“INDONESIA MENGGUGAT JILID-II”
?
Menjabarkan Pidato Proklamasi Calon Wakil Presiden Boediono
Oleh Kwik Kian Gie
Pengantar
Semoga melalui tulisan Pak Kwik Kian Gie memberi
pencerahan kepada kita sekaligus membangkitkan mental kita, membangkitkan jiwa
kita, untuk menegakkan kembali Indonesia yang telah dijajah, Indonesia yang
telah dirampok hingga saat ini.
Pleidooi Ir. Soekarno dan
Deklarasi Dr. Boediono
Setelah Ir.Soekarno (bersama-sama dengan Gatot Mangkupradja, Maskun Sumadiredja dan Soepriadinata) ditangkap pada tanggal 29
Desember 1929, mereka diadili oleh landraad di Bandung yang berlangsung antara
tanggal 18 Agustus 1930 sampai tanggal 22 Desember 1930. Pada hari itu,
Soekarno dan kawan-kawan dijatuhi hukuman penjara 4 tahun dengan tuduhan melanggar
pasal 169 dan 153 bis Wetboek van Strafrecht. Pidato pembelaannya Bung Karno
menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan judul “Indonesie klaagt aan”
atau “Indonesia menggugat”.
Pada tanggal 15 Mei 2009 Dr.
Boediono berpidato
di Bandung dalam rangka memproklamasikan dirinya sebagai calon wakil presiden
dalam pemilihan tahun 2009. Antara lain dikatakan olehnya : ”Bapak Presiden yang saya
hormati dan para hadirin, di awal abad ke-20 Bung Karno di kota Bandung ini
menyatakan Indonesia menggugat. Waktu itu Indonesia menggugat penjajahan yang
menjadikan negara terbelenggu dan merasa kerdil. Di awal abad ke-21 ini, Indonesia juga selayaknya menggugat. Kini yang kita gugat adalah penjajahan oleh kekuatan
dari luar dan dari dalam.”
Jelas Boediono menganggap
Indonesia sekarang masih dijajah yang menurutnya selayaknya harus digugat. Implikasinya jelas, yaitu
kalau nanti dia terpilih sebagai Wakli Presiden, dia akan menggugat kekuatan
dari luar dan dari dalam. Ada dua hal yang perlu dijelaskan.
Beberapa pertanyaan
Siapa kekuatan dari luar yang sedang menjajah
Indonesia, dan siapa pula kekuatan dari dalam? Apakah kekuatan luar dan kekuatan dalam ini
menjajah Indonesia secara sendiri-sendiri ataukah bersama-sama dalam sebuah
konspirasi, di mana elit bangsa Indonesianya yang menjadi mitra dari luar
bertindak sebagai pengkhianat kepada bangsanya sendiri?
Sejak kapan Indonesia dijajah dengan tanggal
pidatonya sebagai titik tolak, yaitu tanggal 15 Mei 2009. Apakah mulai tanggal
itu Indonesia dijajah dalam bentuk yang ada dalam benak Boediono, ataukah
sebelumnya sudah. Kalau sebelumnya sudah, siapa kiranya yang menjajah
dan siapa kiranya kroni dan kompradornya para penjajah yang berbangsa Indonesia (kekuatan dari dalam) ? Boediono
tentu dapat mengenalinya dengan akurat karena dia cukup lama menjadi orang di
dalam lingkungan puncak kekuasaan.
Persamaan Bung Karno dengan
Boediono
Boediono menyamakan dirinya dengan Bung Karno. Bung Karno menggugat
penjajahan oleh pemerintah Hindia Belanda yang menjajah Indonesia secara fisik,
dengan bayonet, bedil, peluru dan meriam, armada laut dan sebagainya.
Boediono juga ingin menggugat penjajahan zaman
sekarang yang tentunya berbentuk lain. Apa bentuknya tidak dijelaskan. Sangat
mungkin bentuk penjajahan yang ada dalam benak Boediono sama dengan yang
ditulis oleh Jenderal Ryamizard Ryacudu dalam bukunya yang berjudul ”Perang Modern”.
Intinya yalah bahwa dalam zaman modern
sekarang ini, hakikat penjajahan bangsa mangsa oleh bangsa penjajah tidak perlu
dilakukan dengan sebutir pelurupun, apalagi pasukan dan armada perang. Caranya
dengan membentuk elit bangsa mangsa yang dijadikan mitranya atau kroni atau
kompradornya. Mereka dibantu supaya senantiasa memegang kendali kebijakan
ekonomi yang sesuai dengan kehendak bangsa penjajah, seperti yang digambarkan
oleh John
Pilger, Bradley
Simpson, Jeffrey Winters, John Perkins dan 12 perusak ekonomi yang “mengaku
dosa” dalam buku “A Game as
old as Empire”. Para kroni ini diyakinkan bahwa kebijakan
haruslah seliberal mungkin, membangun proyek-proyek raksasa dengan hutang dari
negara-negara penjajah supaya mereka bisa memperoleh pendapatan bunga dan laba mark up yang tinggi. Implikasi politiknya supaya senantiasa dicengkeram
dan didikte kebijakannya yang senantiasa menguntungkan korporatokrasi negara
penjajah. PDB dinaikkan oleh beberapa investor asing raksasa tanpa trickle down effect pada yang miskin. Inikah yang oleh Boediono disebut dengan
kata-kata “penjajah dari dalam
negeri” yang mungkin bekerja sama dengan penjajah dari luar ?
Boediono menyamakan dirinya dengan Bung Karno
yang sama-sama ingin menggugat atas nama bangsa Indonesia.
Yang digugat juga sama, yaitu penjajahan. Pernyataannya
sama-sama diucapkan di kota Bandung. Tempat ini
begitu pentingnya buat Boediono sehingga implisit di dalam pidatonya kota
Bandung dianggap sebagai faktor yang menyamakannya dengan Bung Karno.
Saya menduga tujuan atau target penjajahan
oleh kekuatan penjajah yang ada dalam benak Bung Karno dan Boediono sama, yaitu penghisapan kekayaan bangsa
Indonesia oleh bangsa asing, yang dibantu oleh kroni dan komprador bangsa
Indonesia sendiri. Merendahkan dan melecehkan martabat bangsa Indonesia;
Boediono memakai istilah “yang membuat kita merasa terpuruk dan tidak bisa
bangkit”. Yang perlu diperjelas siapa kroni dan komprador bangsa Indonesia
sendiri ?
Perbedaan-perbedaannya
Yang berbeda, Ir.
Soekarno langsung
menghadapi hakim ketua Mr.
Siegenbeek van Heukelom dengan jaksa penuntutnya seorang Indonesia yang
ketika itu berstatus inlander dan bernama R.
Sumadisurja. Boediono menyatakan kehendaknya menggugat kaum penjajah zaman
sekarang. Kehendaknya ini baru dimintakan izin
dari “Bapak Presiden”, sebutan
yang dipakainya dalam bagian dari pidatonya yang menggunakan istilah “Indonesia
Menggugat”. Bung Karno
dijatuhi hukuman penjara, Boediono ditepuki tangan.
Bung Karno seorang inlander yang tidak
mungkin bergaul dengan
kekuatan asing pada strata yang sama. Boediono His Excellency Prof. Dr.
Boediono yang anggota Dewan
Gubernur Bank Dunia.
Perjuangan Bung Karno membawanya keluar masuk penjara dan pembuangan.
Boediono tidak pernah masuk penjara. Menjadi tersangka
saja tidak pernah.
Perilaku Bung Karno tidak pernah diarahkan
menjadi Presiden RI. Dia berjuang supaya
Indonesia merdeka dengan pengorbanan apa saja. Gugatannya sudah menjadi
kenyataan dan merupakan pengorbanan luar biasa buat dirinya, yang akhirnya
memang memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan.
Boediono baru memberi pernyataan bahwa
penjajahan di abad ke 21 sekarang ini selayaknya digugat. Jelas juga bahwa pernyataan tersebut dikemukakan justru untuk dipilih menjadi wakil presiden. Itupun tidak jelas siapa
penjajahnya dari luar dan siapa penjajahnya yang dari dalam negeri sendiri.
Lantas apakah betul dia akan menggugat penjajahan masih harus dibuktikan.
Bung Karno hanya berjuang dan berjuang. Karena tindakannya itu seluruh bangsa Indonesia menganggapnya
sebagai natural leader, sehingga dia menjadi
Presiden RI yang baru merdeka. Boediono tidak demikian. Gugatannya terhadap
kaum penjajah justru sebelum dia melakukan apa-apa. Gugatannya baru sebagai propaganda untuk dirinya supaya dipilih
sebagai wakil presiden di bulan Juli 2009 mendatang.
Bung Karno dan Pak Harto berbuat sangat
banyak, sehingga rakyat menganggapnya sebagai para pemimpinnya. Boediono lain.
Dia adalah calon wakil presiden yang dalam kampanye pemilihan pilpres tidak
boleh mempunyai rasa rendah hati, tidak boleh humble. Dalam kampanye nanti
dia harus berkeliling Indonesia mengatakan kepada rakyat Indonesia : “Wahai rakyatku, aku ini orang hebat yang
akan menggugat penjajahan dan memberantas korupsi, mereformasi birokrasi. Maka
pilihlah aku sebagai wakil presidenmu.”
Neoliberalisme Itu ?
Dengan dipilihnya Boediono sebagai
cawapres-nya SBY, diskusi tentang “neolib” menjadi marak. Namun diskusinya
tidak memberikan gambaran yang jelas.
Liberalisme adalah faham yang sangat jelas digambarkan
oleh Adam Smith dalam bukunya yang terbit di
tahun 1776 dengan judul “An
inquiry into the nature and the causes of the wealth of nations”.
Buku ini sangat terkenal dengan singkatannya “The wealth of nations” dan luar
biasa pengaruhnya. Dia menggambarkan pengenalannya tentang kenyataan hidup.
Intinya sebagai berikut.
Manusia adalah homo
economicus yang
senantiasa mengejar kepentingannya sendiri guna memperoleh manfaat atau
kenikmatan yang sebesar-besarnya dari apa saja yang dimilikinya. Kalau karakter
manusia yang egosentris dan individualistik seperti ini dibiarkan tanpa campur
tangan pemerintah sedikitpun, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang
efisien dari faktor-faktor produksi, pemerataan dan keadilan, kebebasan, daya
inovasi dan kreasi berkembang sepenuhnya. Prosesnya sebagai berikut.
Kwik Kian Gie
|
Buku ini terbit di tahun 1776 ketika hampir
semua barang adalah komoditi yang homogeen (stapel
producten) seperti gandum, gula, garam, katoen dan sejenisnya. Lambat
laun daya inovasi dan daya kreasi dari beberapa produsen berkembang. Ada saja
di antara para produsen barang sejenis yang lebih pandai, sehingga mampu
melakukan diferensiasi produk. Sebagai contoh, garam dikemas ke dalam botol
kecil praktis yang siap pakai di meja makan. Di dalamnya ditambahi beberapa
vitamin, diberi merk yang dipatenkan. Dia mempromosikan garamnya sebagai sangat
berlainan dengan garam biasa. Konsumen percaya, dan bersedia membayar lebih
mahal dibandingkan dengan harga garam biasa. Produsen yang bersangkutan bisa
memperoleh laba tinggi tanpa ada saingan untuk jangka waktu yang cukup lama.
Selama itu dia menumpuk laba tinggi (laba super normal) yang menjadikannya
kaya.
Karena semuanya dibolehkan tanpa pengaturan
oleh pemerintah, dia mulai melakukan persaingan yang mematikan para pesaingnya
dengan cara kotor, yang ditopang oleh kekayaannya. Sebagai contoh, produknya
dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga pokoknya. Dia merugi.
Kerugiannya ditopang dengan modalnya yang sudah menumpuk. Dengan harga ini
semua pesaingnya akan merugi dan bangkrut. Dia tidak, karena modalnya yang
paling kuat. Setelah para pesaingnya bangkrut, dengan kedudukan monopolinya dia
menaikkan harga produknya sangat tinggi.
Contoh lain : ada kasus pabrik rokok yang
membeli rokok pesaingnya, disuntik sangat halus dengan cairan sabun. Lantas
dijual lagi ke pasar. Beberapa hari lagi, rokoknya rusak, sehingga merknya
tidak laku sama sekali, pabriknya bangkrut.
Yang digambarkan oleh Adam Smith mulai tidak
berlaku lagi. Karena apa saja boleh, pengusaha majikan mulai mempekerjakan
sesama manusia dengan gaji dan lingkungan kerja yang di luar perikemanusiaan.
Puncaknya terjadi dalam era revolusi industri, yang antara lain
mengakibatkan bahwa anak-anak dan wanita hamil dipekerjakan di tambang-tambang.
Wanita melahirkan dalam tambang di bawah permukaan bumi. Mereka juga dicambuki
bagaikan binatang. Dalam era itu seluruh dunia juga mengenal perbudakan, karena
pemerintah tidak boleh campur tangan melindungi buruh.
Dalam kondisi seperti ini lahir
pikiran-pikiran Karl Marx. Banyak karyanya, tetapi
yang paling terkenal menentang Adam Smith adalah Das Kapital yang terbit di tahun 1848. Marx menggugat semua ketimpangan yang
diakibatkan oleh mekanisme pasar yang tidak boleh dicampuri oleh pemerintah.
Marx berkesimpulan bahwa untuk membebaskan penghisapan manusia oleh manusia,
tidak boleh ada orang yang mempunyai modal yang dipakai untuk berproduksi dan
berdistribusi dengan maksud memperoleh laba. Semuanya harus dipegang oleh
negara/pemerintah, dan setiap orang adalah pegawai negeri.
Dunia terbelah dua. Sovyet Uni, Eropa Timur,
China, dan beberapa negara menerapkannya. Dunia Barat mengakui sepenuhnya
gugatan Marx, tetapi tidak mau membuang mekanisme pasar dan kapitalisme.
Eksesnya diperkecil dengan berbagai peratutan dan pengaturan. Setelah dua
sistem ini bersaing selama sekitar 40 tahun, persaingan dimenangkan oleh Barat.
Maka tidak ada lagi negara yang menganut
sistem komunisme ala Marx-Lenin-Mao. Semuanya mengadopsi
mekanisme pasar dan mengadopsi kaptalisme dalam arti sempit, yaitu
dibolehkannya orang per orang memiliki kapital yang dipakai untuk berproduki
dan berdistribusi dengan motif mencari laba. Tetapi kapital yang dimilikinya
harus berfungsi sosial. Apa artinya dan bagaimana perwujudannya? Sangat
beragam. Keragaman ini berarti juga bahwa kadar campur tangannya pemerintah
juga sangat bervariasi dari yang sangat minimal sampai yang banyak sekali.
Siapa Kaum Neolib ?
Orang-orang yang menganut
faham bahwa campur tangan pemerintah haruslah sekecil mungkin adalah kaum
neolib;
mereka tidak bisa mengelak terhadap campur tangannya pemerintah, sehingga tidak
bisa lagi mempertahankan liberalisme mutlak dan total, tetapi toh harus militan
mengkerdilkan pemerintah untuk kepentingan korporatokrasi. Jadi walaupun yang
liberal mutlak, yang total, yang laissez fair laissez aller dan laissez fair laissez passer, yang cut
throat competition dan
yang survival of the fittest mutlak sudah tidak bisa
dipertahankan lagi, kaum neolib masih bisa membiarkan
kekayaan alam negara kita dihisap habis oleh para majikannya yang kaum
korporatokrat dengan dukungan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF.
Boediono perlu melakukan soul searching yang mendalam
Meledaknya debat tentang neolib tidak dapat
dipisahkan dari persepsi yang dimiliki sangat banyak orang bahwa Boediono
adalah personifikasi dari aliran neolib di Indonesia. Bahkan beliaulah yang
dewasa ini dianggap sebagai pemimpin kaum neolib Indonesia, yang dianggap sama
dan sebangun dengan kelompok yang terkenal dengan sebutan “The Berkeley Mafia”.
Tidak hanya itu, banyak yang mempunyai dugaan
dan perasaan bahwa dipilihnya Boediono sebagai calon wakil presiden adalah
hasil desakan dari “kekuatan dari luar”. Istilah ini yang dipakai oleh
Boediono sendiri dalam pidatonya, yang merasa selayaknya menggugat penjajahan
yang masih ada dalam abad ke 21 ini, baik yang dari luar maupun yang dari
dalam.
Dugaan ini bertambah besar setelah Boediono
menyatakan kepada The Jakarta
Post tanggal 25 Mei 2009
bahwa penerimaannya sebagai calon wakil presiden adalah karena adanya arus
besar yang tidak mampu ditolaknya (Boediono said his nomination was a “big
stream” he could not resist”).
Karena itu, untuk kepentingan seluruh bangsa
yang bagian terbesarnya sedang sangat menderita kemiskinan, kebodohan, kurang
sehat jasmani dan rohaninya, keterbelakangan, apakah betul bahwa dirinya
didorong oleh kekuatan asing untuk menerima pencalonannya sebagai wakil
presiden ?
Untuk kepentingannya sendiri juga, rasanya
sangat perlu beliau memberikan penjelasan yang sejujurnya dan masif kepada
rakyat yang akan melakukan pilihannya pada tanggal 8 Juli 2009.
Apakah dalam karirnya yang
panjang dalam kedudukan yang tinggi di birokrasi Boediono ikut berperan dalam
segala sesuatu yang tergambarkan dalam tulisan ini?
Boediono berkarir dalam kedudukan sangat
tinggi dalam kepemimpinan negara, yaitu berturut-turut sebagai Direktur Bank
Indonesia, Menteri/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menko Perekonomian,
Gubernur BI, dan sekarang Calon Wakil Presiden RI untuk periode 2009-2014.
Banyak yang menilai bahwa Boediono ikut
berperan cukup besar dalam segala sesuatu yang digambarkan dalam tulisan ini.
Maka rasanya beliau perlu menjelaskannya kepada rakyat, karena posisinya
sebagai calon wakil presiden dengan kemungkinan sangat besar akan terpilih.
Bagaimana gambaran
penjajahan dan siapa para pelakunya?
Dengan jelas dikatakan
dalam pidato Boediono bahwa di abad 21 ini penjajahan masih ada. Sayang seribu sayang
bahwa dia tidak menjelaskan tentang apa dan bagaimana penjajahan zaman
sekarang itu?
Karena itu, izinkanlah saya menjelaskannya
dari pengenalan orang lain yang mempelajarinya dengan seksama dan menurut saya
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, yaitu yang ditulis oleh John Pilger dalam bukunya yang berjudul “The New Rulers of the World.” [video]
Saya kutip seakurat mungkin dengan terjemahan
ke dalam bahasa Indonesia oleh saya sendiri sebagai berikut.
“Dalam bulan November 1967, menyusul
tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life
Corporation mensponsori konperensi istimewa di Jenewa yang dalamwaktu tiga
hari merancang pengambil alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para
kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller.
Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank,
General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American
Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut
“ekonoom-ekonoom Indonesia yang top”.
“Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan
‘the Berkeley Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati
beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas
California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan
hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir
yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan : …… buruh murah yang melimpah….cadangan besar dari sumber daya alam
….. pasar yang besar.”
Di halaman 39 ditulis : “Pada hari kedua,
ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara
yang spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern
University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya,
Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. ‘Mereka membaginya
ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain,
industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang
dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan
kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya.
Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke
meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya
merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak
pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk
dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan
merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya
sendiri.
Freeport mendapatkan bukit
(mountain) dengan
tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk
dalam board). Sebuah konsorsium
Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari
bauksit Indonesia. Sekelompok
perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan
tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang
penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat
perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia,
kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia
(IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa,
Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.”
