Thursday, April 11, 2013

Di Asia Tenggara, Teknologi Pesawat Tanpa Awak Indonesia Lebih Maju

Ilustrasi

Di Asia Tenggara, Teknologi Pesawat Tanpa Awak Indonesia Lebih Maju

Iman Herdiana - Okezone

UAV buatan PT Aviator Teknologi Indonesia (ATI) diperlihatkan dalam
sebuah pameran Indo-Defense 2008 lalu.
Teknologi pesawat tanpa awak di Indonesia diklaim paling maju di kawasan Asia Tenggara. Misalnya dibandingkan dengan negara Malaysia dan Singapura.

"Malaysia masih di bawah kita. Bahkan dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti, Singapura, kita masih lebih bagus," ungkap Ketua Jurusan Aeronautika dan Astronautika Fakultas Teknik Mesin Penerbangan (FTMD) Institut Teknologi Bandung (ITB), Taufiq Mulyanto, kepada Okezone, Sabtu (3/11/2012).

Sejak kemarin Jumat 2 November hingga Minggu 4 November mendatang, FTMD ITB menggelar kontes pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicle/UAV) lewat Indonesia Aerial Robot Contest (IARC) 2012 di Lanud Sulaeman, Soreang, Kabupaten Bandung.

Menurut Taufiq, Singapura memang memiliki resource yang bagus. Namun jika ditelusuri, SDM-nya justru dari Indonesia, misalnya dari ITB. "Malaysia juga belum (UAV-nya belum maju), dapurnya di kita," tambahnya.

detail berita
Mahasiswa peserta kontes UAV (pesawat tanpa awak)
  di ITB sedang bekerja (Foto: Iman Herdiana/Okezone)
Makanya dengan dihelatnya IARC 2012, semangat untuk mengembangkan teknologi pesawat tanpa awak di Indonesia makin meningkat. "Lewat event ini bendera kita harus terus berkibar," ujarnya.

IARC 2012 merupakan event tahunan FTMD ITB yang sudah digelar sejak 2008. Kali ini, IARC berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana acara dihelat di outdoor. Biasanya, IARC ITB digelar di ruangan FTMD ITB, Jalan Ganeca, Bandung. Sehingga tantangan peserta IARC kali ini akan lebih berat.

"Sekarang outdoor. Sebelumnya pada September kami telah melakukan workshop, dan survei tentang bagaimana jika dilakukan kontes outdoor. Sehingga kesiapannya sudah diperhitungkan," terangnya.

Ada tiga tujuan utama kenapa IARC. Kata Taufiq, intinya even ini ingin menumbuhkan spirit inovasi khususnya bidang UAV, bukan hanya sekedar kontes menang kalah.

Kedua, kata dia, diharapkan ada kolaborasi antara ilmu di perguruan tinggi dan sekolah tingkat SMA.

"Ketiga, ada proses, kita enggak lihat hasil akhir saja tapi penguasaan teknik UAV di Indonesia," ujarnya.

Menurutnya, teknologi UAV Indonesia tentu sangat jauh ketinggalan jika dengan UAV di negara maju misalnya Jepang.

Jika dihitung-hitung, teknologi UAV di negara maju sudah ada sejak 20 tahun lalu. "Ya ketika dibandingkan dengan kita, ibarat bayi dengan pelari. Jadi perlu investasi waktu supaya UAV di Indonesia maju. Di kita sendiri bentuk UAP baru ada 2004, kalau penelitiannya sejak 94," ceritanya.

Perkembangan dan Prospek UAV Di Indonesia

Pemanfaatan UAV di Indonesia pertama kali dirasakan manfaatnya saat melacak keberadaan sandera di pedalaman hutan Papua. saat itu operasi militer satuan khusus TNI AD, Kopassus, ditugasi melakukan operasi penyelamatan para peneliti Ekspedisi Lorentz'95 yang disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Karena luasnya medan operasi di hutan Mapenduma, Jayawijaya, Kopassus meminta bantuan pesawat pengintai (UAV) dari negara lain, untuk mendeteksi keberadaan OPM. Pengintaian dilakukan untuk mengatur strategi penggelaran operasi militer.

