercerita, “Suatu pagi saya mendatangi Westerling untuk minum dan ngobrol bersama. Tiba-tiba dengan tenang dia mengambil potongan kepala dari keranjang sampah di samping meja kerjanya. Katanya itu potongan kepala dari pimpinan pemberontak yang baru saja dipenggalnya”. Westerling seakan ingin mengajari perwira Inggris itu, “begini lho caranya kalau mau menumpas pemberontakan!”.
Situasi perang kadang membuat seorang prajurit mesti bertindak “saya yang mati atau kamu yang mati”. Sehingga mau tidak mau, kadang mesti membunuh. Namun itu tidak berarti prajurit tidak pakai aturan dan diperbolehkan membunuh sesuka hati. Tetap ada aturannya. Jika tidak, maka bisa kena tuduhan melakukan pelanggaran HAM.
Karena melakukan pembunuhan seenak perutnya sendiri, maka perbuatan Westerling tergolong pelanggaran HAM dan dituding melakukan kejahatan perang. Westerling memang menumpas pemberontakan dengan caranya sendiri. Dengan cara bengis dan kejam. Padahal ketika itu sesuai ketentuan Westerling harus berpegang pada Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di Bidang Politik dan Polisional. Karena keluar dari pedoman komando, Westerling pun dipecat tahun 1948. Di Belanda pun, status Westerling masih sering diperdebatkan. Pahlawan atau penjahat?
Sebagian pihak di Belanda pernah mengelu-elukan Kapten Westerling sebagai pahlawan yang berhasil menumpas pemberontakan. Tapi ada juga kaum kritis di Belanda yang mengatakan Westerling itu cuma seorang penjahat perang.
Westerling dikerumuni wartawan di aiport di Brussel setelah melarikan diri dari Indonesia
Jika saya ke Indonesia, kadang ditanya, “Kenapa sih kamu menikah dengan orang Belanda?. Mereka itu kan penjajah?!”. Bahkan saya pernah bertemu orang yang menolak menyopir mobil karena di antara rombongan ada orang Belandanya.
Jaman sudah berubah. Sejarah bergulir dengan cepat. Namun dendam sejarah masa lampau masih membuat sebagian orang Indonesia tetap menyimpan citra kelabu tentang Belanda.
Faktanya, justru rakyat Belanda sendiri yang mendesak pemerintah Belanda untuk minta maaf terhadap rakyat Indonesia atas kejahatan perang di masa lalu. Bahkan penyelidikan dan penelitian tentang kejahatan dan pelanggaran HAM agresi militer Belanda diungkap sendiri oleh para sejarawan Belanda dan pers Belanda sendiri.
Karena itu sekarang mulai sedikit terkuak misteri, mengapa di masa hidupnya Westerling bisa leluasa bergerak sana-sini. Ini janggal. Apalagi gara-gara kebengisannya di Sulawesi Selatan, ketika itu Westerling sudah dipecat dari kesatuannya. Tapi anehnya, sesudah itu Westerling malah berhasil mendirikan organisasi rahasia, mengumpulkan kekuatan, pendukung dan punya kekuatan senjata. Puncaknya di tahun 1950 malah melakukan kudeta terhadap Indonesia sebagai negara berdaulat. Padahal sehebat-hebatnya Westerling, seberapa hebat sih kekuatan seorang tentara sewaan?
Aneh. Sudah jelas-jelas melakukan kejahatan perang, dipecat, tidak punya fungsi strategis apa-apa di kemiliteran tapi kok bisa lepas dari jerat hukum? Ditambah masih kurang ajar berani mengkudeta Soekarno pula. Padahal ketika itu banyak suara, baik dari pihak Indonesia maupun Belanda sendiri yang ingin Westerling diseret ke mahkamah militer.
Boro-boro diajukan ke pengadilan, tahu-tahu setelah pemecatannya, malah terdengar kabar Westerling berhasil mengumpulkan 500.000 pengikut dan mendirikan organisasi rahasia bernama “Ratu Adil Persatuan Indonesia” (RAPI), dilengkapi kesatuan bersenjata yang dinamakan “Angkatan Perang Ratu Adil” (APRA).
Dengan organisasinya itu, tahun 1950 Kapten “Turk” alias Westerling bekerja sama dengan Darul Islam Jawa Barat mengadakan kudeta yang dikenal dengan peristiwa “kudeta 23 Januari”. Di balik kudeta ini kemudian terungkap juga keterlibatan Sultan Hamid II, eks perwira KNIL (beristrikan wanita Belanda), putra sulung Sultan Pontianak. Motif kudeta di antaranya ingin mendirikan negara sempalan yang bernama Negara Pasundan. Pasukan Westerling menembaki setiap tentara TNI yang ditemui. Sebanyak 79 pasukan Siliwangi dan enam penduduk sipil gugur.
Peristiwa penyerangan APRA, Bandung, 27 Februari 1950
Sumber : KoKi
"Seingat saya tak lagi diperingati sejak tahun 1970-1n. Mungkin warga Sulsel malu dikatakan orangnya dibantai. Tapi dia lupa, justru yang jadi pahlawan adalah rakyat kecil yang dibunuh, yang tak mau memberi tahu di mana para pejuang berada. Kematian mereka melindungi pejuang," kata dia.
Penduduk Sulsel yang jadi korban, Anhar menambahkan, mempertaruhkan nyawa demi para pejuang. Mereka melawan dalam diam.
Warga Sulsel Gugat Belanda Soal Westerling
Westerling membunuh ribuan orang.
ddd
Kamis, 22 Desember 2011, 10:28Elin Yunita Kristanti
VIVAnews - Setelah kasus Rawagede usai, giliran korban pembantaian keji pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Raymond Westerling menggugat yang diwakili sembilan janda korban.
Inisiasi telah dilakukan, melalui Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) dan pengacara HAM, yang juga mendampingi korban Rawagede, Liesbeth Zegveld. Dukungan pun mengalir pada upaya tersebut, khususnya dari kalangan akademisi Sulawesi Selatan.
Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Arqam Azikin, menilai, tanpa upaya pencarian keadilan sebenarnya, Pemerintah Belanda harus meminta maaf kepada rakyat Sulawesi Selatan dan Indonesia. Pasalnya, Belanda pada tahun 1946 hingga 1947, telah nyata-nyata melakukan kekejaman kepada rakyat Sulsel.
Namun, dosen yang konsen di bidang politik, keamanan dan pertahanan ini tetap menghargai upaya sejumlah pihak untuk mencari keadilan di Belanda. “Tanpa pengadilan pun Belanda itu bersalah dan itu telah terbukti. Tapi jika memang ada keinginan seperti itu, tidak ada masalah,” ujar Arqam kepada VIVAnews, Kamis, 22 Desember 2011.
Bagi Arqam, para janda korban harus memperjuangkan dua hal untuk mencari keadilan ke Belanda. Yakni permintaan maaf dari Pemerintah Belanda kepada rakyat Sulsel dan Indonesia, serta pengakuan kepada dunia internasional, jika Belanda memang telah melakukan pembantaian.
“Itu yang menjadi poin utama pencarian keadilan, karena pembantaian tersebut terlegitimasi di PBB. Jadi Belanda harus meminta maaf dan bukan dalam bentuk materi,” tegasnya.
Pembantaian Westerling terjadi pada Desember 1946 sampai Februari 1947, bermula saat Depot Speciale Troepen (123 pasukan) di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling mendapat perintah untuk memulihkan kekuasaan Hindia Belanda di Sulawesi Selatan.
Dengan alasan mencari 'kaum ekstremis', 'perampok', 'penjahat', dan 'pembunuh', Westerling masuk ke kampung-kampung. Siapa yang dianggap berbahaya bagi Belanda, dibunuh.
Metodenya tak hanya menggunakan berondongan senapan. Dalam sebuah buku yang ditulis Horst H. Geerken, tak hanya menginstruksikan tembak tengkuk, sebuah metode cepat dan mematikan untuk membunuh, komandan pasukan khusus Belanda itu juga menginstruksikan penggal kepala. "Ratusan karung sarat penggalan kepala dilarung ke laut untuk menghilangkan identitas," demikian isi buku Horst yang dikutip Indonesian Voices.
Selama kurun waktu itu, pasukan Westerling membunuh ribuan orang. Penelitian yang dilakukan Belanda memperkirakan jumlah korban antara 3.000 hingga 5.000 orang. Sedangkan pihak Indonesia menyatakan 40.000 jiwa. Namun, Westerling sendiri berkilah, menyebut korban 'hanya' 600 jiwa.