Demikian gambaran yang diberikan oleh Brad
Simpson, Jeffrey Winters dan John Pilger tentang suasana,
kesepakatan-kesepakatan dan jalannya sebuah konperensi yang merupakan titik
awal sangat penting buat nasib ekonomi bangsa Indonesia selanjutnya.
Kalau baru sebelum krisis global berlangsung
kita mengenal istilah “korporatokrasi”, paham dan ideologi ini sudah
ditancapkan di Indonesia sejak tahun 1967. Delegasi Indonesia adalah
Pemerintah. Tetapi counter part-nya captain
of industries atau
para korporatokrat.
PARA PERUSAK EKONOMI
NEGARA-NEGARA MANGSA
Benarkah sinyalemen John Pilger, Joseph
Stiglitz dan masih banyak ekonom AS kenamaan lainnya bahwa hutanglah yang
dijadikan instrumen untuk mencengkeram Indonesia?
Dalam rangka ini, saya kutip buku yang
menggemparkan. Buku ini ditulis oleh John Perkins dengan judul : “The Confessions of an Economic Hit man”, atau “Pengakuan
oleh seorang Perusak Ekonomi”. Buku ini tercantum dalam New York Times bestseller list selama 7 minggu.
Saya kutip sambil menterjemahkannya ke dalam
bahasa Indonesia sebagai berikut.
Halaman 12 : “Saya hanya mengetahui bahwa penugasan
pertama saya di Indonesia, dan saya salah seorang dari sebuah tim yang terdiri
dari 11 orang yang dikirim untuk menciptakan cetak biru rencana pembangunan
pembangkit listrik buat pulau Jawa.”
Halaman 13 : “Saya tahu bahwa saya harus
menghasilkan model ekonometrik untuk Indonesia dan Jawa”. “Saya mengetahui bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk
menghasilkan banyak kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki oleh analis atas
dasar statistik yang dibuatnya.”
Halaman 15 : “Pertama-tama saya harus memberikan
pembenaran (justification) untuk memberikan hutang yang sangat besar jumlahnya yang akan disalurkan kembali ke MAIN (perusahaan konsultan di
mana John Perkins bekerja) dan perusahan-perusahaan Amerika lainnya (seperti
Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui
penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang rekayasa dan konstruksi. Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman tersebut (tentunya setelah MAIN dan kontraktor Amerika lainnya telah
dibayar), agar negara target itu untuk selamanya tercengkeram oleh kreditornya,
sehingga negara penghutang (baca : Indonesia) menjadi target yang empuk kalau
kami membutuhkan favours, termasuk basis-basis
militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.”
Halaman 15-16 : “Aspek yang harus
disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah membuat laba sangat besar buat
para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga dari
negara-negara penerima hutang yang sudah kaya dan berpengaruh di negaranya
masing-masing.Dengan
demikian ketergantungan keuangan negara penerima hutang menjadi permanen
sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah
penerima hutang. Maka semakin besar jumlah hutang semakin baik. Kenyataan bahwa
beban hutang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya
dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lainnya selama
berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan.”
Halaman 15 : “Faktor yang paling menentukan adalah Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Proyek yang memberi
kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun hanya
satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun
proyek yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan
PDB.”
Halaman 16 : “Claudia dan saya mendiskusikan
karakteristik dari PDB yang menyesatkan. Misalnya pertumbuhan PDB bisa terjadi
walaupun hanya menguntungkan satu orang saja, yaitu yang memiliki perusahaan
jasa publik, dengan membebani hutang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang
kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik
akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi.”
Halaman 19 : “Sangat menguntungkan buat para
penyusun strategi karena di tahun-tahun enam puluhan terjadi revolusi lainnya,
yaitu pemberdayaan perusahaan-perusahaan internasional dan
organisasi-organisasi multinasional seperti Bank Dunia dan IMF.”
John Perkins seorang
pembual atau fiktif ?
Para ekonom kelompok mazhab tertentu yang berfungsi
sebagai agen pelaksana dari korporatokrasi dan prinsip-prinsip Washington Concensus serta merta mengatakan bahwa John Perkins itu tidak ada. Itu
adalah orang yang fiktif. Kalaupun ada orangnya, dia seorang pemimpi dan
pembual (fantast).
Kalau memang demikian, bagaimana mungkin
bukunya tercantum dalam best seller list selama enam minggu di New York Times. Seminggu setelah dijual
di toko-toko buku, sudah tercantum sebagai buku terlaris nomor 4 di amazon.com.
Dalam waktu kurang dari 14 bulan, bukunya telah diterjemahkan ke dalam 25
bahasa. Copyright-nya telah dibeli oleh perusahaan film utama di Hollywood.
Saya bertemu dengan seorang insinyur Indonesia
yang sampai sekarang masih bekerja di BUMN. Tidak etis buat saya menyebutkan namanya. Beliau menceriterakan kepada saya bahwa beliaulah yang menjadi
partnernya John Perkins di Bandung di tahun 1970. Ketika itu beliau tidak mengetahui bahwa Perkins sedang
melakukan perusakan ekonomi. Ketika beliau membaca bukunya, begitu marahnya,
sehingga segera membuat sangat banyak copy yang dibagi-bagikan.
Mereka yang menyebut John
Perkins seorang pembual sekarang ini banyak sekali yang memegang kekuasaan
dalam bidang ekonomi. Mengapa tidak ada kebutuhan mencari dan menanyakan kepada
insinyur yang di tahun 1970 tanpa mengetahui maksud dan tujuan John Perkins
bekerja sebagai mitranya di kantor PLN Bandung?
A Game as old as Empire
John Perkins mengakui bahwa sangatlah sulit
menemukan penerbit, walaupun setiap kali para penerbit itu menunjukkan
perhatian yang sangat besar. Tetapi pada akhirnya menolak. Baru penerbit yang
ke 26 menyetujui menerbitkannya.
Apa alasannya diceriterakan dalam kata
pengantarnya dalam buku terbaru yang ditulis oleh 12 para perusak ekonomi
lainnya. Judul bukunya telah saya kemukakan, yaitu “A Game As Old As Empire”, dan sub judulnya “The Secret World of Economic Hit Men and the Web of Global
Corruption.”
Semakin kokohnya neolib
dengan konsekwensinya
Namun sayang bahwa sejak Ibu Megawati menjabat sebagai Presiden, kendali ekonomi
jatuh ke tangan Berkeley Mafia lagi, yang sejak itu kendali serta kekuasaannya
bertambah mutlak.
Kwik Kian Gie
|
Tingkat kerusakannya sudah sangat parah.
Jumlah manusia Indonesia yang menderita kemiskinan sudah melampaui batas-batas
yang wajar. Infrastruktur, barang dan jasa publik yang krusial buat tingkat
kehidupan yang wajar sudah merosot jauh di bawah yang dibutuhkan secara
minimal.
Elit bangsa yang sedang berkuasa dengan
dukungan dari pembentukan opini publik di dunia semakin gencar menggambarkan
bangsa Indonesia yang semakin maju dan sejahtera. Indikator-indikator yang
dikemukakannya adalah stabilitas nilai tukar
rupiah, PDB yang meningkat, inflasi yang terkendali dan sejenisnya.
Bahwa kesemuanya itu menyesatkan dapat kita
pahami kalau kita membandingkannya dengan indikator-indikator yang sama selama
penjajahan oleh Belanda selama berabad-abad. Dalam zaman penjajahan segala sesuatunya serba teratur dan
stabil. PDB Hindia Belanda meningkat terus. Itulah sebabnya sampai sekarang kita menyaksikan Wassenaar dengan vila-vila yang besar
dan mewah dan disebut sebagai daerah pemukimannya oud Indische gasten (para mantan tamu di Hindia Belanda). Ciri khas Amsterdam
sebagai pusat perdagangan ketika itu ialah rumah-rumah besar sepanjang
sungai-sungai buatan. Kebanyakan dari gedung-gedung itu sekarang berfungsi
sebagai perkantoran. Dalam zaman penjajahan adalah rumah-rumah tinggalnya para
keluarga yang memperoleh kekayaannya dari Hindia Belanda. Tetapi rakyat
Indonesia hidup dengan segobang sehari.
Sekarang juga begitu, kota-kota besar,
terutama Jakarta berlimpah-ruah dengan kemewahan. Indikator-indikator yang
selalu didengung-dengungkan serba stabil, walaupun ketertiban dan kebersihannya masih kalah dibandingkan dengan
zaman penjajahan Belanda. Pesawat udara penuh penumpang, mal-mal mewah padat pengunjung
dan jalan-jalan raya macet dengan mobil-mobil mewah. Tetapi ketika Bank Dunia mengumumkan bahwa garis kemiskinan
sekarang ditetapkan US$ 2 per hari per orang, 50 % dari rakyat Indonesia
menjadi miskin.
Buat saya dan sangat banyak orang Indonesia
lainnya yang peduli dan prihatin terhadap nasib bangsa, inilah gambaran negara
Indonesia yang dijajah secara modern. Kalau ini yang akan digugat oleh Boediono
seandainya dia menang menjadi wakil presiden, bersyukurlah kita.
Peran golongan kemapanan
yang tidak tampak lagi
Kondisi ini tidak dapat dibiarkan oleh
golongan kemapanan yang masih mempunyai hati nurani. Mengapa golongan kemapanan
yang harus membalikkan proses yang menjuruskan bangsa kita ke dalam jurang
penderitaan, kemiskinan dan kenistaan? Karena mereka yang miskin dan menderita
tidak mempunyai kekuatan apapun untuk memperbaiki nasibnya. Mereka hanya mampu
menerawang ke langit dengan wajah tanpa ekspresi sambil menerima kematiannya
karena kekurangan makanan dan pelayanan kesehatan yang paling mendasar.
Golongan kemapanan yang dirinya sendiri tidak
mempunyai persoalan untuk hidup serba kecukupan, tetapi hatinya terusik, tidak
tega menyaksikan penderitaan sesama anak bangsanya itulah yang harus bergerak
membela sesama anak bangsanya yang terinjak, terpinggirkan dan ternistakan oleh
elit bangsanya sendiri yang sedang berkuasa, dan lebih senang menjadi kroni dan
kompradornya para penghisap bangsa-bangsa lain. Kelompok seperti inilah yang berhasil memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan. Para pendiri negara kita adalah orang-orang
berpendidikan tinggi, yang kalau mau menjadi pegawai negeri (ambtenaar) pada pemerintahan
Hindia Belanda menikmati gaji yang sangat tinggi. Tetapi mereka memilih keluar
masuk penjara ketimbang menjadi pegawai negeri yang menjadi bagian dari
birokrasi yang menghisap bangsanya sendiri.
Golongan kemapanan yang
peduli, prihatin dan membela kepentingan yang tertindas sudah sangat lama tidak
tampak di Indonesia.
PROSES PENJAJAHAN DALAM
PERUNDANG-UNDANGAN DAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN OLEH ELIT BANGSA INDONESIA SENDIRI
Menuju ke arah liberalisasi
sejauh mungkin
Sejak Republik Indonesia berdiri sampai tahun
1967 tidak pernah ada rincian konkret dari ketentuan pasal 33 UUD 1945 yang
bunyinya : “Barang
yang penting bagi negara dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.”
Undang-undang nomor 1 tahun
1967
Penjabaran yang konkret sampai bisa menjadi
peraturan tidak pernah ada sampai tahun 1967. Dalam tahun itu terbit UU no. 1
tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Terbitnya UU tersebut sebagai tindak
lanjut dari Konferensi Jenewa bulan November 1967.
Saya kutip pasal 6 ayat 1 yang berbunyi :
“Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara
pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut :
a. pelabuhan-pelabuhan;
b. produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum;
c. telekomunikasi;
d. pelayaran;
e. penerbangan;
f. air minum;
g. kereta api umum;
h. pembangkitan tenaga atom;
i. mass media.
b. produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum;
c. telekomunikasi;
d. pelayaran;
e. penerbangan;
f. air minum;
g. kereta api umum;
h. pembangkitan tenaga atom;
i. mass media.
UU tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri di tahun 1968
Undang-undang nomor 6 tahun 1968 mengenai
Penanaman Modal Dalam Negeri pasal 3 ayat 1 sudah mengizinkan investor asing
memasuki cabang-cabang produksi yang jelas disebut “menguasai hajat hidup orang
banyak” itu asalkan porsinya modal asing tidak melampaui 49%.Namun ada ketentuan bahwa porsi investor Indonesia yang 51% itu
harus ditingkatkan menjadi 75% tidak lebih lambat dari tahun 1974.
Peraturan Pemerintah nomor
20 tahun 1994
Di tahun 1994 terbit peraturan pemerintah
nomor 20 dengan pasal 5 ayat 1 yang isinya membolehkan perusahaan asing
melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup rakyat banyak, yaitu pelabuhan, produksi dan
transmisi serta distribusi tenaga listrik umum, telekomunikasi, pelayaran,
penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media.”
Pasal 6 ayat 1 mengatakan : “Saham peserta
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus) dari
seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian.”
Apa artinya ini ? Artinya adalah bahwa pasal 6
ayat 1 UU no. 1/1967 mengatakan bahwa perusahaan asing tidak boleh memasuki
bidang usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak beserta perinciannya. UU no. 6/1968 pasal 3 ayat 1 secara implisit
mengatakan bahwa asing boleh memiliki dan menguasai sampai 49%. UU no. 4/1982
melarang asing sama sekali masuk di dalam bidang usaha pers. PP 20/1994 lalu
dengan enaknya mengatakan bahwa kalau di dalam perusahaan kandungan
Indonesianya adalah 5% sudah dianggap perusahaan Indonesia yang dapat melakukan
kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
rakyat banyak beserta perinciannya, termasuk media massa Jadi PP no. 20/1994
menentang UU no. 1/1967, menentang UU no. 6/1968, menentang UU no. 4/1982 dan
menentang jiwa pasal 33 UUD 1945.
Dalam aspek lain PP 20/1994 juga menentang UU
no. 6/1968 pasal 6 yang berbunyi : “Waktu berusaha bagi perusahaan asing, baik
perusahaan baru maupun lama, dibatasi sebagai berikut :
a. Dalam bidang perdagangan berakhir pada
tanggal 31 Desember 1997;
b. Dalam bidang industri berakhir pada tanggal 31 Desember 1997;
c. Dalam bidang-bidang usaha lainnya akan ditentukan lebih lanjut oleh Pemerintah dengan batas waktu antara 10 dan 30 tahun.”
b. Dalam bidang industri berakhir pada tanggal 31 Desember 1997;
c. Dalam bidang-bidang usaha lainnya akan ditentukan lebih lanjut oleh Pemerintah dengan batas waktu antara 10 dan 30 tahun.”
PP no. 20/1994 menentukan bahwa batas antara
boleh oleh asing atau tidak adalah kepemilikan oleh pihak Indonesia dengan 5%.
Tidak ada lagi pembatasan waktu tentang dikuranginya porsi modal asing.
Yang sangat menyakitkan juga ialah diambilnya
rumusan pasal 33 UUD 1945 secara mentah-mentah, yang lalu dikatakan bahwa itu
sekarang boleh ada di tangan asing dengan kandungan Indonesia 5%. Jadi seperti
menantang atau meremehkan UUD 1945.
Infra Struktur Summit I
Posisinya hari ini ialah yang dikumandangkan
di Infra Struktur Summit oleh Menko Perekonomian ketika
dijabat oleh Aburizal Bakrie di Hotel Shangrilla.
Intinya mengumumkan kepada masyarakat bisnis dan korporasi di dunia bahwa
Indonesia membuka pintunya lebar-lebar buat investor asing untuk berinvestasi
dengan motif memperoleh laba dalam bidang infrastruktur dan barang-barang
publik lainnya. Kepada masyarakat bisnis dan korporasi diberitahukan bahwa
kebijakan akan dijuruskan pada terbukanya hampir semua public goods and services bagi investor swasta, termasuk investor asing.
Infra Struktur Summit II
Dalam Infra Struktur Summit II yang Menko Perekonomiannya dijabat oleh Boediono, pengumuman pendahulunya
diulangi lagi. Namun sekarang ditambah dengan penegasan bahwa tidak akan ada
perbedaan perlakuan sedikitpun antara investor asing dan investor
Indonesia.
Kebijakan pemerintah dalam bidang infra
struktur dan public goods pada umumnya hanya akan ditangani oleh pemerintah kalau
penyediaannya tidak menguntungkan secara komersial. Melalui reformasi sektoral
lambat laun semua barang publik dan infra struktur akan dibuat menguntungkan
secara komersial, sehingga bisa disediakan oleh swasta dengan motif mencari
laba.
Ini berarti bahwa rakyat Indonesia akan
dijuruskan hanya dapat menikmati barang dan jasa publik dengan membayar harga
yang tingginya memungkinkan investor swasta memperoleh laba daripadanya.
Falsafah bahwa perlu ada barang dan jasa publik yang penyediaannya diadakan
atas dasar gotong royong, yaitu dibiayai oleh seluruh
rakyat sesuai dengan kemampuannya masing-masing melalui sistem perpajakan
lambat laun harus diperkecil. Semuanya harus diserahkan pada mekanisme pasar. Dengan
demikian, secara perlahan-lahan bangsa Indonesia yang miskin tidak akan dapat
menikmati barang dan jasa publik dengan cuma-cuma.
Apa lagi kalau kebijakan semacam ini ini tidak
bersifat liberalisme yang primitif dan masih liar? Di seluruh dunia kita
mengenal jaringan jalan raya bebas hambatan sangat luas yang digunakan oleh
siapa saja dengan cuma-cuma. Di Indonesia tidak. Namanya saja “jalan tol”, yang implisit
berarti barang siapa ingin menggunakan jalan raya bebas hambatan harus membayar
tarif tol.
Undang-Undang tentang
Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007
Undang-Undang tersebut menggantikan semua
perundangan dan peraturan dalam bidang penanaman modal. Butir-butir pokoknya
dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pasal 1 yang mendefinisikan “Ketentuan Umum”
yang mempunyai banyak ayat itu intinya menyatakan tidak ada perbedaan antara modal asing dan modal dalam negeri.
Pasal 6 mengatakan : “Pemerintah memberikan
perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun
yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia…..”
Pasal 7 menegaskan bahwa “Pemerintah tidak
akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal, kecuali
dengan undang-undang.”
Pasal 8 ayat 3 mengatakan “Penanam modal
diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing”, yang dilanjutkan dengan perincian tentang apa semua yang
boleh ditransfer, yaitu sebanyak 12 jenis, dari a sampai dengan l, yang praktis
tidak ada yang tidak boleh ditransfer kembali ke negara asalnya.
Pasal 12 mengatakan bahwa semua bidang usaha
atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali produksi
senjata dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan
undang-undang.
Hak atas tanah menjadi 95 tahun untuk Hak Guna Usaha, 80 tahun untuk Hak Guna Bangunan dan 70 tahun untuk Hak Pakai.
KECENDERUNGAN LIBERALISASI
PENUH DAN SURVIVAL OF THE FITTEST
Dengan seluruh rangkaian kebijakan yang telah
dikemukakan tadi, menjadi sangat jelas garis kebijakan yang konsisten sejak
tahun 1967. Kebijakan itu ialah semakin mengecilnya peran pemerintah dalam
bidang pengadaan barang dan jasa yang tergolong dalam barang dan jasa publik,
atau barang dan jasa yang pengadaannya membutuhkan dana sangat besar, tetapi
merupakan kebutuhan pokok manusia. Karena kebutuhan dana yang sangat besar itu,
sifatnya selalu menjadi monopolistik. Karena sifat monopolistik
itu dipegang sepenuhnya oleh perusahaan swasta yang motifnya mencari laba, maka
rakyat yang sangat membutuhkannya harus membayar dengan harga yang tingginya
mencukupi untuk memberi laba yang menarik bagi investor swasta. Karena itu, yang mampu
menggunakan barang dan jasa publik ialah perusahaan-perusahaan besar dan
perorangan yang tergolong kaya.