Pemanfaatan UAV ternyata berhasil dengan baik, dalam pengejaran dan penyelamatan yang sukses dilakukan Kopassus. Keberhasilan penggunaan UAV ini adalah awal bangkitnya pengenalan pesawat intai portabel di TNI untuk dapat mengatur strategi pasukan di lapangan. Dan menjadi awal pemikiran akan teknologi pesawat intai portabel yang bisa digunakan untuk operasi militer. TNI menyadari selain menggunakan pesawat intai dan radar, ada gap yang belum tercover dan hanya bisa ditutupi oleh UAV.

Kemelut Pengadaan UAV

Pertengahan 2006, sejumlah perwira menengah (Pamen) TNI dikabarkan berkunjung ke produsen pesawat UAV, Israel Aircraft Industry (IAI) di Haifa, Israel. Pada 22 Oktober 2006 media Israel, Jerusalam Post, mengabarkan bahwa militer Indonesia tertarik untuk membeli salah satu produk UAV buatan IAI. Keputusan ini diambil setelah Pamen TNI mengamati kemampuan dan kehandalan beberapa UAV buatan IAI yang mampu beroperasi siang hingga malam. Setelah melakukan penilaian dan diskusi panjang dengan pihak produsen, akhirnya TNI memilih UAV jenis Searcher MK II untuk Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Pemilihan UAV jenis Searcher MK II oleh TNI berdasarkan pada keunggulan teknologi yang dimilikinya dan sudah terbukti tangguh (battle proven) dibandingkan dengan UAV sejenis dari negara lain.

Pembelian UAV sempat disamarkan dengan memanipulasi pembelian sarana pendukung alutsista TNI dari perusahaan Filipina, padahal barang tersebut berupa UAV berasal dari Israel.

Manipulasi pembelian UAV pun terdengar dan ditolak parlemen di Senayan. Menhan Juwono Sudarsono saat itu mengungkapkan bahwa pengadaan UAV berasal dari Israel adalah langkah realistik, mengingat kebutuhan BAIS yang memerlukan teknologi canggih yang handal.

Rencana ini marak diberitakan pers di Indonesia, sehingga masyarakat terutama kaum muslim di tanah air banyak yang menolak pembelian alutsista dari Israel, dengan melakukan demo di depan kedubes AS. Karena Israel dikenal negara penjajah yang menindas dan melanggar HAM di Palestina.

Lembaga riset militer intenasional, SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute) dalam laporannya yang menyebutkan pembelian UAV ini dengan status uncertain (tidak pasti). Namun jadi atau tidak pembelian UAV ini, Informasi yang beredar TNI sedang menyiapkan satu skuadron UAV.

Meskipun rencana tersebut tidak jelas, UAV ditanah air akan menjadi tanggung jawab TNI AU dalam pengoperasian maupun pemeliharaan. Sedangkan tanggung jawab dalam penggunaannya berada dibawah Badan Intelijen TNI (BAIS).

Untuk pengoperasian wahana intelijen di Indonesia, Mabes TNI telah menyiapkan dana tambahan 16 juta dollar untuk membangun sarana dan prasarananya di Jakarta. Salah satunya adalah pusat komando dengan berbagai fitur pengintai canggih yang terhubung ke beberapa jaringan server. Sistem ini dikenal sebagai 'I3C' (Integrated Intelligence and Information center).

Jika proyek ini terealisasi semua perwakilan TNI diluar negeri (Atase Pertahanan) dapat terhubung jalur komunikasi secara realtime - online, jalur ini juga dilengkapi sistem pengacak signal (encrypto) pada sistem telekomunikasinya. Konsep ini diharapkan dapat memperkuat sistem keamanan jalur komunikasi sehingga sangat sulit disadap.