"Mereka terutama membutuhkan pengakuan terhadap penderitaan yang dialami serta permintaan maaf," kata Liesbeth Zegveld seperti dikutip dari harian Trouw, dan dilansir situs Radio Nederland Siaran Indonesia, Selasa 20 Desember 2011.
CITIZEN JOURNALISM: SIAPA SAJA, MENULIS APA SAJA
Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen
“Kenapa anda tidak menembak Soekarno waktu kudeta dulu?” , Kapten Westerling ditanya. Apa jawabnya? Kapten yang pernah mengatakan bahwa Soekarno adalah tokoh yang paling dibencinya, menjawab: “Orang Belanda itu perhitungan sekali. Satu peluru harganya 35 sen. Sedangkan harga Soekarno tak lebih dari 5 sen. Jadi rugi 30 sen. Kerugian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan”. Dengan kata lain Westerling ingin menghina Soekarno, bahwa pelurunya lebih mahal daripada nyawa Soekarno.
Indonesia tentu saja geram dengan penghinaan itu. Beberapa kali ada usaha untuk mengekstradisi Westerling ke Indonesia. Sayangnya usaha itu tak pernah terwujud sampai meninggalnya Westerling tahun 1987 dalam usia 68 tahun di Purmerend Belanda. Beberapa jam sebelum meninggal akibat serangan jantung, Westerling dikabarkan marah-marah pada wartawan Belanda yang tidak pernah berhenti menguber noda masa lalunya.
Permintaan untuk mengekstradisi dan mengadili Westerling terutama bukan karena penghinaan tadi. Tapi juga karena kekejamannya di masa agresi militer Belanda plus percobaan kudetanya terhadap Presiden Soekarno. Kekejaman Westerling dituding memakai cara-cara Gestapo. Tudingan ini bukan hanya dari pihak Indonesia, tapi tudingan pada Westreling ini justru sangat gencar datang dari orang Belanda sendiri, terutana kaum peduli HAM.
Harian “De Waarheid” di Belanda menurunkan berita bulan Juli tahun 1947, isinya tentang kekejaman Westerling yang dinilai sama dengan kekejaman pasukan Jerman di PD II. Kemudian harian “Vrij Nederland” Juli 1947, juga merinci bagaimana kekejaman Westerling. Misalnya menyuruh dua tawanan bertarung. Lalu yang kalah ditembak mati. Termasuk mengeksekusi orang-orang tak bersalah di depan umum. Maksudnya untuk menakut-nakuti penduduk lain agar mereka mau buka mulut tentang persembunyian gerilyawan.
Pembantaian Kuta Reh, di sebuah desa di Aceh oleh tentara Belanda, 108 tahun yang lalu. |
“Semua orang kampung, juga perempuan dan anak-anak, dikumpulkan dan ditembaki satu per satu. Saya pura-pura mati dan menjatuhkan diri di antara timbunan mayat berlumuran darah Saya tidak berani bergerak sebelum merasa yakin, Westerling dan pasukannya itu benar-benar telah pergi jauh”. Begitulah kesaksian seorang penduduk di Makassar atas aksi kekejaman Westerling.
Ketika masih bekerja di Jakarta, saya pernah mewawancarai seorang pejabat militer yang bermukim di bilangan Matraman Jakarta. Wawancara itu antara lain menyinggung tentang pengalamannya bertemu Westerling. Pak Suryadi bercerita, dia sempat ditahan di sel oleh Westerling. Di sel itu selama hampir tiga hari dia digantung dengan kepala di bawah dan kaki di atas. “Rasanya saya sudah hampir mati saja. Untung saja saya tidak sampai dibunuh”.
Raymond Paul Pierre Westerling, lahir di Istanbul 31 Agustus 1919, adalah tentara bayaran Belanda. Ayahnya Belanda, ibunya Turki. Tapi ada juga yang mengatakan ibunya orang Yahudi, ada yang mengatakan orang Yunani yang lahir di Turki. Simpang siur. Maklumlah, sejak usia 5 tahun Westerling mesti hidup sendiri di panti asuhan karena ditinggal kedua orangtuanya. Mungkinkah kekerasannya disebabkan sejak usia dini dirinya terpaksa tumbuh sendiri di jaman perang yang ganas, tanpa belaian kasih sayang orangtua?
Kapten ini biasa juga dipanggil “Turk”, panggilan yang biasanya ditujukan buat orang-orang berdarah Turki di Belanda.
Dia bisa bergabung dengan kesatuan Belanda, setelah mendatangi konsulat Belanda di Istanbul dan menawarkan diri sebagai sukarelawan perang. Kebrutalannya dan nalurinya sebagai penjagal mungkin membuat perang menjadi tempat yang cocok untuknya. Dia sendiri pernah mengakui, dalam perang dia menemukan kesenangannya. Keahliannya dalam kemiliteran adalah sabotase dan peledakan. Dia digojlok dalam satuan komando dengan training yang karena begitu kerasnya disebut “neraka dunia”, di Pantai Skotlandia yang dingin kosong melompong tanpa penghuni. Latihan keras untuk meraih baret hijau itu antara lain bertarung dan membunuh dengan tangan kosong, tanpa suara.
Berbekal segudang training berat kemiliteran, akhirnya Westerling sang tentara bayaran ditugaskan ke Indonesia untuk menumpas pemberontakan. Tugas sebagai pimpinan pasukan komando baret merah berada di pundaknya.
Seorang eks anak buahnya menggambarkan Westerling sebagai, “Orang yang kejam, tidak menghargai hidup dan suka melanggar janji. Dia bisa membiarkan tahanan di sel berhari-hari tanpa diberi makanan. Kadang dijanjikannya bahwa tawanan akan dilepaskan kalau mereka mau menolong Westerling. Tapi setelah tawanan itu sudah terlalu lemah dan tidak bisa lagi berjalan, malah langsung ditembak mati”.
Raymond Paul Pierre Westerling, lahir di Istanbul 31 Agustus 1919, adalah tentara bayaran Belanda. Ayahnya Belanda, ibunya Turki. Tapi ada juga yang mengatakan ibunya orang Yahudi, ada yang mengatakan orang Yunani yang lahir di Turki. Simpang siur. Maklumlah, sejak usia 5 tahun Westerling mesti hidup sendiri di panti asuhan karena ditinggal kedua orangtuanya. Mungkinkah kekerasannya disebabkan sejak usia dini dirinya terpaksa tumbuh sendiri di jaman perang yang ganas, tanpa belaian kasih sayang orangtua?
Kapten ini biasa juga dipanggil “Turk”, panggilan yang biasanya ditujukan buat orang-orang berdarah Turki di Belanda.
Dia bisa bergabung dengan kesatuan Belanda, setelah mendatangi konsulat Belanda di Istanbul dan menawarkan diri sebagai sukarelawan perang. Kebrutalannya dan nalurinya sebagai penjagal mungkin membuat perang menjadi tempat yang cocok untuknya. Dia sendiri pernah mengakui, dalam perang dia menemukan kesenangannya. Keahliannya dalam kemiliteran adalah sabotase dan peledakan. Dia digojlok dalam satuan komando dengan training yang karena begitu kerasnya disebut “neraka dunia”, di Pantai Skotlandia yang dingin kosong melompong tanpa penghuni. Latihan keras untuk meraih baret hijau itu antara lain bertarung dan membunuh dengan tangan kosong, tanpa suara.
Berbekal segudang training berat kemiliteran, akhirnya Westerling sang tentara bayaran ditugaskan ke Indonesia untuk menumpas pemberontakan. Tugas sebagai pimpinan pasukan komando baret merah berada di pundaknya.
Seorang eks anak buahnya menggambarkan Westerling sebagai, “Orang yang kejam, tidak menghargai hidup dan suka melanggar janji. Dia bisa membiarkan tahanan di sel berhari-hari tanpa diberi makanan. Kadang dijanjikannya bahwa tawanan akan dilepaskan kalau mereka mau menolong Westerling. Tapi setelah tawanan itu sudah terlalu lemah dan tidak bisa lagi berjalan, malah langsung ditembak mati”.
Bahkan bagi anak buahnya sendiri, kekejamannya kadang dinilai keterlaluan. Sampai kadang ada yang menolak melaksanakan perintahnya, karena tak sampai hati menembak tawanan. Akibatnya anak buah yang membangkang tentu saja harus menerima hukuman indisipliner dari sang kapten ini.