Kewajiban pemerintah untuk mengadakannya
secara gotong royong melalui instrumen pajak setahap demi setahap dibuat minimal. Banyak sekali barang dan jasa publik yang akan dijadikan obyek
mencari laba, dan dalam berlomba mencari laba itu tidak ada lagi perbedaan
antara investor asing dan investor Indonesia.
Semuanya didahului dengan mempengaruhi pikiran
dan pembentukan opini publik dalam bidang mekanisme pasar, liberalisasi, swastanisasi dan globalisasi yang cakupannya sebanyak dan tingkat keterbukaannya sejauh
mungkin, yang harus memusnahkan nasionalisme dan patriotisme. Elit negara-negara
mangsa harus diyakinkan dan diberi pemahaman bahwa nasionalisme dan patriotisme
sudah sangat ketinggalan zaman. Orang modern harus memahami globalisasi yang merupakan the borderless world. Nasionalisme dan patriotisme bagaikan katak dalam tempurung
dengan wawasan yang sangat sempit. Demikianlah pikiran, paham, penghayatan yang
berlaku pada elit bangsa yang memegang kekuasaan ekonomi sejak tahun 1967
sampai sekarang.
Pusat dari indoktrinasi paham seperti
dikemukakan di atas adalah Amerika Serikat. Namun tengoklah apa semua yang dilakukan oleh Amerika Serikat
dalam bidang proteksi, melindungi warga
negaranya sendiri. Tidak saja defensif dengan
menutup pintu masuk negaranya dalam bidang apa saja dan dengan tarif setinggi
berapa saja kalau dirasa perlu. Tetapi kalau perlu melakukan agresi, menangkap Presiden Noriega di negaranya
sendiri yang lantas dipenjarakan di AS. Irak
dihancur leburkan dengan dalih mempunyai senjata pemusnah massal yang akan dipakai untuk
memusnahkan umat manusia. Tidak kurang dari Tim Ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang diketuai oleh Hans Blik, yang sebelum invasi AS ke Irak menyatakan bahwa
di Irak tidak ada senjata pemusnah massal.
Toh Irak diserbu, Presiden Saddam Husein
dihukum gantung, semua peninggalan sejarah yang begitu pentingnya untuk
peradaban umat manusia dimusnahkan, manusia dalam jumlah sangat besar terbunuh,
yang akhirnya pasukan AS sendiri tidak menemukan senjata pemusnah massal.
Saya mengemukakan ini semuanya hanya membeo para elit AS sendiri yang
menyuarakan hal-hal yang sama. Bahwa saya kutip dalam tulisan ini untuk
menggambarkan bahwa di kalangan elit mashab tertentu di Indonesia berlaku
pepatah “Guru
kencing berdiri, murid kencing berlari.”
Beberapa kenyataan aneh
yang sama sekali tidak logis
Sampai sekarang, sekitar 90% dari minyak kita dieksploitasi oleh
perusahaan-perusahaan minyak asing. Tambang kita dikeduk oleh pemodal asing, dan hasil yang milik mereka itu dicatat oleh Biro Pusat Statistik
kita sebagai Produk Domestik Bruto Indonesia (GDP). Bangsa Indonesia kebagian
royalti dan pajak yang relatif sangat kecil. Hasil tambang dan mineral sangat
mahal yang milik pemodal asing itu ketika diekspor dicatat oleh Biro Pusat
Statistik sebagai Ekspor Indonesia yang
meningkat.
Sejak tahun 1967, tanpa membunuh siapapun, elit bangsa Indonesia sendiri telah
menyerahkan segala-galanya kepada kekuatan-kekuatan non Indonesia yang lebih
kuat dan lebih raksasa. Apakah itu karena kebodohan, karena
pengkhianatan, ataukah karena keyakinan bahwa liberalisme, dan fundamentalisme
pasar dihayatinya bagaikan agama adalah hal yang tidak jelas. Inikah yang akan digugat
oleh Boediono? Dan apakah yang akan digugat para teknokrat yang dalam
konperensi Jenewa bulan November tahun 1967 dipimpin oleh Prof. Widjojo Nitisastro? Di mana posisi Boediono
antara para teknokrat yang disebut “Bekerley Mafia” dan para ekonom yang
disebut “Blok Perubahan.”
LIBERALISASI YANG JELAS
MELANGGAR KONSTITUSI
Liberalisasi dan mekanisme pasar yang
dihayatinya bagaikan “agama” telah diberlakukan sedemikian jauhnya, sehingga
terang-terangan melanggar Konstitusi, memberlakukan kebijakan yang menyesatkan
dan membuat rakyat sangat sengsara.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan
bahwa pasal 28 ayat (2) Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi bertentangan dengan Konstitusi. Pemerintah dan DPR sama sekali tidak
menghiraukannya. Bahkan seolah-olah menantang, harga BBM dinaikkan dengan
mengacu pada pasal 28 di dalam undang-undang nomor 22 tahun 2001 tersebut, yang
oleh MK dianggap paling krusial dalam menentang amanat Konstitusi. Ketua MK
menulis surat kepada Presiden bahwa kebijakan menaikkan harga BBM sampai 126 %,
karena harus ekuivalen dengan harga minyak mentah yang terbentuk melalui
mekanisme pasar di New York Mercantile Exchange (NYMEX) bertentangan dengan Konstitusi
kita. Surat tersebut tidak dihiraukan tanpa konsekuensi buat Pemerintah, maupun
DPR maupun DPD. Ketika itu Boediono Menko Perekonomian.
Demi mekanisme pasar yang mutlak tanpa pandang
bulu, caranya memberi argumen dan penjelasan kepada rakyat juga melalui
penyesatan dan kebohongan. Dikatakan bahwa kalau harga BBM tidak disamakan
dengan ekuivalennya harga minyak mentah yang terbentuk di NYMEX, pemerintah
harus mengeluarkan uang Rp. 115 trilyun untuk mensubsidi. Uang itu tidak ada.
Maka harga BBM dinaikkan. Sebagai contoh, harga bensin premium dinaikkan dari
Rp. 2.700 per liter menjadi Rp. 4.500 per liter. Ketika itu, harga minyak
mentah di New York US$ 60 per barrel. Dengan kenyataan bahwa biaya-biaya untuk
penyedotan, pengilangan dan transportasi sebesar US 10 per barrel atau Rp. 630
per liter (dengan asumsi kurs US 1 = Rp. 10.000), harga bensin premium yang Rp.
4.500 per liter sama dengan harga minyak mentah sebesar Rp. 61,5 per barrel (1
barrel = 159 liter).
Kita membaca dan menyaksikan betapa bagian
terbesar dari rakyat serta merta menjadi miskin dan sangat menderita. Bersamaan
dengan itu kita saksikan bermunculannya stasiun-stasiun penjualan bensin oleh
Shell, Petronas, yang akan disusul dengan perusahaan-perusahaan minyak asing
lainnya.
Dalam menaikkan harga BBM, Pemerintah
mengemukakan dan menjelaskannya kepada publik menggunakan istilah “subsidi”
yang disamakan dengan pengeluaran uang tunai, padahal tidak demikian
kenyataannya. Kalau kita mengambil bensin premium sebagai contoh, uang tunai
yang dikeluarkan Rp. 630 per liter. Seperti telah berkali-kali dijelaskan,
ketika itu nilai tukar rupiah adalah Rp. 10.000 per dollar AS. Biaya lifting,
refining dan transporting seluruhnya
US$ 10 per barrel dan seperti kita ketahui, 1 barrrel = 159 liter.
Sebelum dinaikkan, harga bensin premium Rp.
2.700 per liternya, sehingga untuk setiap liternya, pemerintah kelebihan uang
tunai sebanyak Rp. 2.070. Tetapi kepada rakyat dikatakan bahwa uang yang
dikeluarkan sama dengan “subsidi” yang bukan pengeluaran uang tunai, tetapi
perbedaan antara harga Rp. 2.700 dengan Rp. 4.500 per liter (yang sama dengan
US $ 61,5 per barrel). Maka belum lama berselang IMF menyatakan bahwa
Pemerintah Indonesia sangat kaya uang tunai, karena ketambahan Rp. 15 trilyun
sebagai hasil menaikkan harga BBM.
MEKANISME PASAR YANG UNGGUL
TELAH MEMASUKKAN BANYAK INTERVENSI OLEH PEMERINTAH
Bahwa sistem mekanisme pasar terbukti unggul
dibandingkan dengan sistem perencanaan sentral seperti yang diterapkan oleh
negara-negara komunis memang benar validitasnya. Namun mekanisme pasar yang
“ditemukan” oleh Adam Smith dan ditulis di tahun 1776 telah mengalami banyak
perubahan. Perubahan-perubahan itu ialah tidak ditabukannya campur tangan
pemerintah yang dibutuhkan, agar mekanisme pasar yang efisien dapat
dikombinasikan dengan intervensi berupa kebijakan-kebijakan pemerintah dengan
maksud melindungi yang lemah dan memperoleh keadilan serta pemerataan dalam
menikmati pertumbuhan ekonomi.
Dalam pidatonya tanggal 15 Mei 2009 di Bandung
Boediono mengatakan dengan jelas bahwa : “Perekonomian Indonesia tidak dapat
seluruhnya diserahkan kepada pasar bebas……dsb.”, yang langsung disambung dengan
“Negara tidak boleh terlalu banyak campur tangan, sebab itu akan mematikan
kreativitas. Tetapi negara juga tidak boleh hanya tidur.” Buat saya ini
ideologi bukanisme, yaitu bukan diserahkan pasar bebas, tetapi juga bukan diatur
terlalu banyak oleh pemerintah. Yang tidak terlalu banyak itu yang seperti apa?
Berkaitan dengan kata “tidur” yang dipakai
oleh Boediono, senior semashab dengan Boediono secara berkelakar pernah
mengatakan bahwa “PDB
tumbuh sepanjang malam sampai pagi hari ketika pemerintah tidur.”
Seperti dapat kita lihat dari uraian di atas,
secara sistematis praktik penyelenggaraan negara dalam bidang ekonomi diarahkan
pada kapitalisme, liberalisme dan mekanisme pasar dalam bentuknya yang paling
awal, paling primitif dan sudah
sangat lama ditinggalkan oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Maksudnya tiada lain untuk menjadikan
Indonesia lahan yang subur untuk dihisap dan dijadikan sapi perahan.
Dengan sistem tersebut yang menang adalah
pemilik modal besar dan yang kuat. Kompetisi yang melekat pada mekanisme pasar
tidak dijadikan kompetisi yang beradab, tetapi dibiarkan menjadi kompetisi yang
menganut hukum rimba, yang menjadi kompetisi saling memotong leher atau cut
throat competition. Hasilnya adalah survival
of the fittest, seperti yang dapat kita lihat di Indonesia sekarang
ini. Walaupun hampir 64 tahun sudah merdeka secara politik, namun kemerdekaan
yang diidam-idamkan sebagai pintu gerbang emas menuju pada kemakmuran dan
kesejahteraan yang adil buat seluruh rakyat semakin jauh dari kenyataan.
PENGHANCURAN MELALUI SISTEM KEUANGAN
Kalau tadi disebutkan peran pemerintah yang
semakin minimal dalam produksi dan distribusi barang dan jasa, walaupun
termasuk kategori barang dan jasa publik, tidak kalah pentingnya ialah
liberalisasi dalam bidang keuangan. Justru sistem inilah yang merupakan frontier untuk membuat negara-negara
mangsa tergantung dan dikendalikan.
Dalam buku yang tadi telah disebut, yaitu “A Game As Old As Empire” Steven Hiatt sebagai editornya menulis bahwa “…..pembayaran dari
negara-negara dunia ketiga berjumlah sekitar US$ 375 milyar per tahun atau 20
kali lebih besar dari jumlah uang yang diterimanya dari negara-negara kaya.
Sistem ini juga disebut Marshall Plan yang terbalik, dengan negara-negara dari
belahan Selatan dunia memberikan subsidi kepada negara-negara kaya di belahan
Utara dunia, walaupun separuh dari manusia di dunia hidup dengan US$ 2 per
hari.”
(halaman 19)
Indonesia masuk ke dalam jebakan hutang (debt trap) tersebut. Sejak
tahun 1967 dibentuk perkumpulan dari negara-negara kaya yang disebut Inter Governmental Group on Indonesia(IGGI) yang berubah nama
menjadi CGI. Pekerjaannya hanya memberi hutang setiap tahunnya kepada
Indonesia. Dengan hutang yang tanpa henti diberikannya sejak tahun 1967 sampai
sekarang, bangsa Indonesia tidak bertambah makmur dan sejahtera secara
berkeadilan.
Seperti telah disinggung tadi, belum lama
berselang Bank Dunia mengumumkan bahwa garis kemiskinan sekarang pendapatan
sebesar US$ 2 per orang per hari. Karena itu, menurut Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dunia di Jakarta, 50% dari
rakyat Indonesia miskin.
Dampak dari jebakan hutang sudah lama sangat
terasa. Pertama tentunya besarnya jumlah hutang luar negeri itu sendiri yang
sudah melampaui batas-batas kewajaran kalau dihitung dengan ukuran Debt Service Ratio (DSR). Tetapi pemerintah kemudian menyajikan angka hutang negara yang
dinyatakan dalam persen dari PDB yang relatif lebih kecil.
Permainan statistik seperti ini diberlakukan pada semua lini.
Walaupun Pemerintah dapat menunjukkan angka
hutang yang terus berkurang kalau dinyatakan dalam persen dari PDB, namun pos
pengeluaran APBN untuk pembayaran cicilan hutang pokok dan bunga mengambil
porsi terbesar. Akibatnya Pemerintah tidak dapat memberikan yang minimal kepada
rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar seperti
pendidikan, pelayanan kesehatan dasar, penyediaan air bersih, listrik dan
lingkungan yang sehat.
Krisis Moneter/Ekonomi 1997
dan IMF
Sistem ekonomi, terutama sistem moneternya
yang sudah dibuat sangat terbuka dan liberal akhirnya mengakibatkan krisis moneter dan ekonomi di tahun 1997 yang disusul dengan
depresi yang cukup hebat. Kondisi moneter dan kepercayaan terhadap Indonesia
hancur. Rupiah merosot nilainya dari Rp. 2.400 per dollar menjadi Rp. 16.000
per dollar. Kepercayaan dunia internasional maupun para pengusaha Indonesia
sendiri merosot sampai nol. Dalam kondisi seperti itu Indonesia sebagai anggota
IMF menggunakan haknya minta bantuannya, yang diberikan dalam bentuk Extended Fund Facility atau yang lebih terkenal dengan sebutan program Letter of Intent.
Pada akhir pemerintahan Megawati sebuah badan
evaluasi independen di dalam tubuh IMF yang bernama Independent Evaluation Office mengakui bahwa IMF telah melakukan banyak kesalahan di
Indonesia.
Di Indonesia, kesalahan yang paling mencolok
ialah dengan ditutupnya 16 bank tanpa persiapan yang matang dengan akibat BLBI
sebesar Rp. 144 trilyun, Obligasi Rekapitalisasi Perbankan sebesar Rp. 430
trilyun beserta kewajiban pembayaran bunganya dengan jumlah Rp. 600 trilyun,
atau seluruh beban menjadi Rp. 144 trilyun BLBI, Rp. 430 trilyun Obligasi
Rekap. dan minimal Rp. 600 trilyun beban bunganya, atau keseluruhannya Rp.
1.174 trilyun. Kalau kurs dollar AS kita ambil Rp. 10.000 per dollar, jumlah
ini ekuivalen dengan 117,4 milyar dollar AS.
OR adalah surat pengakuan hutang oleh
pemerintah yang dipakai untuk meningkatkan kecukupan modal dari bank-bank yang
dirusak oleh para pemiliknya, tetapi sekarang menjadi milik pemerintah.
Menjadinya milik pemerintah karena dalam keadaan darurat pemerintah harus
menghentikan rush dengan BLBI. Karena BLBI yang dipakai oleh bank-bank swasta
untuk menghentikan rush tidak mungkin dikembalikan, maka dana BLBI dikonversi menjadi
modal ekuiti milik pemerintah. Sampai di sini OR merupakan injeksi dana oleh
pemerintah kepada bank yang milik pemerintah, yang kejadiannya dalam keadaan
darurat. Mestinya dan nalarnya, OR itu ditarik kembali sambil pulihnya
bank-bank menjadi sehat kembali.
Tidak demikian yang dilakukan oleh pemerintah
atas instruksi atau petunjuk IMF. Bank-bank milik pemerintah Indonesia yang di
dalamnya ada surat tagihan kepada pemerintah (atau dirinya sendiri) dijual
dengan harga murah kepada swasta, antaranya banyak swasta asing. Contoh yang
paling fenomenal tentang ketidak warasannya kebijakan pemerintah dalam bidang
ini adalah penjualan BCA. 97% dari BCA sudah milik
pemerintah. Di dalamnya ada OR atau surat hutang pemerintah sebesar Rp. 60
trilyun. IMF memaksa menjualnya kepada swasta dengan harga yang ekuivalen
dengan Rp. 10 trilyun. Jadi BCA harus dijual dengan harga Rp. 10 trilyun, dan yang
memiliki BCA dengan harga itu serta merta mempunyai tagihan kepada pemerintah
sebesar Rp. 60 trilyun dalam bentuk OR yang dapat dijual kepada siapa saja,
kapan saja dan di mana saja.
Satu hari sebelum penandatanganan penjualan
BCA kepada Farallon terjadi sidang kabinet terbatas tidak resmi selama tiga
jam. Perdebatan sangat sengit. Sebelum tuntas, pada jam 18.00 Menko Dorodjatun
menghentikan rapat, mengajak Meneg BUMN Laksamana Sukardi melapor kepada
Presiden Megawati bahwa penandatanganan penjualan keesokan harinya dapat
dilakukan. Dalam rapat tersebut hanya seorang menteri yang menentang sangat
keras. Semuanya menyetujui, tentunya termasuk Menteri Keuangan Boediono, yang notabene paling bertanggung
jawab atas penciptaan beban keuangan negara yang dahsyat ini. Apakah ini bentuk penjajahan yang ingin digugat oleh Boediono ?
Bukankah lantas menjadi ceritera “Boediono menggugat Boediono”? Sangat perlu Boediono
menjelaskan siapa para penjajah dari dalam negeri yang bangsanya sendiri !!
Sebagai catatan perlu saya
kemukakan bahwa ketika saya menjabat Menko EKUIN telah dicapai kesepakatan
lisan dengan wakil IMF Anoop Singh bahwa penjualan BCA harus melalui tender
terbuka.
Semua niat membeli dikirimkan dalam amplop tertutup kepada notaris yang
ditunjuk bersama oleh IMF dan Pemerintah Indonesia. Pemerintah berhak
memasukkan amplop tertutup yang isinya harga minimum untuk penjualan BCA. Kalau
harga tertinggi dari semua minat lebih rendah dari harga minimum yang
ditentukan oleh pemerintah, penjualan BCA ditunda dengan 6 bulan, dan demikian
seterusnya sampai kondisi ekonomi membaik dan BCA dapat dijual dengan harga
yang sama atau di atas harga minimum. Semua prinsip-prinsip sama
sekali dibuang dalam penjualan BCA. Tidak ada harga minimum yang disyaratkan oleh pemerintah,
walaupun ketika saya Kepala Bappenas, dalam rapat antar menteri sudah saya
tegaskan dengan jelas. Bukankah ini berarti bahwa kesepakatan yang bisa membuat
hasil penjualan BCA tidak merugi ditiadakan segera saja setelah Tim Ekonomi berganti menjadi Boediono sebagai menteri
keuangannya?Mengapa Boediono begitu
ngotot harus menjual BCA tepat pada waktu yang ditentukan oleh IMF dengan
meniadakan kesepakatan sebelumnya yang menguntungkan pemerintah? Bukankah ini sikap dan praktek yang sepenuhnya menurut pada IMF
secara membabi buta? Apakah praktek semacam ini yang akan digugat oleh
Boediono?