Selain itu pusat komando juga diproyeksikan mampu menggerakkan pasukan kemanapun diseluruh pelosok tanah air baik dipedalaman hutan maupun ditengah lautan. Bukan hanya jaringan komunikasi saja yang terpantau, lalu-lintas email, internet, data-link bahkan situs jejaring sosial semacam facebook dan lainnya dapat dimonitor secara online. Semua ditempuh demi keamanan dan keselamatan negara, salah satu pejabat TNI menyebut perangkat ini sebagai total-defence.

 UAV Nasional

Penelitian dan pengembangan (litbang) UAV di Indonesia telah lama dilakukan. Pertama kali yang merintis teknologi ini adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun 1999. Almarhum Prof Dr Said D Jenie merupakan salah seorang penggerak hadirnya UAV di Indonesia. Beliau yang pertama kali mencanangkan peta jalan bagaimana Indonesia mengembangkan pesawat tanpa awak (UAV).

Awal-awal pengembangan UAV oleh BPPT dimulai dengan pembuatan target drone untuk sasaran tembak TNI. Seiring dengan itu dibuat juga wahana tanpa awak bernama Rutav single boom dan double boom berkerjasama dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Namun karena memburuknya kinerja PT DI saat itu mengakibatkan proyek ini tertunda.

Lalu BPPT melakukan riset sendiri dengan membuat beberapa prototipe PUNA (Pesawat Udara Nir Awak). Hingga kini BPPT sudah memproduksi 10 unit, generasi pertama tercipta PUNA degan tiga varian, yaitu Wulung (2006), Pelatuk dan Gagak (2007). BPPT lalu mengembangkan PUNA generasi kedua, dengan nama Alap-alap dan Sriti.
UAV Wulung
UAV BPPT-01A Wulung.
Untuk mewujudkan berbagai macam prototipe PUNA, BPPT berkerjasama dengan pihak swasta, PT Aviator Teknologi Indonesia dan UKM Djubair OD yang mempunyai bengkel pesawat di kawasan Pondok Cabe, Tangerang.


Prototipe pertama UAV nasional diperkenalkan ke umum pada pameran Indo-defence 2004 di PRJ Kemayoran, Jakarta. Saat itu Industri Pertahanan Indonesia (IPI) menampilkan UAV berbobot 35 kilogram dengan panjang 2,5 meter dan rentang sayap mencapai 5 meter. UAV tersebut belum diberi nama, hanya terdapat tulisan 'Departemen Pertahanan'.

Badan UAV berbentuk seperti ujung pensil dan panjang. Sedangkan di bagian belakang terdapat mesin piston mini, lengkap dengan propeler yang menjadi tenaga penggerak utama. Untuk kepentingan pengintian, dibawah pesawat dipasang kamera mini. Sedangkan untuk mengirim hasil pengintaian digunakan antena yang terhubung dengan satelit melalui sinyal GPS.

Soal kemampuan, UAV mampu mengudara selama 3 jam tanpa mengisi bahan bakar. Selain itu, mampu terbang hingga ketinggian 3.000 kaki atau sekitar 1.000 meter. Sedangkan untuk jarak terbang, UAV dikontrol melalui Ground Control Station pada jarak 20 kilometer.

Menurut Direktur Teknologi dan Industri Dirjen Sarana dan Pertahanan (Ranahan) Dephan Suwendro, UAV merupakan salah satu hasil pengembangan teknologi paling mutakhir Indonesia. Suwendro menjelaskan, UAV baru rampung dikembangkan akhir 2003 lalu.

UAV Sriti buatan BPPT
Ia juga menjelaskan, research and development untuk membangun UAV tersebut membutuhkan waktu 3 tahun. "Saat ini UAV siap diujicobakan untuk melaksanakan tugas-tugas pengintaian," kata perwira berbintang satu ini. Soal dana, Suwendro menjelaskan, proyek UAV menelan dana Rp 7 miliar. "Saat ini kita memiliki 5 pesawat intai tanpa awak," terangnya.