Di Indonesia Westerling dikenal sebagai “algojo” yang melakukan pembantaian berkubang darah, terutama di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Dari kota Makassar sampai kabupaten Barru, Parepare, Pinrang, Sidrap, dan Enrekang. Kejadian itu sekitar Desember 1946 – Februari 1947. Korban terbanyak adalah di Galung Lombok, kabupaten Barru. Untuk mengenang sejarah kelam itu, pemerintah kota membangun tugu di kota Makassar, disebut monumen korban 40.000 jiwa. Apakah betul sebanyak 40.000 jiwa, hingga kini masih diperdebatkan kebenarannya jumlahnya. Namun ada satu hal yang jelas. Nyaris semua kesaksian, baik pihak Indonesia maupun pihak Belanda sendiri membenarkan bagaimana kejinya kekejaman Westerling. Dia adalah prajurit yang sangat mudah menembak mati seseorang, tanpa alasan jelas. Seperti menembak burung saja. Itu belum terhitung menyiksa tawanan secara tidak berperikemanusiaan.
Untuk menggambarkan kekejaman Westerling yang berdarah dingin itu, J. Dancey seorang perwira Inggris bercerita, “Suatu pagi saya mendatangi Westerling untuk minum dan ngobrol bersama. Tiba-tiba dengan tenang dia mengambil potongan kepala dari keranjang sampah di samping meja kerjanya. Katanya itu potongan kepala dari pimpinan pemberontak yang baru saja dipenggalnya”. Westerling seakan ingin mengajari perwira Inggris itu, “begini lho caranya kalau mau menumpas pemberontakan!”.
Situasi perang kadang membuat seorang prajurit mesti bertindak “saya yang mati atau kamu yang mati”. Sehingga mau tidak mau, kadang mesti membunuh. Namun itu tidak berarti prajurit tidak pakai aturan dan diperbolehkan membunuh sesuka hati. Tetap ada aturannya. Jika tidak, maka bisa kena tuduhan melakukan pelanggaran HAM.
Karena melakukan pembunuhan seenak perutnya sendiri, maka perbuatan Westerling tergolong pelanggaran HAM dan dituding melakukan kejahatan perang. Westerling memang menumpas pemberontakan dengan caranya sendiri. Dengan cara bengis dan kejam. Padahal ketika itu sesuai ketentuan Westerling harus berpegang pada Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di Bidang Politik dan Polisional. Karena keluar dari pedoman komando, Westerling pun dipecat tahun 1948. Di Belanda pun, status Westerling masih sering diperdebatkan. Pahlawan atau penjahat?
Sebagian pihak di Belanda pernah mengelu-elukan Kapten Westerling sebagai pahlawan yang berhasil menumpas pemberontakan. Tapi ada juga kaum kritis di Belanda yang mengatakan Westerling itu cuma seorang penjahat perang.
Westerling dikerumuni wartawan di aiport di Brussel setelah melarikan diri dari Indonesia
Jika saya ke Indonesia, kadang ditanya, “Kenapa sih kamu menikah dengan orang Belanda?. Mereka itu kan penjajah?!”. Bahkan saya pernah bertemu orang yang menolak menyopir mobil karena di antara rombongan ada orang Belandanya.
Jaman sudah berubah. Sejarah bergulir dengan cepat. Namun dendam sejarah masa lampau masih membuat sebagian orang Indonesia tetap menyimpan citra kelabu tentang Belanda.
Faktanya, justru rakyat Belanda sendiri yang mendesak pemerintah Belanda untuk minta maaf terhadap rakyat Indonesia atas kejahatan perang di masa lalu. Bahkan penyelidikan dan penelitian tentang kejahatan dan pelanggaran HAM agresi militer Belanda diungkap sendiri oleh para sejarawan Belanda dan pers Belanda sendiri.
Karena itu sekarang mulai sedikit terkuak misteri, mengapa di masa hidupnya Westerling bisa leluasa bergerak sana-sini. Ini janggal. Apalagi gara-gara kebengisannya di Sulawesi Selatan, ketika itu Westerling sudah dipecat dari kesatuannya. Tapi anehnya, sesudah itu Westerling malah berhasil mendirikan organisasi rahasia, mengumpulkan kekuatan, pendukung dan punya kekuatan senjata. Puncaknya di tahun 1950 malah melakukan kudeta terhadap Indonesia sebagai negara berdaulat. Padahal sehebat-hebatnya Westerling, seberapa hebat sih kekuatan seorang tentara sewaan?
Aneh. Sudah jelas-jelas melakukan kejahatan perang, dipecat, tidak punya fungsi strategis apa-apa di kemiliteran tapi kok bisa lepas dari jerat hukum? Ditambah masih kurang ajar berani mengkudeta Soekarno pula. Padahal ketika itu banyak suara, baik dari pihak Indonesia maupun Belanda sendiri yang ingin Westerling diseret ke mahkamah militer.
Boro-boro diajukan ke pengadilan, tahu-tahu setelah pemecatannya, malah terdengar kabar Westerling berhasil mengumpulkan 500.000 pengikut dan mendirikan organisasi rahasia bernama “Ratu Adil Persatuan Indonesia” (RAPI), dilengkapi kesatuan bersenjata yang dinamakan “Angkatan Perang Ratu Adil” (APRA).
Dengan organisasinya itu, tahun 1950 Kapten “Turk” alias Westerling bekerja sama dengan Darul Islam Jawa Barat mengadakan kudeta yang dikenal dengan peristiwa “kudeta 23 Januari”. Di balik kudeta ini kemudian terungkap juga keterlibatan Sultan Hamid II, eks perwira KNIL (beristrikan wanita Belanda), putra sulung Sultan Pontianak. Motif kudeta di antaranya ingin mendirikan negara sempalan yang bernama Negara Pasundan. Pasukan Westerling menembaki setiap tentara TNI yang ditemui. Sebanyak 79 pasukan Siliwangi dan enam penduduk sipil gugur.
Peristiwa penyerangan APRA, Bandung, 27 Februari 1950
Tapi kudeta itu berhasil digagalkan pasukan TNI. Kegagalan kudeta itu antara lain karena diwarnai desersi anak buah Westerling sendiri. Pemerintah dan militer Belanda sendiri mengaku tidak pernah mendukung kudeta itu. Walaupun demikian, tak bisa disangkal adanya andil dari “oknum” Belanda - siapapun dan apapun namanya, terhadap suksesnya Westerling meloloskan diri ke Belanda.
Sejak peristiwa kudeta gagal itu, Westerling semakin menjadi buruan Indonesia. Namun berkat koneksinya dengan beberapa pejabat militer, akhirnya Westerling dengan menumpang pesawat Catalina berhasil lari ke Singapura. Di negara ini dia sempat ditahan oleh pasukan Inggris selama dua minggu. Namun selanjutnya “Kapten Turk” berhasil lari ke Belgia. Sesudah itu secara diam-diam masuk ke Belanda. Permintaan Indonesia untuk mengekstradisi Westerling tak pernah dikabulkan.
Pemerintah Indonesia tentu saja tahu bahwa tuntutan HAM tidak pernah mengenal batas kadaluarsa. Jika hingga kini tak pernah terdengar adanya tuntutan Indonesia terhadap Belanda terkait masalah ini, mungkinkah karena didasari pertimbangan politis tertentu?
Lolosnya Westerling dari jeratan hukum, menimbulkan pertanyaan yang beberapa lama tidak pernah terjawab. “Mengapa selama itu Westerling bisa lenggang kangkung di balik semua pelanggaran yang sudah dilakukannya? Adakah orang kuat di belakang Westerling? Adakah konspirasi di balik kudeta Westerling? Siapa orang kuat di balik kudeta Westerling? Dari mana Westerling bisa memperoleh senjata? Seberapa besar kekuatan tentara bayaran Westerling hingga bisa membentuk pasukan elit-nya sendiri untuk melakukan kudeta?”.
Latar belakang Westerling ternyata tidak sesederhana yang diduga. Westerling pernah menjadi pengawal pribadi Lord Mountbatten, pernah bekerja untuk dinas rahasia Belanda di London dan akhirnya benang merahnya.....tahun 1944 pernah bekerja sebagai pengawal pribadi Pangeran Bernhard.
Akhirnya teka-teki di balik kejanggalan semua ini terkuak, melalui penelusuran dan penelitian sejarawan Belanda bernama Harry Veenendaal dan wartawan Belanda, Jort Kelder.
Setelah mengadakan penelitian selama 8 tahun, keduanya berhasil mengumpulkan bukti dan dokumen tentang keterlibatan Pangeran Bernhard di balik kudeta Westerling. Rupanya suami Ratu Juliana itu ingin seperti Lord Mountbatten yang pernah menjadi raja di India. Jika kudeta Westerling itu berhasil, menurut bukti-bukti yang ada, disebutkan Pangeran Bernhard ingin menjadi raja di Indonesia. Apakah sang Pangeran ingin mempunyai fungsi penting lain daripada “cuma” sebagai suami ratu?