Buat saya masih merupakan pertanyaan besar,
apakah semua hutang dalam negeri yang diciptakan oleh IMF dengan dukungan oleh
beberapa elit Indonesia sendiri itu sebuah kesengajaan ataukah sebuah
kebodohan? Besarnya hutang dalam negeri yang diciptakan
dalam hitungan minggu lebih besar dari hutang luar negeri yang diakumulasi
selama 32 tahun.
Hutang luar negeri pemerintah, saldonya ketika
itu sekitar 80 milyar dollar AS, tetapi selama 32 tahun jumlah yang telah
dibayarkan berjumlah sekitar 128 milyar dollar AS. Saldo ini diukur dengan
persen dari PDB yang lantas dianggap sudah rendah. Babak belurnya yang kumulatif sama sekali dilupakan.
Latar Belakang Kehancuran
Sistem Perbankan Indonesia
Biang keladinya lagi-lagi adalah liberalisasi.
Dalam bulan Oktober 1988 lahir Paket Kebijakan
Oktober yang terkenal dengan sebutan PAKTO. Isinya liberalisasi
perbankan yang menentukan bahwa dengan modal disetor sebesar Rp. 10 milyar
seseorang dapat mendirikan bank. Maka serta merta sekitar 160-an bank lahir.
Ditambah dengan yang sudah ada, sekitar 200 bank-bank swasta beroperasi di
Indonesia.
Bank-bank PAKTO didirikan, dimiliki dan
dikelola oleh para pedagang besar yang sama sekali tidak
mempunyai latar belakang perbankan. Dana masyarakat yang dipercayakan
disalahgunakan dengan cara memakainya untuk membiayai pendirian
perusahaan-perusahaannya sendiri denganmark
up. Maka bank sudah kalah clearing. Tetapi Bank Indonesia
ketika itu bukannya menghukum, malahan memberikan fasilitas yang dinamakan
Fasilitas Diskonto I. Setelah itu masih kalah clearing lagi. Oleh BI juga masih
dilindungi dengan memberikan Fasilitas Diskonto II. Bank-bank yang di dalamnya
sudah rusak tidak terlihat oleh publik yang mempercayakan uangnya untuk
disimpan pada bank-bank tersebut.
Dengan terjadinya krisis di tahun 1997 dan
ikut campurnya IMF dalam penentuan kebijakan moneter dan ekonomi di Indonesia,
16 bank ditutup mendadak tanpa persiapan yang matang seperti yang telah
digambarkan di atas. Kepada para nasabahnya dikatakan bahwa uangnya hilang
karena mereka salah pilih bank. Tentu mereka sangat marah, karena 16 bank
tersebut masih mengiklankan laporan keuangannya yang diaudit dan dinyatakan
sehat. Maka terjadilahrush besar-besaran pada bank-bank yang lain. Dalam kondisi panik
lagi, untuk menghentikan rush, bank-bank diguyur dengan BLBI sebesar
Rp. 144 trilyun, yang sampai saat ini menjadi kontroversi.
Setelah gejolak perbankan reda, ternyata
sangat banyak bank rusak berat. Pemerintah menginjeksi dengan surat hutang
negara yang dinamakan Obligasi Rekapitalisasi
Perbankan(Obligasi
Rekap atau OR) sampai jumlah Rp. 430 trilyun dengan beban bunga sebesar Rp. 600
trilyun. Bank-bank ini menjadi milik pemerintah. Terus dijual dengan harga
murah, padahal di dalamnya masih ada tagihan kepada pemerintah yang besar.
Sebagai contoh, saya ulangi lagi kasus BCA yang dijual dengan nilai sekitar Rp.
10 trilyun, tetapi di dalamnya ada tagihan kepada pemerintah (Obligasi Rekap)
sebesar Rp. 60 trilyun. Jadi pembeli membayar Rp. 10 trilyun, dan langsung
mempunyai surat hutang negara sebesar Rp. 60 trilyun. Beban bunga per tahun
dari Rp. 60 trilyun ini selama belum dilunasi besarnya melebihi hasil penjualan
yang Rp. 10 trilyun.
Dampaknya pada besarnya beban hutang
pemerintah, baik hutang luar negeri maupun dalam negeri untuk tahun anggaran 2006 sebesar Rp. 140,22 trilyun, yaitu beban bunga
sebesar Rp. 76,63 trilyun dan cicilan hutang pokoknya sebesar Rp. 63,59 trilyun. Jumlah ini pengeluaran
terbesar setelah keseluruhan pengeluaran pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, baik rutin maupun pembangunan.
Prospek Keuangan Negara
Sangat Suram
Seperti dikemukakan tadi, kalau kita
membatasi diri pada Obligasi Rekapitalisasi Perbankan saja (OR), jumlah
nominalnya Rp. 430 trilyun. Kalau setiap lembar OR ini dibayar tepat pada
tanggal jatuh tempo, dengan tingkat suku bunga yang tercantum pada setiap OR,
kewajiban membayar bunga sebesar Rp. 600 trilyun. Maka Pemerintah tidak bisa
lepas dari kewajiban membayar hutang pokok dan bunga yang secara
keseluruhannya Rp. 1.030 trilyun. Ini jumlah yang sangat
besar.
Dengan jumlah hutang dalam bentuk OR
sebesar ini, sangat besar kemungkinannya bahwa Pemerintah tidak akan mampu
membayar hutang pokoknya tepat waktu pada tanggal jatuh temponya. Kalau ada
bagian dari OR yang jatuh tempo dan ditunda pembayarannya, jumlah hutang
pokoknya tetap, tetapi kewajiban membayar bunganya membesar. Dengan berapa
membesarnya tergantung dari berapa besar hutang pokok yang pembayarannya harus
ditunda, dan ditunda untuk berapa lama.
Tiga pegawai dari BPPN yang bekerja pada
Bagian Sekretariat dan Penelitian, yaiti Gatot Arya Putra, Ira Setiati, dan Damayanti membuat
studi dengan cara mengembangkan 6 buah skenario. Skenario terburuk ialah kalau
setiap lembar OR harus ditunda dengan tenor yang sama. Kalau ini terjadi, maka
kewajiban Pemerintah membayar keseluruhan jumlah hutang OR ditambah bunganya
membengkak menjadi Rp. 14.000 trilyun.
Makalah mereka yang sedianya akan
dipublikasikan dalam majalah BPPN dihentikan, dan mereka dipecat.
Besarnya hutang pemerintah dalam bentuk
OR beserta besarnya bunga yang harus dibayar menjadi beban sangat berat untuk
keuangan negara yang sudah menjadi pengetahuan publik. Menteri Keuangan
Boediono menjamin kepada DPR bahwa dengan skema yang dinamakannyareprofiling atau
pengaturan kembali jadwal pembayaran cicilan hutang pokok OR, OR akan dapat
diselesaikan dalam waktu 8 tahun dengan tambahan pembayaran bunga sebesar Rp.
800 milyar setiap tahunnya. Artinya, jumlah hutang OR ditambah dengan bunganya
yang Rp. 1.030 trilyun akan ketambahan Rp.6,4
trilyun saja. Tidak ada orang yang percaya. Setelah
itu, kita baca terus menerus betapa seringnya pemerintah menerbitkan Surat Hutang Negara (SUN), baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing. Kita
sudah tidak dapat mengikutinya lagi bagaimana perkembangannya beban hutang
pemerintah dewasa ini. Yang jelas terasa adalah serba kekurangan uang untuk
melindungi bagian terbesar rakyat dari kelaparan, kekurangan pendidikan dan
penyakit.
Saya sebagai Menko EKUIN dengan Bambang Sudibyo sebagai Menteri
Keuangan mempunyai rencana konkret untuk
menarik OR terlebih dahulu sebelum bank-bank dijual kepada swasta. Rencana yang
konkret ditulis oleh 6 orang ahli yang secara sukarela menyumbangkan
pikiran-pikirannya di bawah pimpinan Dradjat
Wibowo. Kesemuanya pernah dipublikasikan di
Kompas dan juga dibukukan dengan fasilitas dari Bappenas. Konon kabarnya
setelah dijelaskan oleh Anthony Budiawan, (salah satu penulis) Menteri Keuangan Boediono (dalam pemerintahan Megawati) memahaminya, tetapi
toh semua bank dijual tanpa menarik OR-nya terlebih dahulu. Apa alasannya
tidak jelas. Kami menduga keras bahwa Bank Dunia dan IMF tidak menyetujuinya.
Kalau ini benar, Boediono ketika itu tidak berdaya mandiri terhadap Bank Dunia
dan IMF. Kalau sekarang mau menggugat, apakah
ini termasuk yang akan digugat olehnya kalau dia nantinya terpilih menjadi
Wakil Presiden?
TONGGAK-TONGGAK KEBIJAKAN EKONOMI
SETELAH PERTEMUAN JENEWA BULAN NOVEMBER TAHUN 1967
Setelah kaki-kaki korporatokrasi
ditancapkan yang oleh Jeffrey Winters dikatakan “pengambil
alihan ekonomi Indonesia dalam 3 hari”,
berbagai istilah dan pengertian yang tidak lazim diciptakan dengan maksud
memperlancar terjerumus dan terjeratnya Indonesia ke dalam hutang, yang dijadikan
alat penekan untuk memaksakan kebijakan yang pro korporatokrasi. Bahwa hutang
luar negeri dijadikan alat penekan pada negara debitur dibantah oleh beberapa
ahli ekonomi Indonesia yang mencuat ketika tulisan ini sedang dibuat. Saya
perlu menjelaskan bahwa seperti dapat dibaca dalam tulisan ini, yang mengatakan
ini bukan saya, tetapi para ahli ekonomi Amerika yang mengaku sebagai
pelakunya, yaitu John Perkins yang diperintahkan oleh agen
CIA Claudia Claudine Martin. Kalau mau membantah jangan
membantah saya, tetapi bantahlah Claudia Claudine Martin dan
John Perkins. Semoga Boediono menggugat mereka berdua yang merencanakan dan
melakukan penggerojokan hutang kepada Indonesia dengan maksud menggunakannya
sebagai leverage guna memaksakan kehendaknya.
Perwujudannya yalah organisasi yang
khusus diciptakan buat negara-negara pemberi hutang yang bernama
Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI), yang kemudian berganti nama
menjadi Consultative Group of Indonesia (CGI). Koordinatornya Bank Dunia, yang
bersama-sama dengan Bank Pembangunan Asia dan IMF merupakan trio pemberi hutang
juga.
Bentuk-bentuknya antara lain adalah
sebagai berikut :
·
Anggaran negara (APBN) yang jelas defisit disebut
berimbang, yang ditutup dengan hutang luar negeri, tetapi tidak disebut hutang.
Sebutannya dalam APBN “Pemasukan Pembangunan”.
·
Hutang luar negeri dari IGGI/CGI dan 3
lembaga keuangan tidak disebut “loan” atau hutang, tetapi disebut
“aid” atau bantuan.
·
Jumlah defisit APBN dihitung tanpa
memasukkan cicilan hutang pokok sebagai pengeluaran. Yang dihitung hanya
pengeluaran uang untuk membayar bunga. Memang kebiasaan internasional seperti
ini supaya bisa membandingkan dengan negara-negara lain. Tetapi kalau jumlah
hutang ditambah bunga sudah sekitar 25 % dari APBN, gambarannya lantas
menyesatkan, dan perlu memberikan catatan khusus.
·
Anggaran pembangunan dibiayai sepenuhnya
dari hutang luar negeri yang katanya untuk menghindari crowding out di
dalam negeri. Tetapi ketika krisis dengan enaknya membuat hutang dalam negeri,
yang ditambah dengan kewajiban membayar bunga menjadi ribuan trilyun rupiah
dalam bentuk BLBI ditambah obligasi rekap, yang sebenarnya dapat ditarik
kembali sebelum bank-bank yang mempunyai obligasi rekap ini dijual dengan harga
murah.
·
Boediono sebagai
Menteri Keuangannya Presiden Megawati menyatakan dengan yakin beban hutang akan
merata dan selesai dalam waktu 8 tahun setelah melakukan apa yang olehnya
dinamakan reprofiling. Sekarang
kedodoran dengan beban sangat luar biasa beberapa tahun mendatang, seperti
yang diberitakan oleh media massa. Pada tanggal 15 Mei 2009 Boediono
mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden RI.
·
Demikian juga dengan ukuran tentang
jumlah hutang luar negeri, apakah sudah melampaui batas yang aman. Tadinya
dinyatakan dalam rasio antara ekspor neto dengan pembayaran cicilan hutang
pokok + bunga hutang luar negeri yang disebut Debt Service Ratio (DSR).Ketika sudah menjadi sangat tinggi, ukurannya diubah menjadi
dalam persen dari PDB.
·
Dalam menghitung ukuran tentang ambang
batas yang aman, dalam DSR cicilan hutang pokok dihitung sebagai faktor. Tetapi
dalam menghitung Defisit dalam APBN cicilan hutang pokoknya tidak
dihitung, karena sudah menjadi sangat besar.
·
Hutang luar negeri pemerintah Indonesia
dinyatakan masih dalam batas yang normal, karena didasarkan atas persen dari
PDB. Lompatan dari ukuran DSR menjadi persen dari PDB sudah kontroversial.
Tetapi yang lebih substantif yalah kita harus membedakan antara solvabilitas (solvency)
dan likwiditas. Persen dari PDB adalah solvency yang tidak
mesti likwid. Karena tidak likwid, terpaksa berhutang terus. Yang menentukan
apakah sebuah negara bangkrut atau tidak yalah kemampuannya membayar hutang
beserta bunganya tepat pada waktunya (likwiditas), bukan besarnya hutang dalam
persen dari PDB. Bahwa Indonesia tidak likwid terbukti dalam era Boediono sebagai Menko Ekonomi dan Sri Mulyani
sebagai Menteri Keuangan yang
menerbitkan SUN dalam dollar AS dengan suku bunga
antara 10,5% sampai 11%. Untuk dunia usaha
swasta saja, tingkat bunga seperti ini tergolong junk bond yang
sangat rongsokan. Kalau negara RI memberikan tingkat bunga seperti ini,
bagaimana penjelasannya, terutama kalau dibandingkan dengan AS yang mendekati
nol persen, dan negara-negara lain yang memberikan bunga deposito antara 0,3 %
sampai 2 % saja (dalam hal jangka sangat panjang). Kalau mau mengemukakan
solvabilitasnya saja, mengapa tidak sekalian menyatakan hutang Indonesia dalam
persen dari seluruh kekayaan alamnya? Jatuhnya menjadi 0,—- persen saja !
·
Subsidi BBM dinyatakan sebagai identik
dengan pengeluaran uang tunai oleh pemerintah, padahal tidak ada uang tunai
yang dikeluarkan untuk memperoleh minyak mentah kecuali yang harus diimpor.
·
Dalam kampanye pemilu legislatif yang
lalu, yang dikemukakan terus menerus melalui iklan sangat mahal yalah
pemerintah menurunkan harga BBM tiga kali. Tetapi menaikkannya tiga kali sebelumnya tidak disebut. Menaikkannya dari Rp. 2.700 sampai Rp. 6.000.
Menurunkannya hanya sampai Rp. 4.500 saja, tetapi dijadikan bahan kampanye
dalam iklan yang sangat mahal. Dalam kampanye mendatang, Boediono yang calon
wapres dari yang mengiklankan ini, terpaksa harus berbicara tentang hal yang
sama sekali tidak benar.
·
Lantas siapa yang mau
digugat? Berkaitan dengan isu ini, bukankah
kebijakan menentukan harga BBM di Indonesia membiarkan dirinya didikte oleh
NYMEX? Dan bukankah yang menjiwainya supaya perusahaan-perusahaan minyak asing
bisa membuka pompa-pompa bensin di Indonesia dengan laba, karena rakyat
dibiasakan membayar harga bensin dengan harga yang didikte oleh NYMEX ?
·
Sampai saat ini pemerintah masih saja
menggunakan istilah “subsidi” yang implisit membiarkan dirinya didikte oleh
NYMEX. Tetapi yang sangat aneh, dengan kurs yang berubah dan harga minyak
mentah yang sudah berubah pula, harga BBM masih tetap saja dipertahankan
seperti apa adanya.Apakah Boediono sebagai guru besar akan menggugatnya
berdasarkan nalar ilmu pengetahuannya, ataukah atas pertimbangan politik akan
membelanya? Kalau kita mempelajari pikiran-pikiran
Bung Karno, sangat konsisten, baik sebagai intelektual maupun sebagai negarawan. Konsistensinya inilah yang membawanya ke berbagai
penjara dan pembuangan.
APA HASIL AKHIR DARI KEBIJAKAN EKONOMI OLEH
TIM EKONOMI PEMERINTAH YANG SENANTIASA……
APA HASIL AKHIR DARI KEBIJAKAN EKONOMI OLEH
TIM EKONOMI PEMERINTAH YANG SENANTIASA TERDIRI DARI SATU KELOMPOK MASHAB
PIKIRAN, DAN BERGANTUNG PADA KAPITALISME PARTIKELIR SERTA KEPERCAYAAN MUTLAK
PADA KEAMPUHAN MEKANISME PASAR ?
Dimulai dengan pertemuan di Jenewa bulan
November 1967 yang ditulis sangat ilustratif, dan kebijakan yang terus menerus
sangat liberal atas pendiktean 3 lembaga keuangan internasional, maka saat ini,
setelah hampir 64 tahun merdeka, kondisi bangsa kita dapat digambarkan sebagai
berikut :
·
Selama Orde Baru PDB memang
meningkat dengan rata-rata 7 % per tahun, yang sangat dibanggakan oleh Tim
Ekonomi dan diagungkan oleh trio lembaga keuangan internasional dan oleh para
korporatokrat di seluruh dunia.PDB adalah penjumlahan dari seluruh produksi
barang dan jasa di Indonesia, tanpa mempedulikan siapa yang memproduksi dan
bagaimana pembagiannya. Maka sekedar sebagai ilustrasi, misalnya PDB yang dalam
tahun tertentu mencapai Rp. 5.000 trilyun, sangat mungkin dibentuk oleh 5 %
dari produsen di Indonesia, dengan bagian yang cukup besar oleh pengusaha
asing.Jadi kalau perusahaan tambang asing mengeduk sumber daya mineral yang
sangat mahal harganya, dan pemerintah hanya memperoleh royalti dan pajak, nilai
dari sumber daya mineral yang sangat mahal itu milik perusahaan tambang asing,
tetapi di dalam statistik kita masuk ke dalam Produk Domestik Bruto. Kalau yang
milik perusahaan asing dikeluarkan, namanya Produk Nasional Bruto (PNB). PNB
tidak pernah dipakai sebagai indikator ekonomi yang penting oleh Tim Ekonomi
Pemerintah yang memegang kekuasaan dan kendali ekonomi sampai saat ini. Pada waktu mineral yang sangat besar nilainya itu
diboyong ke negerinya, dalam statistik kita dicatat sebagai ekspor yang
merupakan komponen dari PDB.