Puna Sriti
Suwendro juga mengakui, pembuatan pesawat tanpa awak ini diilhami dari pesawat sejenis buatan Amerika Serikat. Namun UAV ini dilakukan penyesuaian, khusus dengan kepentingan tugas di Indonesia. Menurut Suwendro, UAV dirancang khusus untuk menunjang tugas-tugas tempur Komando Strategis TNI AD (Kostrad). "Karena itu, mereka yang dibidik sebagai pasar bagi UAV ini," terangnya.

Masih dalam rangka uji coba prototipe, pada Mei 2006 Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyerahkan 5 unit UAV kepada Panglima TNI yang merupakan hasil pengembangan bersama Litbang Dephan, PT DI, PT Pacific Teknology, PT Pindad dan PT LEN. Pembuatan dan Pengembangan UAV Indonesia ini dibiayai oleh Kredit Ekspor.

Dari sini Dislitbang TNI coba menggali dan mengembangkan potensi serta kebutuhan teknis yang diinginkan untuk penyempurnaan UAV dalam negeri, seperti penggunaan jenis sensor, elektronik, mesin pesawat dan lain sebagainya.

"Kita masih perlu waktu dan dana besar untuk bisa mengembangkan pesawat tanpa awak bagi kepentingan militer sekaligus komersial. Untuk meng-up grade prototipe yang sudah ada saja, kita masih perlu kajian lagi dan itu perlu waktu dan dana besar," kata Juwono.

Dalam pengembangan UAV Balitbang Dephan berkerjasama dengan PT Uavindo Nusantara sempat merancang prototipe UAV khusus untuk kepentingan militer dengan nama Close Range Surveilance (CR-10). CR-10 ini dirancang untuk keperluan misi pemantauan dan pengintaian, dan tergolong kelas Low Altitude, Short range UAV. CR-10 menggunakan dua sistem pengendalian yakni unit udara dan unit stasiun darat. Meski telah menjalani beberapa ujicoba, CR-10 dengan avionik buatan dalam negeri ini gagal dikembangkan.

PUNA

Banyak kemajuan pesat yang dilakukan BPPT, salah satunya kendali terbang terintergrasi (auto-pilot) dimana sistem kontrol berupa heading, bearing, altitude dan lainnya mampu di input-by-system kedalam 'otak' PUNA.

Pengoperasian PUNA BPPT dilakukan dari sebuah stasiun pengontrol yang secara realtime menerima hasil pengamatan untuk selanjutnya dikirimkan ke posko komando kemudian mengirimkan datalink via satelit yang mampu diterima langsung di Jakarta. Selain itu unit Ground Control Station (GCS) PUNA mampu mengendalikannya secara manual melewati garis batas horizon (40-60 km). Rencananya tahun 2009 jarak jangkau PUNA akan ditingkatkan hingga mencapai 120 km dengan ketinggian operasional hingga 2.300 meter.

Berkat kemampuan PUNA ini, dikatakan cocok untuk misi pengintaian, pemotretan atau kegiatan militer lainnya. PUNA ditenagai mesin 'Limbach' buatan Jerman berbahan bakar oktan tinggi (Pertamax Plus), dengan kapasitas tangki hingga 40 liter. Dalam ujicobanya PUNA memerlukan konsumsi bahan bakar sekitar 9 liter untuk 1 jam penerbangan.

Pengembangan UAV Swasta Nasional 

Oktober 2006, pemerintah dikabarkan telah mengalokasikan 5 juta dollar AS untuk pembelian UAV dari Israel jenis Searcher Mk-II. Jenis UAV ini memang unggul secara teknologi dan yang jelas sudah battle proven. Mampu terbang selama 15 jam dengan jarak jangkau hingga 250 km serta mampu terbang hingga 20.000 kaki. Dengan daya beban hingga 100 kg, UAV Israel ini dapat membawa kamera TV resolusi tinggi, serta Automatic Video Tracker yang sangat dibutuhkan dalam sebuah operasi militer. Namun kelanjutan rencana ini tidak bisa diketahui karena kemudian mengundang demo penolakan produk Israel.