Pangeran Bernhard
Temuan di atas berdasarkan kesaksian dari laporan Marsose dan buku harian sekretaris pribadi istana, Gerrie van Maasdijk. Sekretaris ini dulu dipecat setelah konfliknya dengan Pangeran Bernhard. Penemuan itu dirangkum dalam buku berjudul “ZKH”, Zijne Koninkelijke Hoogheid (Paduka Yang Mulia Pangeran). Menurut penyelidikan ternyata Westerling pernah mengadakan kontak rahasia dengan staf Pangeran Bernhard sehubungan dengan kudeta itu.
Penelusuran mengarah ke bukti-bukti adanya bantuan rahasia penyaluran senjata dari pihak Pangeran Bernhard terhadap pasukan Westerling. Bahkan ada temuan yang menunjukkan bahwa sang Pangeran sudah mengantisipasi jika kudeta itu berhasil. Yaitu permintaan bantuan kepada Jendral Douglas Mac Arthur sebagai panglima di pangkalan Pasifik untuk mengirim pasukannya, jika kudeta Westerling sukses dan menimbulkan perang saudara.
Kalau kita harus menentukan pemenang di antara Westerling, Soekarno, Pangeran Bernhard: siapakah setelah perang yang pantas disebut sebagai pemenang? Westerling yang walaupun disebut penjahat perang, tapi sampai mati tidak pernah diseret ke mahkamah militer? Presiden Soekarno yang gagal dikudeta Westerling (tapi berhasil dikudeta “geger 1965”)? Pangeran Bernhard yang terkesan “immun” karena posisinya sebagai suami sang Ratu?
Entahlah. Orang bilang, di dalam perang yang menang jadi abu, kalah jadi arang. Semua ketiga tokoh di atas sudah “Rest in Peace”. Bagi orang-orang di “alam RIP”, soal kalah dan menang tidak lagi penting. Toh kehidupan sudah memberi setiap orang jatah kemenangan dan kekalahannya masing-masing. Kemenangan bagi seseorang, mungkin disebut kekalahan di mata orang lain. Begitu juga sebaliknya.
Yang jelas, cerita sejarah perang mungkin saja bisa jadi cerita menarik. Tapi sayang sekali nyaris tak ada cerita tentang damai di dalamnya.
Walentina Waluyanti
Sejak peristiwa kudeta gagal itu, Westerling semakin menjadi buruan Indonesia. Namun berkat koneksinya dengan beberapa pejabat militer, akhirnya Westerling dengan menumpang pesawat Catalina berhasil lari ke Singapura. Di negara ini dia sempat ditahan oleh pasukan Inggris selama dua minggu. Namun selanjutnya “Kapten Turk” berhasil lari ke Belgia. Sesudah itu secara diam-diam masuk ke Belanda. Permintaan Indonesia untuk mengekstradisi Westerling tak pernah dikabulkan.
Pemerintah Indonesia tentu saja tahu bahwa tuntutan HAM tidak pernah mengenal batas kadaluarsa. Jika hingga kini tak pernah terdengar adanya tuntutan Indonesia terhadap Belanda terkait masalah ini, mungkinkah karena didasari pertimbangan politis tertentu?
Lolosnya Westerling dari jeratan hukum, menimbulkan pertanyaan yang beberapa lama tidak pernah terjawab. “Mengapa selama itu Westerling bisa lenggang kangkung di balik semua pelanggaran yang sudah dilakukannya? Adakah orang kuat di belakang Westerling? Adakah konspirasi di balik kudeta Westerling? Siapa orang kuat di balik kudeta Westerling? Dari mana Westerling bisa memperoleh senjata? Seberapa besar kekuatan tentara bayaran Westerling hingga bisa membentuk pasukan elit-nya sendiri untuk melakukan kudeta?”.
Latar belakang Westerling ternyata tidak sesederhana yang diduga. Westerling pernah menjadi pengawal pribadi Lord Mountbatten, pernah bekerja untuk dinas rahasia Belanda di London dan akhirnya benang merahnya.....tahun 1944 pernah bekerja sebagai pengawal pribadi Pangeran Bernhard.
Akhirnya teka-teki di balik kejanggalan semua ini terkuak, melalui penelusuran dan penelitian sejarawan Belanda bernama Harry Veenendaal dan wartawan Belanda, Jort Kelder.
Setelah mengadakan penelitian selama 8 tahun, keduanya berhasil mengumpulkan bukti dan dokumen tentang keterlibatan Pangeran Bernhard di balik kudeta Westerling. Rupanya suami Ratu Juliana itu ingin seperti Lord Mountbatten yang pernah menjadi raja di India. Jika kudeta Westerling itu berhasil, menurut bukti-bukti yang ada, disebutkan Pangeran Bernhard ingin menjadi raja di Indonesia. Apakah sang Pangeran ingin mempunyai fungsi penting lain daripada “cuma” sebagai suami ratu?
Pangeran Bernhard
Temuan di atas berdasarkan kesaksian dari laporan Marsose dan buku harian sekretaris pribadi istana, Gerrie van Maasdijk. Sekretaris ini dulu dipecat setelah konfliknya dengan Pangeran Bernhard. Penemuan itu dirangkum dalam buku berjudul “ZKH”, Zijne Koninkelijke Hoogheid (Paduka Yang Mulia Pangeran). Menurut penyelidikan ternyata Westerling pernah mengadakan kontak rahasia dengan staf Pangeran Bernhard sehubungan dengan kudeta itu.
Penelusuran mengarah ke bukti-bukti adanya bantuan rahasia penyaluran senjata dari pihak Pangeran Bernhard terhadap pasukan Westerling. Bahkan ada temuan yang menunjukkan bahwa sang Pangeran sudah mengantisipasi jika kudeta itu berhasil. Yaitu permintaan bantuan kepada Jendral Douglas Mac Arthur sebagai panglima di pangkalan Pasifik untuk mengirim pasukannya, jika kudeta Westerling sukses dan menimbulkan perang saudara.
Kalau kita harus menentukan pemenang di antara Westerling, Soekarno, Pangeran Bernhard: siapakah setelah perang yang pantas disebut sebagai pemenang? Westerling yang walaupun disebut penjahat perang, tapi sampai mati tidak pernah diseret ke mahkamah militer? Presiden Soekarno yang gagal dikudeta Westerling (tapi berhasil dikudeta “geger 1965”)? Pangeran Bernhard yang terkesan “immun” karena posisinya sebagai suami sang Ratu?
Entahlah. Orang bilang, di dalam perang yang menang jadi abu, kalah jadi arang. Semua ketiga tokoh di atas sudah “Rest in Peace”. Bagi orang-orang di “alam RIP”, soal kalah dan menang tidak lagi penting. Toh kehidupan sudah memberi setiap orang jatah kemenangan dan kekalahannya masing-masing. Kemenangan bagi seseorang, mungkin disebut kekalahan di mata orang lain. Begitu juga sebaliknya.
Yang jelas, cerita sejarah perang mungkin saja bisa jadi cerita menarik. Tapi sayang sekali nyaris tak ada cerita tentang damai di dalamnya.
Walentina Waluyanti
Nederland, 24 Januari 2010
Sumber : KoKi
Korban Westerling Beri Waktu 3 Minggu
"Dalam tiga minggu diselesaikan secepat mungkin karena para janda itu sudah berusia lanjut
Selasa, 8 Mei 2012, 22:05Elin Yunita Kristanti
VIVAnews - Sepucuk surat tiba di meja Menteri Luar Negeri Belanda, Uri Rosenthal. Pengirimnya 10 anggota keluarga korban pembantaian di Sulawesi Selatan pada tahun 1947.
Selain kompensasi, para keluarga korban juga menuntut maaf dari Belanda atas kekejaman pasukan Depot Speciale Troepenyang dipimpin Kapten Raymond Pierre Paul Westerling.
"Tuntutannya bertanggung jawab meminta kehormatan kembali dan ganti rugi. Dalam surat itu kami ceritakan bahwa mereka punya ayah, anak dieksekusi begitu saja, dan Westerling ini mendapatkan mandat dari pemerintah Belanda," kata Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda, KUKB, yang mendampingi keluarga korban di Belanda, Jeffry Pondakh seperti dimuat BBC, Selasa petang.