Bagaimana pembagian dari PDB yang terus menerus meningkat itu? Walaupun
tidak dapat dijadikan gambaran yang akurat tentang pembagiannya, sebagai
indikasi dapat dikemukakan sebagai berikut. Yang membentuk PDB itulah yang
menikmati nilai tambah yang paling besar. Tentu ada dampak positifnya seperti
penciptaan lapangan kerja dan sebagainya.Data tahun 2003 menunjukkan bahwa
jumlah seluruh perusahaan 40,199 juta. Yang berskala besar 2.020 perusahaan
atau 0,01 %. Yang tergolong UKM sebanyak 40,197 juta perusahaan atau 99,99 %.Andil UKM yang 99,99 % dari seluruh perusahaan dalam
pembentukan PDB hanya 56,7 %,
sedangkan Usaha berskala besar dan raksasa yang
hanya 0,01 % itu andilnya sebesar 43,3 %
Walaupun angka-angka tersebut tahun 2003, kondisinya
sekarang tidak banyak berubah. Bahkan mungkin porsi UKMK menjadi semakin kecil.
Andil UKM dalam penyerapan tenaga kerja sebesar 99,74
%. Alangkah tidak adilnya, karena
sekian banyak orang hanya terlibat dalam UKM yang tentunya pendapatannya juga
minimal.
·
Negara kita yang kaya dengan minyak telah
menjadi importir neto minyak untuk kebutuhan bangsa kita. Sekitar 90% dari
minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan minyak asing. Pembagian
hasil minyak yang prinsipnya 85% untuk
Indonesia dan 15% untuk kontraktor asing kenyataannya sampai sekarang 70% untuk
bangsa Indonesia dan 30% untuk perusahaan asing. Ini disebabkan karena pembayaran apa yang
dinamakan cost recoverysampai sekarang tidak habis-habis. Semua
orang mengetahui bahwa biaya eksplorasi
digelembungkan, sehingga cost recovery-nya
tidak habis-habis, walaupun sudah lama tidak ada eksplorasi lagi. Minyak milik
rakyat Indonesia harus dijual kepada rakyat yang memilikinya dengan harga yang
ditentukan oleh New York Mercantile Exchange (NYMEX); tidak oleh para pemimpin
bangsa yang didasarkan atas hikmat
kebijaksanaan, sesuai dengan kepatutan, daya beli
rakyat dan nilai strategisnya dalam membangkitkan sektor-sektor ekonomi
lainnya, seperti yang direncanakan sejak semula oleh para pendiri bangsa kita.
·
Kalaupun mau fanatik mati pada mekanisme
pasar yang dihayatinya bagaikan agama,NYMEX bukan pasar yang
sempurna. Pertama, volume yang diperdagangkan di sana hanya 30% dari volume
minyak dunia, sisanya atas dasar kontrak-kontrak. Kedua, adanya OPEC berarti
harga sangat dipengaruhi oleh kartel yang bernama OPEC ini. Ketiga, NYMEX
memperkeruh kompetisi yang diamanatkan oleh meksnisme pasar, karena ikut-ikutan
dalam menciptakan future trading dalam pembentukan harga
minyak, sehingga harga sangat dipengaruhi oleh
spekulasi dengan posisi pelaku pasar yang kuat yang menang. Mengapa Boediono membela mati-matian harga NYMEX
harus mutlak diberlakukan buat bangsa Indonesia yang ingin menggunakan minyak
miliknya sendiri? Adakah yang menyuruh?Apakah
hal seperti ini termasuk penjajahan dalam benaknya Boediono yang hendak
digugatnya ?
·
Masih dalam kebijakan perminyakan,
sikap Boediono bersama-sama dengan Menteri lainnya sangat tidak dapat
dimengerti, yaitu tentang blok Cepu
dan Exxon Mobil. Tommy
Soeharto mempunyai kontrak dengan Exxon Mobil dalam bentuk Technical
Assistance Agreement (TAC) sampai tahun 2010. Setelah itu menjadi milik
pemerintah. Namun pagi-pagi Exxon Mobil minta perpanjangan sampai tahun 2030
yang bentuknya juga berubah menjadi kontrak bagi hasil. Ketika Pertamina masih
dalam bentuk Persero hak memutuskan terletak pada Dewan Komisaris, tetapi harus
dengan suara bulat. Mensesneg. Bambang
Kesowo tidak setuju atas dasar
pertimbangan yuridis, karena TAC tidak dapat begitu saja diubah menjadi Kontrak
Bagi Hasil. Saya menolak dengan alasan sangat
prinsipiil, yaitu harus dikelola oleh Pertamina sendiri. 3
anggota Dewan Komisaris lainnya setuju diberikan kepada Exxon Mobil, termasuk
Boediono. Perdebatan cukup sengit.
Setelah sudah tidak mempunyai argumentasi apapun juga, akhirnya 3 yang pro
Exxon Mobil terang-terangan mengatakan: ”Indonesia/Pertamina
tidak mampu”. Dalam rapat-rapat yang
bersangkutan, Direktur Utama, Baihaki Hakim menyatakan
sanggup dan sangat mampu mengelola sendiri, mengingat akan pengalamannya 13
tahun sebagai Dirut PT Caltex Indonesia. Boediono
menyatakan tidak mempunyai uang, tetapi Direktur Keuangannya ketika itu, Ainun
mengatakan sudah ada 6 bank yang antri memberi kredit karena deposit minyak di
dalamnya 600 juta barrel. Karena keputusan harus aklamasi, keputusan
ada di tangan Presiden Megawati. Beliau
tidak mengambil keputusan, dan sementara itu saya didatangi dan ditekan oleh
Dubes AS Ralph Boyce dan Direktur Exxon Mobil dari Houston. Saya bersisikukuh
sangat tegas menolak dengan argumentasi dari pihak mereka yang sama sekali
tidak masuk akal. Mereka didampingi oleh Direksi Exxon
Mobil Indonesia yang sangat membela boss-nya orang AS itu. Apakah ini yang dirasakan oleh Boediono penjajahan
dari luar, dengan dukungan dari dalam yang akan digugatnya? Dalam kondisi deadlock tanpa
keputusan, masih dalam era Megawati Baihaki
Hakim dipecat dengan alasan yang sama sekali tidak saya ketahui kecuali
mengatakan : “Pak Baihaku Hakim itu bagus, tetapi ibaratnya untuk sopir
Mercedez Benz. Yang kita butuhkan sopir truk”.
Maka digantilah Baihaki Hakim dengan Widya Purnama. Diapun ternyata keras menentang diserahkannya kepada
Exxon Mobil sampai tahun 2030, sehingga diapun dalam waktu singkat dipecat
lagi. Begitu SBY menjadi Presiden dan Boediono Menko
Perekonomiannya, langsung saja diberikan kepada Exxon Mobil. Mengapa berangapan bangsa Indonesia tidak mampu
mengeksploitasi blok Cepu? Apakah ini yang akan digugat oleh Boediono sebagai
Wapres nantinya ?
·
Negara yang dikaruniai dengan hutan yang
demikian luas dan lebatnya sehingga menjadikannya negara produsen eksportir
kayu terbesar di dunia dihadapkan pada hutan-hutan yang gundul dan dana
reboisasi yang praktis nihil karena dikorup. Walaupun telah gundul, masih saja
terjadi penebangan liar yang diselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar
2 milyar dollar AS.
·
Sumber daya mineral kita
dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab dengan manfaat terbesar jatuh pada
kontraktor asing dan kroni Indonesianya secara individual. Rakyat yang adalah
pemilik dari bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
memperoleh manfaat yang sangat minimal.Inikah yang diartikan oleh Boediono
dengan istilah “penjajahan dari luar dan dari dalam” yang akan digugat
olehnya? Bukankah dia dan senior-seniornya yang
se-ideologi dengannya berperan besar dalam pembentukan kebijakan-kebijakan yang
seperti ini?
·
Ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya
diperkirakan antara 3 sampai 4 milyar dollar AS.
·
Jadi pencurian di lautan Indonesia
sangat marak dengan kerugian negara yang sangat besar mencakup ikan, pasir,
bensin, kayu curian beserta tumbu karang dan flora serta fauna lainnya. Ketika
SBY menjabat sebagai Menko POLKAM dalam kabinet Megawati di Bappenas pernah
diadakan rapat dengan para menteri dan panglima TNI, Kapolri beserta Kepala
Staf tiga angkatan. Topiknya “Keamanan di Laut”. Yang mencuat yalah ditenggelamkannya kapal-kapal
ilegal dengan bom dari udara. Saya sebagai Kepala Bappenas memperoleh tawaran
kredit dari Perancis untuk membiayai sistem pengenal kapal ilegal melalui
transponder dan satelit. Sama sekali tidak ada kelanjutannya.
·
Sangat banyak produk pertanian diimpor.
·
Republik Indonesia yang demikian
besarnya dan sudah hampir 64 tahun merdeka dibuat lima kali bertekuk lutut
harus membebaskan pulau Batam dari pengenaan pajak pertambahan nilai setiap
kali batas waktu untuk diberlakukannya pengenaan PPN sudah mendekat, dan
sekarang telah menjadi Kawasan Bebas Total buat negara-negara lain, tetapi
terutama untuk Singapura, sehingga bersama-sama dengan pulau Bintan dan Karimun
praktis merupakan satelitnya negara lain. Tim Ekonomi menjadikan tidak
datangnya investor asing sebagai ancaman untuk semua sikap yang sedikit saja
mencerminkan pikiran yang mandiri. Dijadikannya pulau-pulau Batam, Bintan dan
Karimun sebagai Free Trade Zone total dengan acamana-ancaman
bahwa kalau tidak, sekian ratus perusahaan akan hengkang dsb. Free Trade Zone
total berarti bahwa antara Batam, Bintan dan Karimun dengan seluruh dunia tidak
ada batasan, tetapi antara tiga pulau tersebut dengan semua wilayah Indonesia
harus dibuat batasan supaya tidak terjadi penyelundupan yang besar-besaran dan
bebas total juga.Saya tidak a priori serta merta menolak,
tetapi dibutuhkan perhitungan tentang untung ruginya yang lengkap dan akurat,
dan ini tidak pernah dipublikasi kalau ada, atau sama sekali tidak pernah
dibuat.
·
Industri-industri yang kita banggakan
hanyalah industri manufaktur yang sifatnya industri tukang jahit dan perakitan yang
bekerja atas upah kerja yang sangat rendah dibandingkan dengan nilai tambah
yang diperoleh majikannya. Oleh John Pilger industri-industri pengolahan itu
disebut sweat shops.
·
Saya beruntung dibolehkan memutar film
tersebut dalam salah satu sidang kabinet. Begitu selesai, Boediono mendatangi
saya sambil mengatakan bahwa yang ditayangkan itu tadi semuanya tidak benar. Sampai saat ini
saya masih tidak mengerti mengapa dia merasa perlu mengatakan demikian tentang
film yang dibuat dengan wawancara langsung dengan para pejabat Bank Dunia
beserta banyak wawancara dengan buruh Indonesia. Saya tidak dapat melepaskan
diri dari perasaan bahwa Boediono selalu harus membela apa saja yang pro Bank
Dunia dan apa saja yang anti trio Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF
harus ditentangnya.
·
Pembangunan dibiayai dengan hutang luar negeri
melalui organisasi yang bernamaIGGI/CGI yang penggunaannya diawasi
oleh lembaga-lembaga internasional. Sejak tahun 1967 setiap tahunnya pemerintah
mengemis hutang dari IGGI/CGI sambil dimintai pertanggung jawaban tentang
bagaimana dirinya mengurus Indonesia? Mulai tahun lalu CGI memang dibubarkan,
tetapi pembubaran itu hanyalah pura-pura. Kenyataannya APBN
kita masih sangat tergantung pada hutang luar negeri dari Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia dan negara-negara anggota CGI terpenting.
·
Hutang dipicu terus tanpa kendali sehingga sudah lama
pemerintah hanya mampu membayar cicilan hutang pokok yang jatuh tempo dengan
hutang baru atau dengan cara gali lubang tutup lubang. Pembayaran untuk cicilan
hutang pokok dan bunganya sudah mencapai 25% atau lebih dari APBN setiap
tahunnya. [tahun 2005]
·
Dalam pemerintahan Megawati 3
jet tempur AS tipe F-18 mengepung 1 F-16 di atas Bawean Jawa Timur tanpa
izin memasuki wilayah RI, yang mengawal kapal perang induk yang juga masuk ke
dalam wilayah RI tanpa izin. Ketika pilot kita memperingatkan, pesawat F-18
mengeluarkan senjatanya. Setelah pilot kita mengatakan tidak mau baku tembak,
dan hanya mau menjelaskan, dijawab singkat oleh pilot AS, bahwa setelah
mendarat dan pada waktunya, dia akan minta izin. Minta izin setelah kejadian. Sungguh pelecehan dan penghinaan
terang-terangan dan luar biasa, karena TNI kita memang hanya mempunyai satu
F-16 yang bisa terbang ketika itu.
·
Dalam pemerintahan SBY-JK, kapal nelayan
Indonesia tidak sengaja tersesat ke dalam wilayah Australia. Seluruh isi kapal dipindahkan ke geladak kapal
perang Australia. Kapal nelayan kita digranat berkali-kalik, dan setiap granat
meledak, orang-orang Australia yang ada di geladak kapal itu bersorak
sorai, dan para nelayan kita menangis.Tragedi
ini berlangsung terus sampai kapal nelayan Indonesia tenggelam. Adegan ini
ditayangkan di TV Indonesia tanpa pemerintahnya berdaya melindungi atau membela
para nelayan kita yang naas dan sangat mengenaskan itu. Sepanjang pengetahuan
saya tidak pernah ada protes juga dari pemerintah kita.
·
Dalam pemerintahan Megawati telah
dirintis membangun industri pertahanan dengan 4 industri
strategis yang sudah kita miliki. Study-nya dilakukan oleh experts
China yang dibiayai oleh pemerintah China sebagai hibah. Mereka bekerja keras
dan sudah praktis selesai dengan studi tahap pertama. Mereka mengatakan
bahwa PT Dirgantara mesin-mesinnya sangat bagus, bisa dipakai
untuk membuat banyak hal. Dengan PT PAL, PINDAD, PT Dirgantara dan Karakatu
Steel, Indonesia sudah bisa mulai membangun industri pertahanan yang
sangat lumayan tanpa investasi lagi. Pemerintah China berjanji tidak akan ada
yang disembunyikan dalam alih teknologi. Alasannya masuk akal, yaitu untuk
membantu Indonesia membangun industri pertahanannya pada tahap paling awal ini memang
tidak ada teknologi canggih yang harus diberikan kepada Indonesia. Lain halnya
kalau kita minta supaya memberikan teknologi luar angkasa. Tentang hal ini
sudah dicek masuk akal atau tidaknya dengan Panglima TNI dan Menko Polkam yang
ketika itu Bapak SBY sendiri. Beliau berminat dan sudah bertemu dengan
President dari Great Wall di Beijing, industri pertahanan China. Begitu
pemerintahan diganti oleh pemerintahan SBY-Kalla, Kepala dari Executing
Agency-nya, Menteri BPPT memanggil saya dan wakil Dubes China, Tan Wei Wen
untuk menjelaskan bagaimana riwayatnya. Setelah mendengarkan ceritera kami,
seorang Deupty muda hanya memberi komentar : “Why China?” Habislah
riwayat perintisan ini, dan sekarang Krakatau Steel mau dijual. Entah apa
nasibnya PT Dirgantara. Yang jelas Indonesia tidak mempunyai industri
pertahanan yang memadai yang sekarang menjadi pembicaraan ramai karena jatuhnya
sekian banyak pesawat udara AU, yang terakhir dengan Hercules dengan korban
jiwa begitu banyak. Jelas bahwa kecuali kekurangan dana, rapuhnya alutsista
kita tidak dapat dilepaskan dari kesengajaan membiarkan diri sendiri dikekang
oleh kekuatan-kekuatan Barat. Negara bangsa Indonesia yang lemah seperti ini
dalam pertahanan merupakan bagian dari apa yang dinamakan leverage untuk
menekan Indonesia. Apakah ini merupakan penjajahan zaman modern yang akan
digugat oleh Boediono?
POKOK-POKOK KEBIJAKAN DALAM MENGHADAPI
KRISIS GLOBAL
Sejak tahun 2008 meledak krisis balon
derivatif keuangan di AS yang demikian besar dan demikian dahsyatnya, sehingga
seluruh dunia sekarang ini sedang mengalami proses yang menyakitkan dan sangat
tidak menentu.
Kondisi ekonomi Indonesia seperti yang
tergambarkan di atas tentu tidak dapat menghadapinya dengan mantab, karena
tidak ada dana. Kecuali itu, rupanya kondisi keuangan negara juga jauh lebih
parah daripada yang diketahui oleh masyarakat.
Maka tindakan-tindakannya hanya sporadis
dan compang-camping. Mari kita telusuri sebagai berikut.
·
Rp. 60 trilyun APBN 2008 tidak dapat
diserap yang berarti kontraktif. Tapi
digembar-gemborkan tahun 2009 akan ada stimulus fiskal Rp. 73,1 trilyun, yang
per saldo hanya Rp. 13,1 trilyun saja atau US$ 1,062 milyar (kurs Rp 12.000 per
dollar AS). Ini hanya 0,19 % saja dari PDB yang Rp. 7.000 trilyun. Katanya akan
bisa dicapai macam macam. Menko Ekonominya Boediono. AS yang jumlah stimuls
fiskalnya hampir 10 % dari PDB-nya, Presiden Obama ngomongnya tidak sesombong
Tim Ekonomi kita. Dengan jumlah stimulus fiskal sebesar US$ 900 milyar,
Presiden Obama hanya berani mengatakan akan menciptakan lapangan kerja sebanyak
3 sampai 4 juta orang dalam 2 sampai 3 tahun ke depan. Pemerintah Indonesia
dengan stimulus fiskal neto sebesar Rp. US$ 1,062 milyar mengatakan akan
menciptakan lapangan kerja sebesar 3 juta orang juga, yang tidak dirinci selama
berapa tahun. Mungkin dalam setahun?
·
Dikatakan cadangan
devisa cukup banyak, tetapi menerbitkan obligasi dalam dollar dengan suku bunga
antara 10 sampai 11 % dalam denominasi dollar AS. Kalau kita menaruh uang kita dalam deposito
rupiah di bank dalam negeri, maksimal hanya mendapat 9 %. Bagaimana mungkin
kebijakan seperti ini diwujudkan? Siapa yang menyuruh? Hati nurani sendiri
ataukah ada kekuatan luar yang disinyalir oleh Boediono dalam pidato
proklamasinya sebagai cawapres?
·
Sekarang Gubernur BI mengatakan rupiah
akan stabil, karena akan mendapat rembesan dollar AS dari uang yang dicetak
secara besar-besaran oleh pemerintah AS. Aneh, mereka selalu menganggap
mencetak uang adalah kebijakannya orang yang tidak waras. Sekarang mengandalkan
pencetakan uang oleh pemerintah AS untuk menstabilkan nilai rupiah. Ketika itu
Gubernur BI-nya Boediono. Di AS sendiri dan di Eropa kebijakan dan tindakan ini
dinilai sangat kontroversial dan menyulut perdebatan yang sedang berlangsung.
·
Dalam waktu dua bulan, nilai rupiah
merosot dari sekitar Rp. 9.000 menjadi Rp. 12.000 atau 33 % yang memang menguat
lagi, entah bertahan sampai kapan. Di tahun 1969 1 dollar = Rp. 378. Thai Bath
ketika itu 20 per US$. Sekarang Thai Bath 36 per US$, tapi rupiah sudah sekitar
Rp. 10.500 per US. Dalam kurun waktu yang sama, Thai Bath terdepresiasi sebesar
80 %, tetapi rupiah terdepresasi sebanyak antara 3.075% sampai 2.678%.
Penurunan ini terjadi selama kendali ekonomi di tangan para senior
si-ideologinya Boediono. Bagaimana menjelaskannya kalau sepanjang periode itu
Tim Ekonomi mendapat pujian terus menerus dari pers Barat ? Bukankah pujian dan
hutang yang disebut “aid” itu disengaja supaya Indonesia terjerumus ke dalam
jebakan hutang? Dan prosesnya mendapat dukungan dari kekuatan dari dalam yang
kesemuanya ingin digugat oleh Boediono?