30 Mei 2006, Menhan sudah menyerahkan 5 UAV kepada TNI hasil produksi bersama PT DI, PT Pacific Technology, PT Pindad dan LEN. Akhir April 2009, TNI juga terus melakukan uji coba lanjutan meliputi uji manuver, low speed performance, low altitude capability dan recovery. Bila berhasil, berikutnya adalah uji coba sistem termasuk monitoring dan pengiriman data dan pengendalian dari Command Post Cabin.
Melihat fakta di atas sepertinya pemerintah sudah melirik UAV sebagai teknologi militer masa depan.

Yang jadi masalah sekarang adalah jangan sampai ahli-ahli dan industri UAV kita hanya melongo dan menjadi penonton saja dari UAV-UAV yang nanti akan beterbangan di langit kita. Jangan sampai kita mengulangi kebodohan pemerintah dulu terhadap teknologi GSM. Saat itu kita sudah memiliki ahli-ahli yang menguasai teknologi GSM tapi pemerintah lebih suka mengimpor handphone dan teknologi GSM sehingga sekarang kita hanya bisa menjadi konsumen belaka sehingga duit kita lari semua ke Finlandia (Nokia), Korea Selatan (Samsung) maupun Cina.

UAV Helikopter buatan dalam negeri antara lain dimanfaatkan untuk pengambilan gambar dari atas oleh TV swasta nasional seperti laporan lalu lintas.

Kalau Anda masih meragukan otak kita dalam urusan UAV, cobalah berkunjung ke Bandung. Di kota ini berderet industri swasta yang bergerak di bidang pengembangan UAV seperti Globalindo Technology Services Indonesia, Uavindo, Aviator, dan Robo Aero Indonesia. Juga ada perusahaan berbasis aeromodelling sebagai pemasok suku cadang UAV seperti Telenetina dan Bandung Modeler.

UAV KUJANG diproduksi oleh PT. GTSI
PT Dirgantara Indonesia, sebenarnya memiliki sumber daya yang lebih dari cukup untuk urusan UAV, wong membuat pesawat saja bisa.Tapi sayang, PT DI baru bisa menghasilkan prototipe UAV kelas ringan dengan nama RUTAV. Alasan utama adalah tiadanya dana.

PT Globalindo Technology Services Indonesia (GTSI) didirikan oleh Endri Rachman, mantan karyawan PT DI yang hijrah ke Malaysia menjadi dosen di Universiti Sains Malaysia. Beliau dan bersama sesama mantan karyawan PT DI mendirikan perusahaan PT GTSI. UAV perdananya adalah Kujang , mampu membawa muatan kamera survaillance 20 kg, lama terbang 2-3 jam dengan kecepatan maksimal sampai 150 km/jam. Ironisnya, peminat pertama UAV Kujang ini adalah Malaysia, bukan pemerintah Indonesia.
Selain UAV Kujang, PT. GTSI telah berhasil menbuat pesawat UAV lainnya seperti UAV Keris dan UAV Bumerang.

SS-5 diproduksi oleh PT.UAVINDO
PT Uavindo sudah mengembangkan UAV sejak 1994 di mana dimulai dengan berkumpulnya para insinyur lulusan Teknik Penerbangan ITB dengan dimotori Dr Djoko Sardjadi. Produk pertamanya adalah SS-5 (SkySpy-5) di tahun 2003 yang kemudian menjadi UAV lokal pertama yang dioperasikan oleh militer, lengkap dengan Ground Control Station yang ditempatkan pada sebuah truk Perkasa keluaran Texmaco. SS-5 ini mampu terbang selama 2-3 jam dengan jarak sampai 25 km untuk fungsi survaillance melalui kamera yang dibawanya. Saya tidak tahu apakah TNI masih menggunakan produknya (selanjutnya ada pengembangan ke SS-20), tapi ironisnya Malaysia memesan UAV SM-75 dari perusahaan ini.