Pemerintah Belanda, dia menambahkan dianggap ikut bertanggung jawab atas kekejaman itu. Keluarga korban memberi waktu tiga minggu. "Kami harap pemerintah Belanda mau berbicara dengan kami dan jangan sampai ke Pengadilan. Dan dalam tiga minggu diselesaikan secepat mungkin karena para janda itu sudah berusia lanjut," tambah Jeffry.
Dalam surat yang ditulis pengacara HAM, Liesbeth Zegveld disebutkan, para korban dibunuh dalam serangkaian pembantaian di desa-desa. Salah satunya di Desa Galung Lombok pada 1 Februari 1947, disebutkan pasukan Belanda masuk ke desa pagi hari, memerintahkan warga meninggalkan rumah sebelum membakarnya. Sebanyak 364 nyawa melayang kala itu.
Asia Sitti, putri dari sesepuh desa menyaksikan pembantaian itu. "Sitti saat itu berusia 12 tahun ketika ayahnya ditembak mati di hadapannya," kata Zegveld.
Di desa lain, Bulukumba, diduga ada 250 orang lelaki dieksekusi pada Januari 1947. Beberapa ditembak ketika berusaha melarikan diri di persawahan, yang lainnya ditembak di depan lubang yang sudah mereka gali.
"Orang-orang itu ditembak dari belakang sehingga mereka langsung terjatuh ke lubang," demikian isi surat itu. "Sebagian besar korban adalah petani atau nelayan.
Selain kompensasi, para keluarga korban juga menuntut maaf dari Belanda atas kekejaman pasukan Depot Speciale Troepenyang dipimpin Kapten Raymond Pierre Paul Westerling.
"Tuntutannya bertanggung jawab meminta kehormatan kembali dan ganti rugi. Dalam surat itu kami ceritakan bahwa mereka punya ayah, anak dieksekusi begitu saja, dan Westerling ini mendapatkan mandat dari pemerintah Belanda," kata Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda, KUKB, yang mendampingi keluarga korban di Belanda, Jeffry Pondakh seperti dimuat BBC, Selasa petang.
Pemerintah Belanda, dia menambahkan dianggap ikut bertanggung jawab atas kekejaman itu. Keluarga korban memberi waktu tiga minggu. "Kami harap pemerintah Belanda mau berbicara dengan kami dan jangan sampai ke Pengadilan. Dan dalam tiga minggu diselesaikan secepat mungkin karena para janda itu sudah berusia lanjut," tambah Jeffry.
Dalam surat yang ditulis pengacara HAM, Liesbeth Zegveld disebutkan, para korban dibunuh dalam serangkaian pembantaian di desa-desa. Salah satunya di Desa Galung Lombok pada 1 Februari 1947, disebutkan pasukan Belanda masuk ke desa pagi hari, memerintahkan warga meninggalkan rumah sebelum membakarnya. Sebanyak 364 nyawa melayang kala itu.
Asia Sitti, putri dari sesepuh desa menyaksikan pembantaian itu. "Sitti saat itu berusia 12 tahun ketika ayahnya ditembak mati di hadapannya," kata Zegveld.
Di desa lain, Bulukumba, diduga ada 250 orang lelaki dieksekusi pada Januari 1947. Beberapa ditembak ketika berusaha melarikan diri di persawahan, yang lainnya ditembak di depan lubang yang sudah mereka gali.
"Orang-orang itu ditembak dari belakang sehingga mereka langsung terjatuh ke lubang," demikian isi surat itu. "Sebagian besar korban adalah petani atau nelayan.
Dipetieskan
Kasus kekejaman Westerling bukannya tak tercium oleh Pemerintah Belanda. DilaporkanRadio Nederland, negeri itu telah membentuk komisi penyidik khusus. Namun, diam-diam, pada 1954 kabinet memutuskan tidak akan mengusutnya lebih lanjut.
Hingga saat ini laporan komisi tersebut masih tergolong dokumen "sangat rahasia". Namun harian Belanda, De Volkskrant, berhasil mendapatkan bocoran dokumen yang disusun pejabat tinggi dari kalangan militer, kehakiman dan pemerintahan itu.
Laporan memuat fakta pembunuhan sekitar 3.000 warga, selama tiga bulan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban pimpinan Kapten Raymond Westerling, di Sulawesi Selatan, pada akhir tahun 1946. Atasan langsungnya memberi Kapten Westerling wewenang menghukum mati para "perampok" dan pengacau lainnya.
Banyak kasus pembunuhan dilaksanakan setelah serdadu Kapten Westerling menyelenggarakan apa yang mereka sebut sebagai "pengadilan kilat". Laporan memuat fakta pembunuhan lebih dari 300 warga suatu desa, dalam satu hari.
Dalam dokumen ini tidak ada penjelasan alasan kabinet pimpinan Perdana Menteri Willem Drees (partai sosial demokrat, PvdA), pada tahun 1954 memutuskan tidak akan memperkarakan pelanggaran berat ini.
Dalam salah satu lembaran laporan terdapat tulisan tangan seorang pejabat pemerintah, yang menyatakan bahwa "tindakan beberapa perwira militer memang sangat keterlaluan". Namun, pada goresan selanjutnya tertulis "tidak ada gunanya mengungkit masa lalu".
Hingga saat ini laporan komisi tersebut masih tergolong dokumen "sangat rahasia". Namun harian Belanda, De Volkskrant, berhasil mendapatkan bocoran dokumen yang disusun pejabat tinggi dari kalangan militer, kehakiman dan pemerintahan itu.
Laporan memuat fakta pembunuhan sekitar 3.000 warga, selama tiga bulan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban pimpinan Kapten Raymond Westerling, di Sulawesi Selatan, pada akhir tahun 1946. Atasan langsungnya memberi Kapten Westerling wewenang menghukum mati para "perampok" dan pengacau lainnya.
Banyak kasus pembunuhan dilaksanakan setelah serdadu Kapten Westerling menyelenggarakan apa yang mereka sebut sebagai "pengadilan kilat". Laporan memuat fakta pembunuhan lebih dari 300 warga suatu desa, dalam satu hari.
Dalam dokumen ini tidak ada penjelasan alasan kabinet pimpinan Perdana Menteri Willem Drees (partai sosial demokrat, PvdA), pada tahun 1954 memutuskan tidak akan memperkarakan pelanggaran berat ini.
Dalam salah satu lembaran laporan terdapat tulisan tangan seorang pejabat pemerintah, yang menyatakan bahwa "tindakan beberapa perwira militer memang sangat keterlaluan". Namun, pada goresan selanjutnya tertulis "tidak ada gunanya mengungkit masa lalu".
Bukti harus kuat
Terkait tuntutan ini, Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, belajar dari kasus Rawagede, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan.
"Bahwa kompensasi mungkin dilakukan namun tidak mungkin mengadili peristiwa di masa lampau," kata dia kepada VIVAnews.com, Selasa 8 Mei 2012 malam. Pelaku yang masih hidup tak mungkin diseret ke meja hijau.
Pihak yang mengajukan, dia menambahkan, harus korban yang masih hidup, suami atau istri korban. "Anak, kerabat, dan sebagainya tidak bisa mewakili," tambah dia.
Dan yang terpenting adalah bukti. "Harus ada dokumen bahwa memang terjadi apa yang disebut kekejaman dan pelanggaran terhadap hukum."
Hikmahanto menambahkan, kasus Rawagede adalah terobosan, bahwa individu bisa mengajukan gugatan di masa lalu pada sebuah negara. "Selama ini yang terjadi dilakukan negara dengan negara, misalnya Indonesia-Jepang dengan pampasan perang, dengan Belanda berupa bantuan pinjaman lunak," kata dia.
"Bahwa kompensasi mungkin dilakukan namun tidak mungkin mengadili peristiwa di masa lampau," kata dia kepada VIVAnews.com, Selasa 8 Mei 2012 malam. Pelaku yang masih hidup tak mungkin diseret ke meja hijau.
Pihak yang mengajukan, dia menambahkan, harus korban yang masih hidup, suami atau istri korban. "Anak, kerabat, dan sebagainya tidak bisa mewakili," tambah dia.
Dan yang terpenting adalah bukti. "Harus ada dokumen bahwa memang terjadi apa yang disebut kekejaman dan pelanggaran terhadap hukum."
Hikmahanto menambahkan, kasus Rawagede adalah terobosan, bahwa individu bisa mengajukan gugatan di masa lalu pada sebuah negara. "Selama ini yang terjadi dilakukan negara dengan negara, misalnya Indonesia-Jepang dengan pampasan perang, dengan Belanda berupa bantuan pinjaman lunak," kata dia.
Pembantai Tak Diadili, Sikap Korban Rawagede?