Inilah secara singkat hasil dari
kebijakan Tim Ekonomi yang kiprahnya selalu didasarkan atas Fundamentalisme
Mekanisme Pasar, dan anti BUMN serta anti Campur Tangan Pemerintah yang
mencukupi.
Apakah ini yang akan digugat oleh
Boediono? Kalau ya, sangat mengagumkan, karena Boediono akan menggugat para
senior se-ideologinya.
PAUL KRUGMAN DAN IMF
Tentang IMF, dalam bukunya terbaru yang
berjudul “The Return of Depression Economics and
the Crisis of 2008” di halaman 115 Paul Krugman menulis
tentang kebijakan IMF menangani krisis di Indonesia tahun 1997 sebagai berikut
:
“Banyak orang berpendapat bahwa
sebenarnya IMF dan Departemen Keuangan Amerika Serikat yang de facto
mendiktekan kebijakan IMF yang menyebabkan krisis, atau paling tidak salah
menanganinya (mishandled) yang membuat krisis semakin parah. (KKG :
Menteri Keuangan AS ketika itu Larry Summers). Apakah mereka benar?
Marilah kita mulai dengan bagian yang
termudah : dua hal yang IMF jelas melakukan kesalahan.
Pertama, ketika IMF diminta bantuannya
oleh Thailand, Korea dan Indonesia, mereka segera mendiktekan kebijakan fiskal
yang ketat, yaitu menaikkan pajak dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk
menghindari defisit anggaran. Sangat sulit dimengerti mengapa IMF melakukan ini
karena di Asia (berbeda dengan di Brasil setahun kemudian), tidak ada
seorangpun kecuali IMF yang menganggap defisit anggaran sebagai masalah yang
penting. Upaya untuk memenuhi target pengetatan anggaran tersebut mempunyai
dampak negatif ganda untuk negara-negara yang bersangkutan; di mana arahan IMF
ini dilaksanakan, dampaknya memperburuk resesi melalui pengurangan permintaan.
Kalau tidak dilaksanakan, karena IMF gembar-gembor, mengakibatkan kepanikan
bahwa perekonomian seolah-olah tidak terkendali. (KKG : Sekarang Larry
Summers, Timothy Geithner dan Bernanke, Gubernur Bank Sentral AS menurunkan
suku bunga sampai mendekati nol persen.)
Kedua, IMF menghendaki reformasi
“struktural”, yaitu perubahan-perubahan dalam bidang-bidang yang tidak ada
hubungannya dengan kebijakan fiskal dan moneter sebagai persyaratan untuk
memperoleh pinjaman dari IMF. Beberapa dari reformasi ini seperti penutupan
bank-bank sangat diragukan relevansinya dalam menanggulangi krisis keuangan.
Kebijakan lainnya, seperti penghapusan pemberian monopoli kepada para
kroni-kroninya sang Presiden tidak ada hubungannya sama sekali dengan mandat
atau kewenangan IMF. Pemberian monopoli dalam perdagangan cengkeh memang hal
yang buruk, contoh yang paling mencolok dari crony capitalism.
Tetapi apa hubungannya ini dengan pelarian rupiah ke dalam dollar?”
Semuanya ini tulisannya Paul Krugman,
bukan tulisan saya. Beranikah Boediono berpolemik dengan Paul Krugman. Kalau
setuju dengan Paul Krugman, bagaimana dia menjelaskan kebijakannya di masa
lampau dan juga kebijakan para senior se-ideologinya dalam periode yang sejak
tahun 1967?
Belum lama ini dalam konperensi tingkat
tinggi Uni Eropa, IMF disuntik dana sebesar US$ 500 milyar oleh Uni Eropa,
tetapi lebih dari US$ 450 milyar akan dipakai oleh Uni Eropa sendiri. Jadi IMF
de facto sudah menjadi lembaga keuangan regional. Apa pendirian dan kebijakan
Wakil Presiden Boediono (kalau terpilih) terhadap IMF dengan kedudukannya
dewasa ini?
“SIHIR” IMF BESERTA KRONINYA TENTANG
HUTANG INDONESIA KEPADA IMF
Bersama-sama dengan para penjajah dari
dalam yang dikenali oleh Boediono, IMF menyihir bangsa Indonesia dengan
mengatakan bahwa Indonesia hebat karena dapat mengembalikan hutangnya yang
menumpuk sampai US$ 9 milyar sebagai hutang yang diberikan sedikit demi sedikt
setiap kali LOI ditandatangani.
“Sihir” ini membuat orang percaya
bahwa Indonesia hebat, padahal justru membayar bunga yang tidak ada gunanya.
Sebelum ada kredit dari IMF, cadangan
devisa Indonesia sudah meningkat menjadi US$ 24 milyar dari US$ 14 milyar.
Hutang dari IMF US$ 9 milyar yang menjadikan keseluruhannya US$ 33 milyar.
Ketika itu sudah ada yang mendesak
supaya hutang yang US$ 9 milyar ini dibayar lunas, karena tidak ada gunanya
sama sekali. Jawabnya : Kalau dibayar lunas, cadangan devisa Indonesia akan
anjlok dari US$ 33 milyar menjadi US$ 24 milyar, dan ini mengguncangkan
kepercayaan dunia kepada Indonesia.
Tidak dikatakan bahwa hutang dari IMF
yang US$ 9 milyar itu tidak boleh dipakai sama sekali sebelum cadangan devisa
miliknya sendiri yang US$ 24 milyar itu terpakai habis sama sekali. Karena itu, hutang dari IMF yang US$ 9 milyar hanya
relevan kalau pemerintah Indonesia bisa mengatakan kepada dunia : “Cadangan
devisa milik kita yang US$ 24 milyar habis sama sekali, tetapi kita harus
bersyukur bahwa saat ini masih mempunyai cadangan devisa US$ 9 milyar dari
IMF.”
Kalau ini yang dikatakan, apakah tidak
lebih memperpuruk kepercayaan kepada Indonesia dibandingkan dengan mengatakan
:”Dengan mengembalikan hutang kita yang US$ 9 milyar sekarang juga, kita masih
mempunyai US$ 24 milyar. Hutang dari IMF yang US$ 9 milyar tidak boleh dipakai
sebelum cadangan devisa milik sendiri yang US$ 24 habis terpakai sama sekali.
Selama dipertahankan, kita harus membayar bunga tanpa boleh menggunakannya.”
Inilah yang oleh Jenderal Ryamizard
Ryacudu dimaksud sebagai penjajahan melalui perang modern, yaitu antara
lain pencucian otak (brainwashing)
untuk menundukkan logikanya bangsa mangsa
dalam posisi jongkok.
Banyak orang mengemukakan keberatannya
menahan hutang yang tidak diperlukan itu dengan alasan bahwa selama kita masih
berhutang, kita dikenakan pemandoran oleh IMF yang dinamakan post
program monitoring. Jawaban pemerintah yang menteri keuangannya ketika itu Boediono adalah bahwa kita memang masih
memerlukan post program monitoring atau pemandoran oleh IMF.
Sisa hutang yang US$ 9 milyar akhirnya
memang dibayar lunas, tetapi sangat terlambat, sehingga kita sudah membayar sangat banyak bunga yang tidak ada gunanya.
ARUS BESAR YANG MENJADIKAN BOEDIONO
CALON WAKIL PRESIDEN
Di harian The Jakarta Post tanggal 25
Mei 2009 diberitakan acara perpisahan Boediono dengan staf pengajar di
Universitas Gajah Mada. Boediono dikutip mengatakan “…his nomination was “a big
stream” he could not resist” yang berarti bahwa pencalonannya adalah arus besar
yang tidak mampu ditolaknya.
Sebagai sesama menteri dalam kabinet
Megawati, dalam sidang kabinet terakhir Boediono berpamitan dengan saya dan
beberapa rekan menteri lainnya, mengatakan : “Ada kemungkinan bahwa beberapa
dari kita akan diminta masuk dalam kabinet lagi. Saya sudah mengambil keputusan
untuk kembali ke kampus dan sudah pasti tidak akan mau menjadi pejabat di
pemerintahan lagi. Maka saya berpamitan”, dan lantas berjabatan tangan.
Konon kabarnya Presiden SBY menelpon
Boediono, Sri Mulyani dan Mari E. Pangestu untuk duduk sebagai menteri-menteri
ekonomi. Boediono menolak. Jadi konsisten dengan “pamitannya”. Namun beberapa
minggu menjelang pengumuman reshuffle kabinet saya mendengar bahwa
Boediono sedang “digarap habis-habisan” untuk mau duduk dalam kabinet sebagai
Menko Perekonomian. Jelas saya tidak percaya bahwa dia takluk. Ternyata benar
berita yang saya kira berita burung itu sebagai penggarapan besar-besaran.
Boediono masuk lagi dalam kabinet sebagai Menko Perekonomian.
Dari berita The Jakarta Post tersebut
menjadi lebih jelas lagi betapa besar arus yang menekannya, sehingga sekarang
dia bahkan mau menjadi Wakil Presiden! Apa gerangan arus besar itu? Hati nurani
dan kecintaannya pada bangsa yang bagian terbesarnya sedang menderita ini,
ataukah arus besar yang datangnya dari elit dalam negeri, ataukah arus besar
yang datangnya dari luar? Hanya Tuhan, Boediono dan SBY yang mengetahuinya.
Harapan saya tentunya Boediono dan SBY jujur dalam menjelaskan kepada
rakyatnya, karena ini urusan sangat penting dengan dampak yang sangat besar
pula pada nasib negara bangsa ini kalau mereka terpilih dalam pilpres bulan
Juli 2009 mendatang.
LAHIRNYA “BERKELEY MAFIA” DAN PERANNYA SAMPAI SEKARANG
Buat saya dan banyak orang lainnya, di
Indonesia memang ada sekelompok ahli ekonomi dengan ideologi dan keyakinan
tertentu yang sangat berkuasa dan sangat besar pengaruhnya. Kelompok ini
terkenal dengan sebutan “Berkeley
Mafia”. Istilah ini sama sekali tidak mengandung pelecehan atau
merendahkan martabatnya. Sebaliknya, yang jelas dalam tulisan ini, istilah ini lahir di Jenewa di tahun 1967 dengan konotasi yang sangat terhormat dan mengagumkan banyak
tokoh dunia Barat, yang oleh David Rockefeller disebut sebagai sekelompok para
akhli ekonomi Indonesia yang top (the
top economists of Indonesia). Ketika kabinet didominasi oleh
mereka, cover majalah Time memuat foto para menteri satu per satu dengan judul
di bawahnya “The
most qualified cabinet in the world”.
Asal mulanya memang terdiri dari mereka yang
memperoleh gelar Ph.D dari University of California in Berekeley. Kelompok ini
merupakan inti yang dalam perjalanan sejarah Indonesia membentuk
“keturunan-keturunannya”. Maka tidak mungkin membatasi diri dengan hanya yang lulus
dari Berkeley University saja. Sebutan “anggota Berkeley Mafia” adalah siapa
saja yang iedologi dan keyakinannya merupakan mashab yang sama, yaitu sangat
jauh condong pada pasar bebas dengan campur tangan pemerintah yang sekecil
mungkin. Maka Boediono yang menurut pengakuannya orang dari kampus ndeso sangat bisa menjadi anggota
Berkeley Mafia. Bahkan di mata sangat banyak orang, di zaman sekarang ini
dialah pemimpinnya.
Para teknokrat hanya
profesional dan tidak berpolitik, atau justru politisi yang sangat piawai dan
ulung ?
Kelompok Berkeley Mafia terkait erat dengan
perguruan tinggi, sehingga memberikan kesan profesional yang tidak berpolitik.
Namun sejarah membuktikan bahwa kecanggihan dan kepiawaiannya mempertahankan
kekuasaan ekonomi dalam pemerintahan siapapun juga sejak tahun 1967 tidak
tertandingi oleh partai politik yang manapun juga.
Maka kalau dikatakan murni profesional yang
tidak berpolitik tidak benar. Saya sendiri mengalami bahwa setelah pak Harto
tidak berkuasa lagi, dalam pembukaan Kongres PDI di Bali yang besar-besaran di
stadion terbuka, Dr. Sri Mulyani beserta banyak akhli ekonomi lainnya hadir.
Ketika saya terheran-heran menanyakan kepada teman, saya mendapat penjelasan
bahwa mereka dibawa oleh Erros Djarot yang diperkenalkan kepada Megawati sebagai calon-calon menteri
di dalam kabinetnya kalau Megawati menjadi Presiden nantinya. Dan benar, ketika
Megawati menjadi Presiden, Menko Perekonomiannya Dorodjatun Kuntjorojakti dan
Menteri Keuangannya Boediono yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
PDI. Sri Mulyani menjadi wakil RI dalam pimpinan IMF di Washington DC.
Dalam sidang CGI yang saya ikut menghadirinya
sebagai Kepala Bappenas, secara setengah berkelakar Menko Dorodjatun antara
lain mengatakan bahwa dirinya tidak dari partai politik. Tetapi dalam zaman
reformasi dan demokrasi ini yang serba partai politik, kalau toh mau dikatakan
anggota partai politik, maka partainya adalah “Partai UI di Depok, dan para pemimpinnya
adalah Prof. Widjojo Nitisastro dan Prof. Ali Wardhana. Maka dirinya merasa
mengetahui perekonomian Indonesia dengan baik dari kedua guru
besar/teknokrat/mantan menteri tersebut”.
Pengototannya berkuasa
ketika tidak ada dalam kabinet
Dalam waktu sangat singkat setelah KH
Abdurrachman Wahid menjadi Presiden RI dan saya diangkat menjadi Menko EKUIN,
dibentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dengan Dr. Emil Salim sebagai Ketua dan
Dr. Sri Mulyani sebagai sekretarisnya. Setelah itu dengan Keputusan Presiden
dibentuk lagi Tim Asistensi pada Menko EKUIN. Ketuanya tidak tanggung-tanggung,
yaitu Prof. Dr. Widjojo Nitisastro sendiri dan sekretarisnya Dr. Sri Mulyani
Indrawati. Mereka mengawal saya dan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo dalam
perundingan penjadwalan kembali hutang luar negeri
di Paris
Club. Tidak pernah ada DEN dan Tim Asistensi pada Menko EKUIN/Perekonomian
sebelum dan sesudahnya. Saya merasakan dengan jelas bahwa kedua Tim ini
dibentuk atau “dipaksakan” pada Gus Dur untuk mengawasi dan mengendalikan saya
yang dianggap mempunyai sikap yang independen, sangat cenderung tidak mau
diatur oleh trio Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF. Kecuali itu tidak
pernah ada pemerintah sebelum dan sesudah Presiden Abdurrachman Wahid yang Tim
Ekonominya bukan dan sama sekali tidak berorientasi pada ideologi kelompok
Berkeley Mafia kecuali Tim Kwik Kian Gie/Bambang
Sudibyo/Jusuf Kalla (Menperindag merangkap
Kepala BULOG).
Semua anggota DEN harus diperbolehkan hadir
dan ikut berbicara dalam semua rapat-rapat para menteri dalam lingkungan
koordinasi Menko EKUIN.
Ketika saya melakukan kunjungan kehormatan
pada Menteri Keuangan AS ketika itu yang dijabat oleh Larry Summers, yang
didampingi oleh Timothy Geithner, saya ditegur dengan keras bagaikan pejabat
negara jajahan tentang kecenderungan saya atau sikap saya yang tidak mau
mengikuti IMF. Saya tercengang karena informasinya tentang apa saja yang dibicarakan dalam kabinet dan dalam rapat koordinasi
oleh saya sebagai Menko EKUIN diketahui semua oleh mereka. Jadi benar yang dikatakan
oleh Boediono bahwa ada penjajah dari dalam, yang dalam pengalaman saya tidak
beroperasi sendiri, tetapi bekerja sama dengan penjajah dari luar. Mari kita
tunggu siapa yang akan digugat olehnya sebagai penjajah dari dalam?
Sebagai Menko EKUIN yang harus berpidato dalam
sidang CGI, kepada saya diberikan naskah pidato oleh staf saya. Saya sama
sekali tidak setuju dengan isinya. Maka kepada staf saya minta diadakan
perubahan-perubahan. Dia mengatakan kepada saya bahwa itu tidak boleh, karena
sudah merupakan tradisi bahwa pidato Menko EKUIN dalam sidang IGGI/CGI harus
dibuat oleh Bank Dunia. Saya bekerja keras menulisnya
sendiri dengan membuang naskah pidato yang sudah disiapkan.
Sejak itu saya mengalami tekanan terus menerus dan
Presiden pernah memberitahukan akan memecat saya, tetapi entah mengapa tidak jadi lagi. Maka menjelang reshuffle kabinet saya mengundurkan
diri sebagai Menko EKUIN dari kabinet Gus Dur.
Kesenjangan luar biasa
antara yang terlihat dan yang tidak terlihat
Terus menerus saya “dikuliahi” sahabat-sahabat
saya yang termasuk golongan kemapanan dengan kehidupan yang sangat enak, bahwa
Indonesia sudah sangat maju, sudah sangat banyak mall, restoran, rumah dan apartemen mewah,
banyak mobil mewah, gedung-gedung apartemen dan perkantoran pencakar langit dan
sebagainya.
Saya melihat dan melewatinya
setiap hari. Yang menjadi pertanyaan, berapa persen dari seluruh rakyat kita
yang menikmati kemakmuran yang dikuliahkan kepada saya?
Saya yakin minimal 180 juta dari 230 juta
rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan yang sangat parah. Ketika saya di
Bappenas, saya membentuk 4 regu yang masuk ke desa-desa kantong-kantong
kemiskinan secara sampling untuk melihat dengan mata kepala sendiri dan berbicara langsung
dengan sesama anak bangsa yang ternyata memang masih sangat terjajah. Gambaran
yang selalu di depan mata saya tidak bisa hilang dengan kehidupan saya di kota
Jakarta yang gemerlapan dengan kemewahan ini.
Gambaran tersebut ialah bahwa bagian terbesar
dari rakyat kita yang memiliki semua kekayaan alam yang ada di negara ini hidup
dalam kemiskinan, kenistaan, kekurangan gizi, kekurangan pendidikan seperti
yang disaksikan oleh saya dan rekan-rekan di Bappenas ketika saya masih
menjabat sebagai Kepala di sana. Dalam kondisi seperti ini saya juga mengalami
betapa saya ditekan oleh trio Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF serta rekan-rekan bangsa sendiri yang menekan saya harus mengikuti
keinginan para pejabat trio lembaga keuangan internasional tersebut. Ketika saya dengan regu
saya melihat dan berbicara dengan mereka, mereka hidup dengan Rp. 1.250 per
orang per hari. Kalaupun karena inflasi sekarang menjadi tiga kali lipat atau
Rp. 3.750 per hari, masih jauh dari US$ 2 per hari buat satu orang, sedangkan
Bank Dunia yang dikagumi oleh kelompok Berkeley Mafia menentukan US$ 2 per
orang per hari sebagai garis kemiskinan. Ini berarti bahwa rakyat yang miskin
dan sangat besar jumlahnya itu hidup dengan 17,85% saja dari garis kemiskinan
yang ditentukan oleh Bank Dunia.
Penutup
Mohon kiranya tulisan ini dilihat juga dari
sisi memberikan amunisi kepada Boediono untuk menggugat penjajahan yang
sekarang masih berlangsung dalam bentuk modern.
Kalau AS bisa berubah total menjadikan
demikian banyak perusahaan swasta menjadi BUMN dan Presiden Obama bisa memecat
CEO-nya paberik mobil swasta, dan Larry Summers bisa mengatakan : “If
circumstances change, I change too”, sambil mengutip John Maynard Keynes yang
pernah mengatakan demikian, mengapa Boediono tidak bisa lantas menjadi
independen, nasionalis dan patriot yang berani menghadapi siapa saja untuk
kepentingan bangsa ?