PT Aviator, dibentuk oleh beberapa mantan karyawan PT Uavindo. Produk unggulannya adalah SmartEagle II , mampu terbang selama 6 jam dengan jarak maksimum 300 km. Bisa diadu dengan Searcher Mk II dari Israel, hanya sayangnya berat muatan maksimum hanya sampai 20 kg, bandingkan dengan beban 100 kg yang mampu dibawa oleh Searcher Mk II. Sekarang PT Aviator menggandeng Irkuts dari Rusia untuk memasarkan produk secara bersama.

Smart Eagle II diproduksi oleh PT. AVIATOR
PT Robo Aero Indonesia (RAI) didirikan oleh beberapa dosen ITB yang melihat peluang besar bisnis UAV di dalam maupun luar negeri. Mereka sudah membuat prototipe UAV dengan jarak operasional 20 km, 50 km dan 100 km secara otonomi .

UAV buatan mahasiswa Teknik Penerbangan ITB sudah mampu unjuk gigi dengan menjuarai kontes UAV di Taiwan dan Korea Selatan.

BPPT juga sudah membuat beberapa prototipe UAV yang dalam produksi dan pemasarannya menggandeng PT Aviator dan UKM Djubair OD di Tangerang.

Yang membuat saya bangga, kalau Anda membaca The UAV Market Report: Forecast and Analysis 2008 – 2018, Indonesia ditempatkan di posisi terhormat sebagai salah satu produsen UAV di Asia Pasifik dengan produk yang dituliskan di laporan tersebut adalah PUNA (keluaran BPPT), Smart Eagle I & II (keluaran PT Aviator) dan SS-5 (keluaran PT Uavindo)

Sebagai penutup tulisan ini marilah kita hitung-hitungan. Untuk membeli sebuah pesawat patroli maritim sekelas CN-235 MPA butuh dana 30-35 juta dollar AS. Dengan dana yang sama kita bisa beli 6-7 buah UAV dari Israel lengkap dengan GCS, kamera dan sistem pendukungnya. Berarti kita sudah bisa membentuk 1 skuadrom UAV lengkap. Kalau dana itu dipakai untuk membeli UAV lokal dengan spesifikasi standar, kita bisa membeli 20-30 UAV intai, berarti bisa membentuk 3-4 skuadron intai.

Coba kalau Patroli Bea Cukai di Kepulauan Riau dan Selat Malaka menggunakan UAV, pastilah penyelundupan dari Singapura dan Malaysia ke pantai timur Sumatera bisa banyak dicegah.
Demikian pula seandainya kapal patroli DKP (Departemen kelautan dan perikanan) di laut Natuna, laut Aru, laut Banda maupun Selat Sulawesi dilengkapi UAV pastilah pencurian ikan bisa ditindak dengan biaya yang lebih murah. Bukan seperti tahun lalu, baru tender pengadaan kapal patroli saja sudah ada korupsi.

Kalau Anda cermat, beberapa bulan belakangan ini MetroTV sudah mulai menggunakan UAV untuk siaran langsung saat penggebrekan teroris di Jatiasih, Temanggung dan Jebres Solo, juga saat liputan mudik lebaran yag lalu. Jadi UAV ini akan semakin memasyarakat, sayang kalau orang-orang bule dan para tengkulak (baca: importir) yang dapat untung dari negeri ini seperti kasus-kasus teknologi sebelumnya.


Ditulis dari berbagai sumber, antara lain tulisan Dipl.-Ing. Endri Rachman dari Kompasiana - Internet online.

1 comment:

Anonymous said...

Untuk kebutuhan Alutsista yg sifatnya strategis dan rahasia sebaiknya tdk dipublikasi kpd umum, contoh pengadaan UAV jenis Searcher MKII buatan Israel sangat bernuansa Politik dan agama! kemudian alangkah baiknya kita sekarang ini sudah punya UAV lokal jenis hybrid yg mempunyai daya jelajah tinggi dan daya tahan lama dan dgn qualifikasi mumpuni (Gabungan PT, Swasta, BUMN dan BPPT)sebanyak 3-5 skuadron sebelum th 2020!