Keluarga korban memang diberi kompensasi uang, tapi mengapa para pembantai tak diadili?
ddd
Senin, 16 April 2012, 07:05Elin Yunita Kristanti
VIVAnews -- Keadilan hukum untuk korban pembantaian Rawagede makin di awang-awang. Pada Jumat 13 April 2012 lalu, Kejaksaan Belanda di Arnhem memutuskan, para serdadu NICA penembak 431 lelaki Rawagede tak bisa diadili.
Sebab, kasus dianggap kadaluarsa. UU Belanda menyebut, untuk menghukum tindak kejahatan kriminal, bahkan yang kasus besar sekalipun, hanya berlaku surut 24 tahun. Sementara tragedi Rawagede terjadi 64 tahun lalu.
Menanggapi keputusan itu, Ketua Yayasan Rawagede Sukarman mengaku kaget. "Saya baru tahu ada putusan seperti itu. Mestinya, yang namanya pelanggaran HAM itu tak ada kadaluarsanya," kata dia saat dihubungi VIVAnews.com, Minggu 15 April 2012 malam.
Apalagi, dia menambahkan, apa yang terjadi di Rawagede bukanlah perang. Kedudukan kala itu tak seimbang, 300 tentara bersenjata lengkap yang dipimpin Mayor Alphons Wijnen menghadapi rakyat tak berdaya. "Kalau pampasan perang baru ada kadaluarsanya," tambah dia.
Sukarman menambahkan, saat berkunjung ke Den Haag, Negeri Belanda 25 Juni 2011 lalu, ia sempat bertemu dengan mantan serdadu Belanda yang ditugaskan ke Rawagede. "Saat itu ia mengaku ada 100 penembak, masih banyak yang hidup," kata dia.
Sukarman menambahkan, kasus hukum terhadap pelaku pembantaian Rawagede harus berlanjut. "Mereka harus tanggung jawab, apalagi putusan Pengadilan Belanda menyebut, Belanda bersalah, itu pelanggaran HAM," kata dia.
Dan, yang namanya pelanggaran HAM, tak ada batas waktu. Selagi saksi, bukti, dan pelakunya masih ada.
Sukarman menambahkan, pengadilan terhadap pelaku bukan dimaksudkan untuk balas dendam dan menghukum para mantan serdadu yang sudah papa itu. Tapi demi keadilan korban, tak perlu dihukum, paling tidak ada vonis bersalah atas mereka. "Kalau pun tak diadili, kalau perlu mereka yang masih hidup datang ke Karawang, ke Rawagede minta maaf secara langsung. Yang namanya manusia, pasti kami maafkan," tambah dia.
Pada 9 Desember 1947, 300 tentara Belanda masuk ke Rawagede untuk satu tujuan: mencari dan menangkap Kapten Lukas Kustaryo, komandan kompi Divisi Siliwangi yang kerap membuat repot Belanda. Oleh prajurit NICA ia dijuluki 'Begundal Karawang'.
Lukas tak didapat, yang terjadi rakyat jadi korban kemarahan. Ini yang terjadi kala itu: para lelaki yang dibantai diberondong senapan dari belakang, sungai yang merah dengan darah, tangis pilu janda dan anak-anak yang dengan tenaga seadanya berusaha menguburkan jasad yang bergelimpangan, bau mayat yang menyengat selama berhari-hari.
Sebuah surat tanpa nama pernah dikirim kepada Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) di Belanda. Pengirimnya mengaku seorang veteran perang yang mengaku ikut andil dalam tragedi Rawagede.
Surat itu berisi penyesalan. "Sekarang aku siang malam teringat Rawa Gedeh, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata," kata orang tersebut. Baca selengkapnya di tautan ini.
VIVAnews – Bupati Karawang Ade Swara menyatakan, kompensasi uang dari pemerintah Belanda bukanlah yang utama bagi keluarga korban pembantaian Rawagede. Ia menegaskan, permohonan maaf resmi dari Belanda jauh lebih bermakna.
“Yang paling berarti adalah kata ‘maaf’ dan penyesalan pemerintah Belanda, bahwa mereka mengakui apa yang mereka lakukan di sini pada tahun 1947 adalah tragedi yang semestinya tidak terjadi,” kata Ade usai Peringatan Tragedi Rawagede di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, Karawang, Jawa Barat, Jumat 9 desember 2011.
Keluarnya permintaan maaf dari pemerintah Kerajaan Belanda, ujar Ade, menunjukkan bahwa apa yang diperjuangkan para janda dan keluarga korban di Pengadilan Den Haag, Belanda, adalah fakta. Lebih lanjut, Ade menilai kemenangan kasus Rawagede bagi pihak keluarga korban, dapat menjadi pintu bagi terungkapnya puluhan kasus pembantaian serupa yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
“Ini langkah awal untuk melanjutkan kasus-kasus lain di beberapa daerah di Indonesia. Kan selama ini kita dengar ada puluhan kasus lain yang modusnya sama,” kata Ade. Menanggapi potensi diajukannya kasus pembantaian lain oleh tentara Belanda ke pengadilan, Belanda tetap bersikap tenang.
“Apa yang terjadi selanjutnya, ya lihat nanti,” kata Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Tjeerd De Zwaan. Saat ini, menurutnya, yang terpenting adalah dia bahagia bisa menjadi perwakilan Belanda untuk menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada keluarga korban.
Ade Swara sendiri menilai, permohonan maaf Belanda memang cukup melegakan keluarga korban. “Tampak kegembiraan pada keluarga korban,” kata dia.
Awasi Kucuran Kompensasi
Ade mengemukakan, Pemerintah Daerah Karawang akan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengawasi pencairan dan distribusi dana kompensasi dari pemerintah Belanda kepada keluarga korban. “Kami akan berkoordinasi, meski belum ada komunikasi detail. Rincian kompensasi nanti akan dibicarakan dengan pemerintah pusat (RI) dan pemerintah Belanda,” paparnya.
Pemerintah Belanda menyiapkan kompensasi sebesar 20.000 Euro atau setara dengan Rp240 juta untuk 9 janda korban pembantaian. Dengan demikian, total kompensasi yang diberikan pemerintah Belanda adalah 180.000 Euro atau setara dengan Rp2,16 miliar.
“Tentunya tidak ada jumlah uang yang dapat menggantikan semua hal yang menjadi kerusakan di sini. Tapi uang 20.000 Euro adalah suatu permintaan maaf secara sukarela untuk menggantikannya,” kata Liesbeth Zegveld, warga Belanda yang juga menjadi pengacara para janda korban pembantaian Rawagede di Pengadilan Den Haag, Belanda. (umi)
VIVAnews - Pemerintah Indonesia sempat akan membeli Main Battle Tank Leopard dari Belanda. Namun, karena pemerintah Belanda mengajukan syarat politik, Indonesia akhirnya mengalihkan pembelian ke Jerman.
"Pengadaan MBT Leopard, sebelumnya dari Belanda. Tapi, akhirnya kita beralih ke Jerman, karena ada persinggungan dengan posisi diplomatik, baik bilateral maupun regional," kata SBY di Mabes TNI, Jakarta, Kamis 9 Agustus 2012.
Menurut SBY, ada keberatan dari salah satu unsur pemerintahan Belanda yang khawatir kendaraan tempur itu akan digunakan untuk pelanggaran HAM di Indonesia. Parlemen Belanda tidak setuju penjualan tank ke Indonesia, karena catatan pelanggaran HAM di Papua.
Parlemen Belanda meminta jaminan dari Indonesia bahwa tank mereka tidak akan digunakan untuk tujuan tersebut. Dikatakan seperti itu, SBY berang dan urung membeli tank dari negara bekas penjajah Indonesia tersebut.
"Jangan menguliahi Indonesia tentang HAM. Penjajahan, itu baru pelanggaran HAM," kata SBY.
Ketika bertemu Kanselir Jerman Angela Merkel, SBY menjelaskan posisi Indonesia yang tidak mau ada persyaratan politik dalam pengadaan alutsista. Sebab, Indonesia membeli alutsista dengan uang sendiri, tidak pada tempatnya diributkan oleh negara penjual.
"Waktu bertemu Kanselir Merkel, saya jelaskan posisi indonesia. Jangan ada anasir-anasir di negara mana pun. Indonesia punya posisi," ujar Presiden.