Mengantisipasi beliau akan berubah seperti
ini, walaupun berharap-harap cemas, saya berharap ada amunisi baginya dari
tulisan ini.
Catatan :
Buku ini ditulis oleh Kwik Kian Gie [Ulasan Biografi dari saya] dan dibagikan gratis dalam
salah satu seminar di Surabaya. Naskah ini saya ambil dari Pandji R. Hadinoto. Sebagian isi buku ini merupakan kompilasi tulisan-tulisan Kwik
Kian Gie di situs koran
internet. Jika Anda ingin membaca beberapa
ulasan yang lebih detil, silahkan membaca artikel-artikel Kwik sebagai berikut
Tentang Mafia Berkeley, berikut ini saya lampirkan tulisan David Ransom.
The BerkeleyMafia and the Indonesian Massacre
By David Ransom
“Indonesia
is the best thing
that’s
happened to Uncle Sam
since World
War .”
–a World Bank official
Indonesia, which in the past fired the imagination of
fortune-hunters and adventurers as the fabled East Indies, was long regarded as
“the richest colonial prize in the world.” Harking back to such times, Richard
Nixon described Indonesia in 1967 as “the greatest prize in the Southeast Asian
area.” Not too many years earlier, however, the prize had been thought all but
lost to the fiery nationalist, Peking-oriented Sukarno and the three
million-strong Indonesia Communist Party waiting in the wings. Then in October
1965 an unsuccessful coup and a swift move by Indonesia’s generals immobilized
the leader and precipitated the largest massacre in modern history, in which
from 500,000 to a million unarmed communists and their peasant sympathizers
were killed. When the bloodletting was over, the immense nationalist spirit of
a decade had vanished, and the Indies’ vast natural treasures were opened by
the new regime to U.S. oil companies and corporations.
To cut the ribbon on the Indonesian side was an extraordinary
team of economic ministers known to insiders as “the Berkeley Mafia.” Sporting
PhDs from the University of California and acting as a closely-knit clique in
the councils of power, these men shaped the post-nationalist policies of the
new regime. Behind their rise to eminence and power lay a saga of international
intellectual intrigue, of philanthropoids and university projects, of student
Generals and political Deans, and a sophisticated imperial design beyond Cecil
Rhodes’s wildest dreams.
Part I
[A Dean is Born]
Following Japan’s defeat in World War II, wars of national
liberation raged in China and Vietnam. Meanwhile, far away in Washington
offices and New York living rooms, Indonesian independence was being sensibly
arranged. By 1949 the Americans had persuaded the Dutch that if they took
action before the Indonesian revolution went the way of China, they could learn
to live with nationalism and like it. And sure enough, in that year the
Indonesians accepted an independence agreement, drafted with the help of
friendly American diplomats. It maintained the severely war-weakened Dutch
economic presence, while swinging wide the Open Door to U.S. cultural and economic
influences as well.
Among those who handled the diplomatic maneuvers in those
years were two young Indonesian aristocrats: Soedjatmoko, called “Koko” by his
American friends, and an economist and diplomat named Sumitro Djojohadikusumo.
Both were members of the upper-class, nominally socialist PSI (Partai Sosialis
Indonesia), one of the smaller and more Western-oriented of Indonesia’s -
myriad political parties.
In New York the two were lionized by a group closely linked
to the notorious Vietnam lobby which shortly there-after launched Ngo Dinh Diem
on his meteoric career in U.S.-Vietnamese politics. The group, which included
Norman Thomas, was composed of members of the Committee for Independence of
Vietnam and the India League. It occupied something of a vanguard position
among socialist anti-communists. “We were concerned that the United States not
be caught flatfooted in the post-war necessity to create non-communist
governments in Asia,” explains League member, Park Avenue attorney and legal
counsel for Indonesia in the U.S.. Robert Delson.
Delson squired Sumitro and “Koko” around town, introducing them to his friends in the Americans for Democratic Action (ADA) and to top anti-communist labor leaders. They also circulated in Establishment circles, particularly among members of the foundation-funded Council on Foreign Relations, the most influential elite policy-formulating group in the United States.
Distressed Indonesia‘s peppery nationalist leader Sukarno and
the strong left wing of the Independence forces, the Americans found that, as
with Diem in Vietnam, the rather bland nationalism of “Koko” and Sumitro
offered a most palatable alternative. In Council on Foreign Relations parlance,
they were interested in “modernizing” Indonesia, not revolutionizing it. At the
Ford-funded School of Advanced International Studies in Washington in early
1949, Sumitro explained that his kind of socialism included “free access” to
Indonesian resources and “sufficient” incentives for foreign corporate
investment.
When independence came later that year, Sumitro returned to
Djakarta to become Minister of Trade and Industry in the coalition government
and then, in two later cabinets, Minister of Finance, As Minister through the
early ’50s, Sumitro defended an economic “stability” that favored Dutch
investments. Carefully eschewing radicalism, he appointed as advisor the German
Hjalmar Schacht, economic architect of the Third Reich.
Sumitro was supported by the PSI and their numerically
stronger “modernist” ally, the Masjumi Party, a vehicle of Indonesia’s
commercial and landowning santri Moslems. But he was clearly swimming
against the tide. The Communist PKI, Sukarno’s PNI, the Army, the orthodox
Moslem NU —everybody, in fact, but the PSI and Masjumi were riding the wave of
post-war nationalism. In the 1955 national elections - Indonesia’s first and last
- the PSI polled a miniscule fifth place. It did worse in the local balloting
of 1957, in which the Communist PKI emerged the strongest party.
Nevertheless, when Sukarno started nationalizing Dutch
holdings in 1957, Sumitro joined Masjumi leaders and dissident Army commanders
in the Outer Islands Rebellion, supported briefly by the CIA. It was
spectacularly unsuccessful. From this failure in Sumatra and the Celebes,
Sumitro fled to an exile career as government and business consultant in
Singapore. The PSI and the Masjumi were banned.
America’s Indonesian allies had colluded with an imperialist
power to overthrow a popularly elected nationalist government, headed by a man
regarded as the George Washington of his country - and they had lost. So
ruinously were they discredited that nothing short of a miracle could ever
restore them to power.
That miracle took a decade to perform, but now Sumitro has
risen once again. He serves as Minister of Trade in a new Indonesian
government. And he is no longer odd man out: today he is regarded as the number
two man in Indonesia, and he and his comrades are firmly in control.
The “modernist” restoration was not imposed by American
troops. The secular arm of American imperium reached into Indonesian politics,
often under the cloak of the CIA. But it was the hallowed private institutions
of academia and philanthropy that worked the greatest wonders. For Sumitro had
not simply been a minority politician and cabinet minister, but since 1951 Dean
of the Faculty of Economics at the University in Djakarta. There he marshalled
the young men with whom he planned to implement his program for Indonesia;
there the Ford Foundation made common cause with him to do so.
[Institution Building]
“One
of Sukarno’s few lasting achievements
was
the creation of a university system
(a
rare instance in which foreign aid
was
put to good use)”
Fortune, June 1, 1968
Ford’s interest in Indonesian education began in the early
’50s, but it was the Rockefeller Foundation that had pioneered the area. Just
before he left the Far East section of the State Department in 1952 to become
the Rockefeller Foundation’s president, Dean Rusk explained the purpose behind
the program. “Communist aggression” required not only that Americans be trained
for work in the Far East, but that “we must open our training facilities for
increasing numbers of our friends from across the Pacific”.
The head of the Ford Foundation, Paul Hoffman, who launched
Ford’s program in educational internationalism, was no stranger to the
Indonesia situation. As head of the Marshall Plan in Europe, he had cut off
Marshall Plan funds, which were vital to the Dutch counter-insurgency effort,
and thus assisted the birth of the first pro-U.S. Indonesian government. The
Dutch themselves had practiced “indirect rule” in the Indies by simply adding
their own administrators to the top of the existing aristocratic-administrative
hierarchy (from which Sumitro’s PSI was derived). As America supplanted the
Dutch, Hoffman’s Ford team laid the basis of a post-independence national
bureaucracy trained to function under the new indirect rule of America - in
Ford’s words, to train a “modernizing elite.”
“You can’t have a modernizing country without a modernizing
elite,” explains the deputy vice president of Ford’s international division,
Frank Sutton. “That’s one of the reasons we’ve given a lot of attention to
university education.” Sutton adds that there’s no better place to find such an
elite than among “those who stand somewhere in social structures where
prestige, leadership, and vested interests matter, as they always do.”
With the services it purchased from America’s top
universities, Ford managed to create a tough, sophisticated infrastructure that
reached into every major power institution of Indonesian society. Students
selected and molded by the Americans, trained in essential disciplines and
skills, became in effect a para-government, representing the old PSI-Masjumi
parties, but in reality far stronger than they.
Ford launched its efforts to make Indonesia a “modernizing
country” in 1954 with field projects out of MIT and Cornell. The scholars
produced by these two projects - one in economics, the other in political
development - have since effectively dominated the field of Indonesian studies in
the United States. Compared to what they eventually produced in Indonesia,
however, this was a fairly modest achievement. Working through the Center for
International Studies (the CIA-sponsored brainchild of Max Millikan and Walt W.
Rostow), Ford put together an MIT team to discover “the causes of economic
stagnation in Indonesia.” An interesting example of the effort was Guy Pauker’s
study of “political obstacles” to economic development, such as armed
insurgency. Domination of natural and cultural resources by foreign
institutions like Ford would be somewhat outside the theoretical frame-work of
Pauker’s Harvard training.
In the course of his field work, Pauker - an urbane and
egocentric man - got to know the high-ranking officers of the Indonesian Army rather
well. He found them “much more impressive” than the politicians. “I was the
first who got interested in the role of the military in economic development,”
Pauper says. He also got to know most of the key civilians: “With the exception
of a very small group,” Pauker says, they were “almost totally oblivious” to
what he called modern development. Not surprisingly, the “very small, group”
was composed of PSI aristocrat-intellectuals, particularly Sumitro and his
students.
Sumitro, in fact, had participated in the MIT team’s
briefings in Cambridge. Some of Sumitro’s students were also known by the MIT
team, having attended a CIA-funded annual seminar run each summer at Harvard by
Henry Kissinger, now President Nixon’s top foreign policy strategist. One of them
was Mohamed Sadli, son of a well-to-do santri trader, with whom
Pauker became good friends. In Djakarta, Pauker had struck up friendships with
members of the PSI clan and had formed a political study group among them,
whose members included the head of Indonesia’s National Planning Bureau, Ali
Budiardjo, and his wife Miriam, “Koko’s” sister.
Rumanian by birth, Pauker had helped found a group called
“Friends of the United States” in Bucharest just after the Second World War. He
then came to Harvard, where he got his degree. While many Indonesians have
charged the professor with having CIA connections, Pauker denies that he was
intimate with the CIA until 1958, after he joined the RAND Corporation. Since
then, it is no secret that he briefs and is briefed by the CIA, the Pentagon
and the State Department. Highly-placed Washington sources say he is “directly
involved in decision-making.”
In 1954 Ford grubstaked a Cornell Modern Indonesia Project
with $224,000. With that money and subsequent Ford funds, program chairman
George Kahin has built the social science wing of the Indonesian studies
establishment in the United States. In Indonesia, Cornell’s elite-oriented
studies are what the universities use to teach post-Independence politics and
history.
Among the several Indonesians brought to Cornell on Ford and
Rockefeller grants, perhaps the most influential is sociologist-politician
Selosoemardjan. Selosoemardjan is right-hand man to the Sultan of Jogjakarta,
one of the strong-men of the present Indonesian regime.
Kahin’s political science group worked closely with Sumitro’s
Faculty of Economics in Djakarta. “Most of the people at the university came
from essentially bourgeois or bureaucratic families,” recalls Kahin. “They knew
precious little of their society.” In a “victory” which speaks poignantly of
the illusions of well-meaning liberals out of their depth, Kahin succeeded in
prodding them to “get their feet dirty” for three months in a village. Many
were to spend four years in the United States.
Together with Widjojo Nitisastro, Sumitro’s leading protege,
Kahin set up an Institute to publish the village studies. It has never amounted
to much, except that its American advisors helped Ford maintain its contact in
the most difficult of the Sukarno days.
Kahin still thinks Cornell’s affair with Ford in Indonesia
“was a fairly happy marriage” - less for the funding than for the political
cover it afforded. “AID funds are relatively easy to get,” he explains. “But
certainly in Indonesia, any-body working on political problems with [U.S.]
government money during this period would have found their problem much more
difficult.”
Kahin, one of the leading academic Vietnam doves, has
irritated the State Department on occasion, and many of his students are far
more radical than he. Yet for most Indonesians, Kahn’s work was really not that
much different from Pauker’s. One man went on to teach-ins, the other to RAND
and the CIA. But the consequences of their nation-building efforts in Indonesia
were much the same.
[Berkeley East]
MIT and Cornell made contacts, collected data, built up
expertise. It was left to Berkeley actually to train most of the key
Indonesians who would seize government power to put their pro-American lessons
into practice. Dean Sumitro’s Faculty of Economics provided a perfect academic
boot camp for these political shock troops.
To oversee the project, Ford President Paul Hoffman tapped
his old friend Michael Harris, a one-time CIO organizer who had headed Marshall
Plan programs under him in France, Sweden and Germany. In the words of one
Berkeley professor and close acquaintance, Harris was “a typical Lovestone kind
of guy - the labor leader who makes a career out of anti-communist activities
working with the government.” Harris had been on a Marshall Plan survey in
Indonesia in 1951, knew Sumitro, and before going out was extensively briefed
by Sumitro’s New York promoter, the Indonesian counsel, Delson. Harris reached
Djakarta in 1955 and set out to build Dean Sumitro a brand new Ford-funded
graduate program in economics.
This time the professional touch and academic respectability
were to be provided by Berkeley. The Berkeley team’s first task was to replace
the Dutch professors whom Sukarno was phasing out and to relieve Sumitro’s
Indonesian junior faculty so that Ford could send them back to Berkeley for
advanced credentials. Already at Berkeley was Sadli, who shared a duplex with
MIT’s Pauker. Pauker had come to head the new Center for South and Southeast
Asian Studies on his way to RAND and the CIA. Sumitro’s protege Widjojo led the
first crew out to Berkeley.
While the Indonesian junior faculty learned American
economics in Berkeley classrooms, the professors from Berkeley set to turning
the Faculty in Djakarta into an American-style school of economics, statistics
and business administration.
Sukarno objected. At an annual lecture to the Faculty, team
member Bruce Glassburner recalls, Sukarno complained that “all those men can
say to me is ‘Schumpeter and Keynes.’ When I was young I read Marx.” Sukarno
might grumble and complain, but if he wanted any education at all he would have
to take what he got. “When Sukarno threatened to put an end to Western
economics,” says John Howard, long-time director of Ford’s International
Training and Research Program, “Ford threatened to cut off all programs, and
that changed Sukarno’s direction.”
The Berkeley staff also joined Sumitro’s proteges in the
effort to prevent the Faculty’s being brought more in line with Sukarno’s
“socialism” and Indonesian national policy. “We got a lot of pressure through
1958-1959 for ‘retooling’ the curriculum,” Glassburner recalls. “We did some
dummying up, you know - we put ’socialism’ into as many course titles as
we could - but really tried to preserve the academic integrity of the place.” A
very academic integrity, indeed.
The project, which continued for six years at a cost of $2.5
million, had a clear, if not always stated, purpose. John Howard explains the
purpose quite simply: “Ford felt it was training the guys who would be leading
the country when Sukarno got out.”
There was little chance, of course, that Sumitro’s miniscule
PSI would outdistance Sukarno at the polls. But “Sumitro felt the PSI group
could have influence far out of proportion to their voting strength by putting
men in key positions in government,” recalls the first project chairman, a
feisty Irish business prof named Len Doyle.
When Sumitro went into exile, his university carried on. His
students visited him surreptitiously on their way to and from the U.S. Powerful
Americans like Harry Goldberg, a lieutenant of labor boss and CIA-coordinator
Jay Love-stone, kept in close contact and saw that Sumitro’s messages got
through to his Indonesian friends. No dean was appointed to replace him; he was
the “chairman in absentia.”
All of the unacademic intrigue caused hardly a ripple of
disquiet among the scrupulous professors. A notable exception was the
essentially conservative business professor, Doyle. “I feel that much of the
trouble that I had probably stemmed from the fact that I was not as convinced
of Sumitro’s position as the Ford Foundation representative was, and, in
retrospect, probably the CIA,” recalls Doyle.
Harris tried to get Doyle to hire “two or three Americans who
were close to Sumitro.” One was Sumitro’s friend from the MIT team, William
Hollinger. Doyle refused. “It was clear that Sumitro was going to continue to
run the Faculty from Singapore.” But it was a game Doyle didn’t want to play.
“I felt,” Doyle explains, “that the University should not be involved in what
essentially was becoming a rebellion against the government - whatever sympathy
you might have with the rebel cause and the rebel objectives.”
Back home, Doyle’s lonely defense of academic integrity
against the political pressures exerted through Ford was not appreciated. Sent
there for two years, Berkeley recalled him after one. “He tried to run things,”
University officials say politely. “We had no choice but to ship him home.” In
fact, Harris had him bounced. “In my judgment,” Harris recalls, “there was a
real problem between Doyle and the Faculty.”
Ralph Anspach, a Berkeley team member now teaching at San
Francisco State. got so fed up with what he saw in Djakarta that he will no
longer work in applied economics. “I had the feeling that in the last analysis
I was supposed to be a part of this American policy of empire,” he says,
“bringing in American science, and attitudes, and culture . . . winning over
countries - doing this with an awful lot of cocktails and high pay. I just got
out of the whole thing.”
Doyle and Anspach were the exceptions. Most of the academic
professionals found the project - as Ford meant it to be - the beginning of a
career. “This was a tremendous break for me,” explains Glassburner. “Those
three years over there gave me an opportunity to become a certain kind of
economist. I had a category - I became a development economist - and I got to
know Indonesia. This made a tremendous difference in my career.”
Berkeley phased its people out of Djakarta in 1961-62,
The running battle between the Ford representative and the Berkeley chairman as
to who would run the project had some part in hastening its end. More
important, the professors were no longer necessary; in fact, they were probably
an increasing political liability. Sumitro’s first string had re-turned with
their degrees and resumed control of the school.
The Berkeley team had done its job, “kept the thing alive,”
Glassburner recalls proudly. “We plugged a hole .. . and with the Ford
Foundation’s money we trained them 40 or so economists.” What did the
University get out of it? “Well, some overhead money, you know.” And the
satisfaction of a job well done.
Part 2
[School for Soldiers]
“The
marvel is that the modernists have had
so
much of a chance to steer events.
They
got in because this military regime,
unlike
some others in the world, chose
to
make an alliance with the intellectual
and
academic community”
Fortune, June 1, 1968
In 1959 Pauker set out the lessons of the PSI‘s electoral
isolation and Sumitro’s abortive Outer Islands Rebellion in a widely-read paper
entitled “Southeast Asia as a Trouble Area in the Next Decade.” Parties like
the PSI were “unfit for vigorous competition” with communism, he wrote.
“Communism is bound to win in South-east Asia . . . unless effective
countervailing power is found.” The “best equipped” countervailing forces, he
wrote, were “members of the national officer corps as individuals and the
national armies as organizational structures.”
From his exile in Singapore, Sumitro concurred, arguing that
his PSI and Masjumi parties, which the Army had attacked, were really the
Army’s “natural allies.” Without them, the Army would find itself politically
isolated, he said. But to consummate their alliance “the Sukarno regime must be
toppled first.”