Menurut SBY, Indonesia ingin mandiri dan tidak tergantung negara lain. Yakni, tak pernah beli alutsista kalau ada persyaratan politik. "Di negara mana pun selalu ada pro dan kontra. Yang penting konsep kami jelas, posisi kami jernih, rencana kami jelas, untuk kepentingan pertahanan," kata Yudhoyono. (art)
REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- Salah satu anggota parlemen Belanda, Geert Wilders berbuat ulah. Setelah sebelumnya terus menyuarakan sikap anti-Islam, kali ini politisi Partai Kebebasan (PVV) itu bersuara keras menolak rencana penjualan main battle tank (MBT) Leopard 2A6 ke Indonesia.
Dikutip laman Radio Belanda (NRW), kondisi itu terjadi lantaran situasi politik tak menentu di bawah pemerintahan minoritas sementara. Sontak hal it mengubah banyak kebijakan pemerintah Belanda, termasuk beberapa aspek dalam kebijakan luar negerinya.
Sebelumnya, Geert Wilders memberikan dukungan pada pemerintahan parlemen dengan maksud agar beberapa kebijakan partainya, Partai Kebebasan (PVV) bisa terlaksana. Namun dia sekarang menarik dukungannya terhadap kabinet. Dengan begitu, kabinet sementara juga bebas menarik dukungan mereka terhadap kebijakan-kebijakan Wilders.
Menteri Imigrasi Gerd Leers, misalnya, telah mengumumkan akan berhenti memberlakukan beberapa kebijakan seperti pengetatan reunifikasi keluarga. Menteri Dalam Negeri juga tidak lagi mendukung undang-undang baru yang diajukan oleh Wilders, yaitu pelarangan bagi warga negara Belanda untuk mendapatkan paspor ganda.
Karena pindah oposisi, Wilders sekarang bebas untuk menentang beberapa aspek kebijakan luar negeri yang mendapat dukungannya hanya demi kepentingan menjaga pemerintahan tetap berkuasa. Salah satu kebijakan tersebut adalah penjualan puluhan tank Leopard bekas yang tidak diperlukan lagi oleh militer Belanda ke Indonesia.
PVV sebenarnya selalu menentang terjadinya penjualan, tetapi tidak pernah sampai menghalangi rencana. Sekarang mereka akan bergabung dengan partai-partai oposisi dan memastikan transaksi tidak terjadi.
Sekarang parlemen Belanda memegang peranan besar dalam kebijakan pemerintah daripada yang sudah-sudah. Ini diperjelas lagi hari Kamis lalu ketika lima partai bersatu dalam menyepakati anggaran 2013. Kelima partai yang sama (VVD, Kristen Demokrat, Hijau Kiri, Demokrat 66 dan Uni Kristen) tahun lalu menyetujui misi pelatihan polisi Belanda untuk Kunduz di Afghanistan.
Sejak itu, kombinasi kelima partai dikenal sebagai 'Koalisi Kunduz.?Koalisi tersebut, ditambah dengan Partai Buruh, akan banyak berperan dalam menentukan kebijakan luar negeri beberapa bulan mendatang.
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo mengakui, pihaknya berencana membeli tank tempur utama (MBT) Leopard 2A6 dari Jerman. Keputusan itu diambil setelah pihaknya melakukan kunjungan ke pabrikan Tank Leopard di Jerman, pekan lalu.
Menurut Pramono, belum satu suaranya pemerintah Belanda dengan parlemen membuatnya harus bersikap tegas. Apalagi pihaknya menemukan tidak adanya perbedaan harga dengan yang ditawarkan Belanda. Karena itu, pihaknya mengusahakan agar anggaran 280 juta dolar AS mampu mendapat 100 Tank Leopard.
Namun, kalau pihaknya sudah deal dengan Jerman, dan pemerintah Belanda setuju menjual Leopard, maka TNI AD akan membeli dari keduanya. Adapun mekanisme pembelian dilakukan langsung antarpemerintah (goverment to goverment). "Tawaran Jerman cukup menjanjikan untuk mengisi kekosangan. Apalagi Belanda masih ada permasalahan dari parlemen," kata Pramono di Mabes TNI AD, Kamis (7/3).
Dijelaskannya, selaku produsen Leopard, Jerman memang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan membeli daripada Belanda. Selain dapat melakukan transfer of technology (TOT), Jerman juga menawarkan joint production untuk pembuatan beberapa bagian tank seberat 60 ton tersebut dengan menggandeng PT Pindad.
Sebab, kasus dianggap kadaluarsa. UU Belanda menyebut, untuk menghukum tindak kejahatan kriminal, bahkan yang kasus besar sekalipun, hanya berlaku surut 24 tahun. Sementara tragedi Rawagede terjadi 64 tahun lalu.
Menanggapi keputusan itu, Ketua Yayasan Rawagede Sukarman mengaku kaget. "Saya baru tahu ada putusan seperti itu. Mestinya, yang namanya pelanggaran HAM itu tak ada kadaluarsanya," kata dia saat dihubungi VIVAnews.com, Minggu 15 April 2012 malam.
Apalagi, dia menambahkan, apa yang terjadi di Rawagede bukanlah perang. Kedudukan kala itu tak seimbang, 300 tentara bersenjata lengkap yang dipimpin Mayor Alphons Wijnen menghadapi rakyat tak berdaya. "Kalau pampasan perang baru ada kadaluarsanya," tambah dia.
Sukarman menambahkan, saat berkunjung ke Den Haag, Negeri Belanda 25 Juni 2011 lalu, ia sempat bertemu dengan mantan serdadu Belanda yang ditugaskan ke Rawagede. "Saat itu ia mengaku ada 100 penembak, masih banyak yang hidup," kata dia.
Sukarman menambahkan, kasus hukum terhadap pelaku pembantaian Rawagede harus berlanjut. "Mereka harus tanggung jawab, apalagi putusan Pengadilan Belanda menyebut, Belanda bersalah, itu pelanggaran HAM," kata dia.
Dan, yang namanya pelanggaran HAM, tak ada batas waktu. Selagi saksi, bukti, dan pelakunya masih ada.
Sukarman menambahkan, pengadilan terhadap pelaku bukan dimaksudkan untuk balas dendam dan menghukum para mantan serdadu yang sudah papa itu. Tapi demi keadilan korban, tak perlu dihukum, paling tidak ada vonis bersalah atas mereka. "Kalau pun tak diadili, kalau perlu mereka yang masih hidup datang ke Karawang, ke Rawagede minta maaf secara langsung. Yang namanya manusia, pasti kami maafkan," tambah dia.
Pada 9 Desember 1947, 300 tentara Belanda masuk ke Rawagede untuk satu tujuan: mencari dan menangkap Kapten Lukas Kustaryo, komandan kompi Divisi Siliwangi yang kerap membuat repot Belanda. Oleh prajurit NICA ia dijuluki 'Begundal Karawang'.
Lukas tak didapat, yang terjadi rakyat jadi korban kemarahan. Ini yang terjadi kala itu: para lelaki yang dibantai diberondong senapan dari belakang, sungai yang merah dengan darah, tangis pilu janda dan anak-anak yang dengan tenaga seadanya berusaha menguburkan jasad yang bergelimpangan, bau mayat yang menyengat selama berhari-hari.
Sebuah surat tanpa nama pernah dikirim kepada Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) di Belanda. Pengirimnya mengaku seorang veteran perang yang mengaku ikut andil dalam tragedi Rawagede.
Surat itu berisi penyesalan. "Sekarang aku siang malam teringat Rawa Gedeh, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata," kata orang tersebut. Baca selengkapnya di tautan ini.
PERINGATAN TRAGEDI RAWAGEDE
“Kompensasi Nomor Dua, Maaf Paling Utama”
"Ini langkah awal untuk membuka kasus pembantaian serupa di daerah lain di Indonesia."
ddd
Jum'at, 9 Desember 2011, 13:38Anggi Kusumadewi, Nila Chrisna Yulika
(VIVAnews/Anhar Rizki Affandi)
VIVAnews – Bupati Karawang Ade Swara menyatakan, kompensasi uang dari pemerintah Belanda bukanlah yang utama bagi keluarga korban pembantaian Rawagede. Ia menegaskan, permohonan maaf resmi dari Belanda jauh lebih bermakna.
“Yang paling berarti adalah kata ‘maaf’ dan penyesalan pemerintah Belanda, bahwa mereka mengakui apa yang mereka lakukan di sini pada tahun 1947 adalah tragedi yang semestinya tidak terjadi,” kata Ade usai Peringatan Tragedi Rawagede di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, Karawang, Jawa Barat, Jumat 9 desember 2011.
Keluarnya permintaan maaf dari pemerintah Kerajaan Belanda, ujar Ade, menunjukkan bahwa apa yang diperjuangkan para janda dan keluarga korban di Pengadilan Den Haag, Belanda, adalah fakta. Lebih lanjut, Ade menilai kemenangan kasus Rawagede bagi pihak keluarga korban, dapat menjadi pintu bagi terungkapnya puluhan kasus pembantaian serupa yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
“Ini langkah awal untuk melanjutkan kasus-kasus lain di beberapa daerah di Indonesia. Kan selama ini kita dengar ada puluhan kasus lain yang modusnya sama,” kata Ade. Menanggapi potensi diajukannya kasus pembantaian lain oleh tentara Belanda ke pengadilan, Belanda tetap bersikap tenang.
“Apa yang terjadi selanjutnya, ya lihat nanti,” kata Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Tjeerd De Zwaan. Saat ini, menurutnya, yang terpenting adalah dia bahagia bisa menjadi perwakilan Belanda untuk menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada keluarga korban.
Ade Swara sendiri menilai, permohonan maaf Belanda memang cukup melegakan keluarga korban. “Tampak kegembiraan pada keluarga korban,” kata dia.
Awasi Kucuran Kompensasi
Ade mengemukakan, Pemerintah Daerah Karawang akan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengawasi pencairan dan distribusi dana kompensasi dari pemerintah Belanda kepada keluarga korban. “Kami akan berkoordinasi, meski belum ada komunikasi detail. Rincian kompensasi nanti akan dibicarakan dengan pemerintah pusat (RI) dan pemerintah Belanda,” paparnya.
Pemerintah Belanda menyiapkan kompensasi sebesar 20.000 Euro atau setara dengan Rp240 juta untuk 9 janda korban pembantaian. Dengan demikian, total kompensasi yang diberikan pemerintah Belanda adalah 180.000 Euro atau setara dengan Rp2,16 miliar.
“Tentunya tidak ada jumlah uang yang dapat menggantikan semua hal yang menjadi kerusakan di sini. Tapi uang 20.000 Euro adalah suatu permintaan maaf secara sukarela untuk menggantikannya,” kata Liesbeth Zegveld, warga Belanda yang juga menjadi pengacara para janda korban pembantaian Rawagede di Pengadilan Den Haag, Belanda. (umi)
SBY: Jangan Kuliahi Indonesia Soal HAM
Karena syarat politik, Indonesia urung beli tank dari Belanda.
ddd
Kamis, 9 Agustus 2012, 23:14Denny Armandhanu, Suryanta Bakti Susila
(Dok. Kementerian Luar Negeri)
VIVAnews - Pemerintah Indonesia sempat akan membeli Main Battle Tank Leopard dari Belanda. Namun, karena pemerintah Belanda mengajukan syarat politik, Indonesia akhirnya mengalihkan pembelian ke Jerman.
"Pengadaan MBT Leopard, sebelumnya dari Belanda. Tapi, akhirnya kita beralih ke Jerman, karena ada persinggungan dengan posisi diplomatik, baik bilateral maupun regional," kata SBY di Mabes TNI, Jakarta, Kamis 9 Agustus 2012.
Menurut SBY, ada keberatan dari salah satu unsur pemerintahan Belanda yang khawatir kendaraan tempur itu akan digunakan untuk pelanggaran HAM di Indonesia. Parlemen Belanda tidak setuju penjualan tank ke Indonesia, karena catatan pelanggaran HAM di Papua.
Parlemen Belanda meminta jaminan dari Indonesia bahwa tank mereka tidak akan digunakan untuk tujuan tersebut. Dikatakan seperti itu, SBY berang dan urung membeli tank dari negara bekas penjajah Indonesia tersebut.
"Jangan menguliahi Indonesia tentang HAM. Penjajahan, itu baru pelanggaran HAM," kata SBY.
Ketika bertemu Kanselir Jerman Angela Merkel, SBY menjelaskan posisi Indonesia yang tidak mau ada persyaratan politik dalam pengadaan alutsista. Sebab, Indonesia membeli alutsista dengan uang sendiri, tidak pada tempatnya diributkan oleh negara penjual.
"Waktu bertemu Kanselir Merkel, saya jelaskan posisi indonesia. Jangan ada anasir-anasir di negara mana pun. Indonesia punya posisi," ujar Presiden.
Menurut SBY, Indonesia ingin mandiri dan tidak tergantung negara lain. Yakni, tak pernah beli alutsista kalau ada persyaratan politik. "Di negara mana pun selalu ada pro dan kontra. Yang penting konsep kami jelas, posisi kami jernih, rencana kami jelas, untuk kepentingan pertahanan," kata Yudhoyono. (art)
Wilders Tolak Jual Tank Leopard ke Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- Salah satu anggota parlemen Belanda, Geert Wilders berbuat ulah. Setelah sebelumnya terus menyuarakan sikap anti-Islam, kali ini politisi Partai Kebebasan (PVV) itu bersuara keras menolak rencana penjualan main battle tank (MBT) Leopard 2A6 ke Indonesia.
Dikutip laman Radio Belanda (NRW), kondisi itu terjadi lantaran situasi politik tak menentu di bawah pemerintahan minoritas sementara. Sontak hal it mengubah banyak kebijakan pemerintah Belanda, termasuk beberapa aspek dalam kebijakan luar negerinya.
Sebelumnya, Geert Wilders memberikan dukungan pada pemerintahan parlemen dengan maksud agar beberapa kebijakan partainya, Partai Kebebasan (PVV) bisa terlaksana. Namun dia sekarang menarik dukungannya terhadap kabinet. Dengan begitu, kabinet sementara juga bebas menarik dukungan mereka terhadap kebijakan-kebijakan Wilders.
Menteri Imigrasi Gerd Leers, misalnya, telah mengumumkan akan berhenti memberlakukan beberapa kebijakan seperti pengetatan reunifikasi keluarga. Menteri Dalam Negeri juga tidak lagi mendukung undang-undang baru yang diajukan oleh Wilders, yaitu pelarangan bagi warga negara Belanda untuk mendapatkan paspor ganda.
Karena pindah oposisi, Wilders sekarang bebas untuk menentang beberapa aspek kebijakan luar negeri yang mendapat dukungannya hanya demi kepentingan menjaga pemerintahan tetap berkuasa. Salah satu kebijakan tersebut adalah penjualan puluhan tank Leopard bekas yang tidak diperlukan lagi oleh militer Belanda ke Indonesia.
PVV sebenarnya selalu menentang terjadinya penjualan, tetapi tidak pernah sampai menghalangi rencana. Sekarang mereka akan bergabung dengan partai-partai oposisi dan memastikan transaksi tidak terjadi.
Sekarang parlemen Belanda memegang peranan besar dalam kebijakan pemerintah daripada yang sudah-sudah. Ini diperjelas lagi hari Kamis lalu ketika lima partai bersatu dalam menyepakati anggaran 2013. Kelima partai yang sama (VVD, Kristen Demokrat, Hijau Kiri, Demokrat 66 dan Uni Kristen) tahun lalu menyetujui misi pelatihan polisi Belanda untuk Kunduz di Afghanistan.
Sejak itu, kombinasi kelima partai dikenal sebagai 'Koalisi Kunduz.?Koalisi tersebut, ditambah dengan Partai Buruh, akan banyak berperan dalam menentukan kebijakan luar negeri beberapa bulan mendatang.
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo mengakui, pihaknya berencana membeli tank tempur utama (MBT) Leopard 2A6 dari Jerman. Keputusan itu diambil setelah pihaknya melakukan kunjungan ke pabrikan Tank Leopard di Jerman, pekan lalu.
Menurut Pramono, belum satu suaranya pemerintah Belanda dengan parlemen membuatnya harus bersikap tegas. Apalagi pihaknya menemukan tidak adanya perbedaan harga dengan yang ditawarkan Belanda. Karena itu, pihaknya mengusahakan agar anggaran 280 juta dolar AS mampu mendapat 100 Tank Leopard.
Namun, kalau pihaknya sudah deal dengan Jerman, dan pemerintah Belanda setuju menjual Leopard, maka TNI AD akan membeli dari keduanya. Adapun mekanisme pembelian dilakukan langsung antarpemerintah (goverment to goverment). "Tawaran Jerman cukup menjanjikan untuk mengisi kekosangan. Apalagi Belanda masih ada permasalahan dari parlemen," kata Pramono di Mabes TNI AD, Kamis (7/3).
Dijelaskannya, selaku produsen Leopard, Jerman memang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan membeli daripada Belanda. Selain dapat melakukan transfer of technology (TOT), Jerman juga menawarkan joint production untuk pembuatan beberapa bagian tank seberat 60 ton tersebut dengan menggandeng PT Pindad.
No comments:
Post a Comment