Until then, Sumitro warned, the generals should keep “a close
and continuous watch” on the growing and powerful Communist peasant
organizations. Meanwhile, Sumitro’s Ford-scholar proteges in Djakarta began the
necessary steps towards a rapprochement.
Fortunately for Ford and its image, the Army had a school:
SESKOAD (Army Staff and Command School). Situated 70 miles southeast of
Djakarta in cosmopolitan Bandung, SESKOAD was the Indonesian Army nerve center.
There, generals decided organizational and political matters; there, senior
officers on regular rotation were “upgraded” with manuals and methods picked up
at the U.S. command school back in Fort Leavenworth. Kansas.
When the Berkeley team phased itself out in 1962, Sadli,
Widjojo and others from the Faculty began regular trips to Bandung to teach at
SESKOAD. Ford’s Frank Miller - who replaced Harris in Djakarta and who, like
Harris, had worked under Ford President Hoffman in Germany - says that they
taught “economic aspects of defense”
Pauker tells a different story. Since the mid-50s, he had
come to know the Army General Staff rather well, first on the MIT team, then on
trips for RAND. One good friend was Colonel Suwarto (not to be confused with
General Suharto) . the deputy commander of SESKOAD and a 1959 Fort Leavenworth
graduate. In 1962, Pauker brought him to RAND.
Besides learning “all sorts of things about international
affairs” while at RAND, Suwarto also saw how RAND “organizes the academic
resources of the country as consultants,” Pauker says. According to Pauker,
Suwarto had “a new idea” when he returned to Bandung. `”The four or five top
economists became ‘cleared’ social scientists lecturing and studying the future
political problems of Indonesia in SESKOAD.”
In effect, this group became the Army’s high-level civilian
advisors. They were joined at SESKOAD by other PSI and Masjumi alumni of the
university programs - Miriam Budiardjo from Pauker’s MIT study group, and
Selosoemardjan from Kahin’s program at Cornell, as well as senior faculty from
the nearby Bandung Institute of Technology, where the University of Kentucky
had been “institution-building” for AID since 1957.
The economists were quickly caught up in the generals’
anti-communist conspiracy. Lieutenant General Achmad Yani, Army
commander-in-chief, had drawn around him a “brain trust” of generals. It was an
“open secret,” says Pauker, that Yani and his brain trust were discussing
“contingency plans” which were to “prevent chaos should Sukarno die suddenly.”
The contribution of Suwarto’s mini-RAND, according to Colonel Willis G. Ethel,
U.S. defense attaché in Djakarta at the time, was that the professors “would
run a course in this contingency planning.” Col. Ethel was a close confidant of
Commander-in-Chief Yani and others of the Army high command. He even introduced
them to golf.
Of course, it wasn’t “chaos” the Army planners were worried
about, but the PKI. “They weren’t about to let the Communists take over the
country,” Col. Ethel says. Moreover, any but the most dense officer or advisor
knew that since there was immense popular support for Sukarno and the PKI, a
lot of blood would flow when the show-down came.
Other institutions joined the Ford economists in preparing
the military. High-ranking Indonesian officers had begun U.S. training programs
in the mid-’50s. By 1965 some 4000 officers had been taught big-scale army
command at Fort Leavenworth and counter-insurgency at Fort Bragg. Beginning in
1962, hundreds of visiting officers at Harvard and Syracuse were provided with
the skills for maintaining a huge economic, as well as military, establishment,
with training in everything from business administration and personnel
management to air photography and shipping. AID’s “Public Safety Program” in
the Philippines and Malaya trained and equipped the Mobile Brigades of the
Indonesian military’s fourth arm, the police.
While the army developed expertise and perspective (courtesy
of the generous American aid program), it also increased its political and
economic influence. Under the martial law declared by Sukarno at the time of
the Outer Islands Rebellion, the Army had become the predominant power in
Indonesia. Regional commanders took over provincial governments - depriving the
Communist PKI of its plurality victories in the 1957 local elections. Fearful
of a PKI sweep in the planned 1959 national elections, the generals prevailed
on Sukarno to cancel them for six years. Then they moved quickly into the upper
reaches of Sukarno’s new “guided democracy,” increasing the number of
ministries under their control right up to the time of the coup. Puzzled by the
Army’s reluctance to take complete power, journalists called it a “creeping
coup d’état.” General Nasution termed it the “Middle Way.”
The Army also moved into the economy, first taking
“supervisory control,” then key directorships of the Dutch properties that the
PKI unionists had seized “for the people” during the confrontation over West
Irian in late 1957. As a result, the generals controlled plantations, small
industry, state-owned oil and tin, and the state-run export-import companies,
which by 1965 monopolized government purchasing and had branched out into sugar
milling, shipping and distribution.
Those high-ranking officers not born into the Indonesian
aristocracy quickly married in, and in the countryside they firmed up alliances
- often through family ties - with the santri Moslem landowners who
were the backbone of the Masjumi Party. “The Army and the civil police,” wrote
Robert Shaplen of the New York Times, “virtually controlled the whole
state apparatus.” American University’s Willard Hanna called it “a new form of
government-military-private enterprise.”
The economists’ “economic aspects of defense” thus became a
wide-ranging subject. To make it even broader, the professors undertook
preparing post-Sukarno economic policy at SESKOAD, too.
Deprived of their victory at the polls and unwilling to break
with Sukarno, the Communist PKI tried to make a poor best of this “guided
democracy,” participating with the Army in coalition cabinets. Pauker has
described the PKI strategy as “attempting to keep the parliamentary road
open,” while seeking to come to power by “acclamation.” That meant
building up PKI prestige as “the only solid, purposeful, disciplined, well-organized,
capable political force in the country,” to which Indonesians would turn “when
all other possible solutions have failed.”
By 1963, three million Indonesians, most of them in heavily
populated Java, were members of the PKI, and an estimated 17 million were
members of its associated organizations in 1963 - making it the world’s largest
Communist Party outside Russia and China. At Independence the party had
numbered only 8000.
In December 1963, PKI Chairman D. N. Aidit gave official
sanction to “unilateral action” which had been under-taken by the peasants to
put into effect a land reform and crop-sharing law already on the books. Though
landlords’ holdings were not large, less than half of the Indonesian farmers
owned the land they worked, and of these, the majority had less than an acre.
As the peasants’ “unilateral action” gathered momentum, Sukarno, seeing his
coalition endangered, tried to check its force by establishing land reform
courts which included peasant representatives. But in the countryside, police
continued to clash with peasants and made mass arrests. In some
areas, saritri youth groups began murderous attacks on peasants.
Since the Army held state power in most areas, the peasants’
“unilateral action” was directed against its authority. Pauker calls it “class
struggle in the countryside” and suggests that the PKI had put itself “on a
collision course with the Army.” But unlike Mao’s Communists in
pre-revolutionary China, the PKI had no Red Army. Having chosen the
parliamentary road, the PKI was stuck with it. In early 1965, PKI leaders
demanded that the Sukarno government (in which they were cabinet ministers)
create a people’s militia - five million armed workers, ten million armed
peasants. But Sukarno’s power was hollow. The Army had become a state within a
state. It was they - and not Sukarno or the PKI - who held the guns.
The test of strength came in September 1965. On the night of
the 30th, troops under the command of dissident lower-level Army officers, in
alliance with officers of the small Indonesian Air Force, assassinated General
Yani and five members of his SESKOAD “brain trust.” Led by Lt. Colonel Untung,
the rebels seized the Djakarta radio station and next morning broadcast that
their September 30th Movement was directed against the “Council of Generals,”
which they declared was CIA-sponsored and had itself planned a coup d’etat for
Armed Forces Day, four days later.
Untung’s preventive coup quickly collapsed. Though he did not
denounce it, Sukarno, hoping to restore the pre-coup balance of forces, gave it
no support; on the other hand, the PKI had prepared no street demonstrations,
no strikes, no coordinated uprisings in the countryside. For their part, the
dissidents missed assassinating General Nasution and apparently left General
Suharto off their list; Suharto rallied the elite para-commandos and units of
the West Java division, the Siliwangi. against Untung’s colonels. Untung’s
troops, unsure of themselves. their mission and their loyalties, made no stand
as Suharto drove them from their strong points. It was all over in a day.
The Army high command quickly blamed the Communists for the
coup. a line the Western press has followed ever since. Yet the utter lack of
activity in the streets and the countryside makes PKI involvement unlikely, and
many Indonesia specialists believe, with Dutch scholar W. F. Wertheim, that
“the Untung coup was what its leader . . . claimed it to be - an internal army
affair reflecting serious tensions between officers of the Central Java
Diponegoro Division. and the Supreme Command of the Army in Djakarta .
. ”
Leftists, on the other hand, assumed after the ensuing
massacres and Sukarno’s overthrow that the CIA had a heavy hand in the affair.
Indeed, embassy officials had long wined and dined the studentapparatchiks who
rose to lead the demonstrations that brought Sukarno down. And old Indonesia
hands casually mention the CIA’s connections with the Army, especially with
Intelligence Chief Achmed Sukendro, who retrained his agents after 1958 with
U.S. help and then studied at the University of Pittsburgh in the early ’60s.
But Sukendro and most other members of the Indonesian high command were equally
close to the embassy’s military attachés, who seem to have made Washing-ton’s
chief contacts with the Army both before and after the attempted coup. And
considering the make-up and history of the generals and their “modernist”
allies and ad-visors, it is clear that at this point neither the CIA nor the
Pentagon needed to play any more than a subordinate role.
The professors may have helped lay out the Army’s
“contingency” plans, but no one was going to ask them to take to the streets
and make the generals “revolution.” Fortunately, they could leave that to
their students. Lacking a mass organization, the Army depended on the students
to give authenticity and “popular’ leadership in the events that followed. It
was the students who demanded - and got - Sukarno’s head; and it was the
students - as propagandists - who carried the cry of jihad(religious war)
to the villages.
In late October, Brigadier General Sjarif Thajeb - the
Harvard-trained Minister of Higher Education - brought student leaders together
in his living room to create the Indonesian Student Action Command (KAMI). Many
of the KAMI leaders were the older student apparatchiks who had been
courted by the U.S. embassy. Some had traveled to the U.S. as American Field
Service exchange students, or on year-long jaunts in a “Foreign Student
Leadership Project” sponsored by the U.S. National Student Association in its
CIA-fed salad years.
Only months before the coup, U.S. Ambassador Marshall Green
had arrived in Djakarta, bringing with him the reputation of having
masterminded the student overthrow of Syngman Rhee in Korea and sparking rumors
that his purpose in Djakarta was to do the same there. Manuals on student
organizing in both Korean and English were supplied by the embassy to KAMI’s
top leadership soon after the coup.
But KAMI’s most militant leadership came from Bandung, where
the University of Kentucky had mounted a ten-year “institution-building”
program at the Bandung Institute of Technology, sending nearly 500 of their
students to the U.S. for training. Students in all of Indonesia’s elite
universities had been given paramilitary training by the Army in a program for
a time advised by an ROTC colonel on leave from Berkeley. Their training was
“in anticipation of a Communist attempt to seize the government,” writes Harsja
Bachtiar, an Indonesian sociologist (alumnus of Cornell and Harvard).
In Bandung, headquarters of the
aristocratic Siliwangi division, student paramilitary training was
beefed up in the months preceding the coup, and santri student
leaders were boasting to their Kentucky friends that they were developing organizational
contacts with extremist Moslem youth groups in the villages. It was these
groups that spearheaded the massacres of PKI followers and peasants.
At the funeral of General Nasution’s daughter, mistakenly
slain in the Untung coup, Navy chief Eddy Martadinata told santri student
leaders to “sweep.” The message was “that they could go out and clean up the
Communists without any hindrance from the military,” wrote Christian
Science MonitorAsian correspondent John Hughes. “With relish they called
out their followers, stuck their knives and pistols in their waistbands, swung
their clubs over their shoulders, and embarked on the assignment for which they
had long been hoping.” For starters, they burnt the PKI headquarters. Thousands
of PKI and Sukarno supporters were arrested and imprisoned in Djakarta; cabinet
members and parliamentarians were permanently “suspended”; and a purge of the
ministries was begun.
On October 17, Col. Sarwo Edhy took his elite paratroops
(known as the “red berets”) into the PKI’s Central Java stronghold in the
Bojolali-Klaten-Solo triangle. His assignment, Hughes says, was “the
extermination, by whatever means might be necessary, of the core of the
Communist Party there.” He found he had too few troops. “We decided to
encourage the anti-communist civilians to help with the job,” he told Monitor
correspondent Hughes. “In Solo we gathered together the youth, the nationalist
groups, the religious [Moslem] organizations. We gave them two or three days
training, then sent them out to kill Communists.”
The Bandung engineering students, who had learned from the
Kentucky team how to build and operate radio transmitters, were tapped by Col.
Edhy’s elite corps to set up a multitude of small broadcasting units throughout
strongly-PKI East and Central Java, some of which exhorted local fanatics to
rise up against the Communists in jihad. Providing necessary spare
parts for these radios was one of the ways the U.S. embassy found of helping
the generals anti-communist pogrom that followed.
Time magazine described the slaughter in Java in
mid-December 1965: “Communists, Red sympathizers and their families are being
massacred by the thousands. Backlands army units are reported to have executed
thousands of Communists after interrogation in remote jails. . . . Armed with
wide-blade knives called parangs, Moslem bands crept at night into
the homes of Communists, killing entire families and burying the bodies in
shallow graves. . . . The murder campaign became so brazen in parts of rural
East Java, that Moslem bands placed the heads of victims on poles and paraded
them through villages. The killings have been on such a scale that the disposal
of the corpses has created a serious sanitation problem in East Java and
Northern Sumatra, where the humid air bears the reek of decaying flesh.
Travelers from these areas tell of small rivers and streams that have been
literally clogged with bodies; river transportation has at places been
seriously impeded.”
Graduate students from Bandung and Djakarta were dragooned by
the Army to research the number dead. Their report, never made public, but
leaked by correspondent Frank Palmos - something of an insider - estimated a
million victims. “In the PKI `triangle stronghold’ of Bojolali, Klaten, and
Solo,” Palmos said they reported, “nearly one third of the population is dead
or missing.” Most observers think their estimate high, positing a death toll of
3-500,000.
The KAMI students’ most important task was bringing life in
Djakarta to a standstill with anti-Communist, anti-Sukarno demonstrations
whenever necessary. By January, with Col. Edhy back in Djakarta addressing KAMI
rallies, his elite corps providing KAMI with trucks, loudspeakers and
protection, KAMI demonstrators could tie up the city at will.
“The ideas that Communism was public enemy number one, that
Communist China was no longer a close friend but a menace to the security of
the state, and that there was corruption and inefficiency in the upper levels
of the national government were introduced on the streets of Djakarta,” says
Bachtiar, whose scholarly output includes re-cording these activities.
The old PSI and Masjumi leaders nurtured by Ford and its
professors were home at last. They gave the students advice and money, while
the PSI-oriented professors maintained “close advisory relationships” with the
students, later forming their own Indonesian Scholars Action Command (KASI).
One of the economists, Emil Salim, recently returned with a Berkeley PhD, was
counted among the KAMI leadership. Salim’s father had purged the Communist wing
of the major pre-war nationalist organization, and then served in the
pre-Independence Masjumi cabinets.
In January the economists made Djakarta headlines with a
week-long Economic and Financial Seminar at the Faculty. “Principally . . . a
demonstration of solidarity among the members of KAMI, the anti-Communist
intellectuals, and the leadership of the Army,” Bachtiar says, the seminar
heard papers from Gen. Nasution, Adam Malik and others who “presented
themselves as a counter-elite challenging the competence and legitimacy of the
elite led by President Sukarno.”
It was Djakarta’s post-coup introduction to Ford’s economic
policies.
In March Suharto stripped Sukarno of formal power and had
himself named Acting President, tapping old political warhorse Adam Malik and
the Sultan of Jogjakarta to join him in a ruling triumvirate. The generals whom
the economists had known best as SESKOAD - Yani and his brain trust - had all
been killed. But with the help of Kahin’s protegé, Selosoemardjan, they first caught
the Sultan’s and then Suharto’s ear, persuading them that the Americans would
demand a strong attack on inflation and a swift return to a “market economy.”
On April 12, the Sultan issued a major policy statement out-lining the economic
program of the new regime - in effect announcing Indonesia’s return to the
imperialist fold. It was written by Widjojo and Sadli.
In working out the subsequent details of the Sultan’s
program, the economists got aid from the expected source. When Widjojo got
stuck in drawing up a stabilization plan, AID brought in Harvard economist Dave
Cole, fresh from writing South Korea’s banking regulations, to provide him with
a draft. Sadli, too, required some post-doctoral tutoring. According to an
American official, Sadli “really didn’t know how to write an investment law. He
had to have a lot of help from the embassy.” It was a team effort. “We were all
working together at the time - the ‘economists,’ the American economists, AID,”
remembers Calvin Cowles, the first AID man on the scene.
By early September the economists had their plans drafted and
the generals convinced of their usefulness. After a series of crash seminars at
SESKOAD, Suharto named the Faculty’s five top men (the “Berkeley Mafia”) his
Team of Experts for Economic and Financial Affairs, an idea Ford man Frank
Miller claims as his own.
Armed with Sadli’s January 10, 1967, investment law, the
economists could put on their old school ties and play host to the lords of the
great American corporations. In August the Stanford Research Institute - a
spin-off of the university-military-industrial complex - brought 170 “senior
executives” to Djakarta for a three-day parley and look-see. “The Indonesians
have cut out the cancer that was destroying their economy,” an SRI executive
later reported approvingly. Then, urging that big business invest heavily in
Suharto’s future, he warned that “military solutions are infinitely more
costly.”
In November, Malik, Sadli, Salim, Selosoemardjan and the
Sultan met in Geneva with a select list of American and European businessmen
flown in by Time-Life. Surrounded by his economic advisors, the Sultan ticked
off the selling-points of the New Indonesia - “political stability … abundance
of cheap labor . . . vast potential market .. . treasure house of resources.”
The universities, he added, have produced a “large number of trained
individuals who will be happy to serve in new economic enterprises.”
David Rockefeller, chairman of the Chase Manhattan Bank,
thanked Time-Life for the chance to get acquainted with “Indonesia’s top
economic team.” He was impressed, he said, by their “high quality of
education.”
Part III
[Harvard:
Bringing it all back home]
“We couldn’t have drawn up a more
ideal scenario than what happened.
All of those people simply moved
into the government and took over the
management of economic affairs, and
then they asked us to continue working
with them”
– Gus Papanek, Chief of the Harvard Development
Advisory Service
To some extent, we are witnessing the return of the pragmatic
outlook which was characteristic of the PSI-Masjumi coalition of the early
Fifties when Sumitro … dominated the scene,” observed a well-placed insider in
1966. That same year, Sumitro slipped quietly into Djakarta, opened a business
consultancy and prepared himself for high office. The prospect was not long in
coming. Having received its bona fides from the lords of international finance,
the Indonesian generals’ regime was ready to name its “Development
Cabinet.” In June 1968 Suharto organized an impromptu reunion for the
class of Ford, known in Djakarta as the “Berkeley Mafia.” As Minister of Trade
and Commerce he appointed Dean Sumitro (PhD, Rotterdam); as Chairman of the
National Planning Board he appointed Widjojo (PhD, Berkeley, 1961) ; as Vice
Chairman, Emil Salim (PhD. Berkeley, 1964); as Secretary General of Marketing
and Trade Research, Subroto (Harvard, 1964); as Minister of Finance,
Ali Wardhana (PhD, Berkeley, 1962) ; as Chairman of the Technical
Team of Foreign Investment, Mohamed Sadli (MS, MIT. 1956); as
Secretary General of Industry, Barli Halim (MBA, Berkeley, 1959). “Koko”
Soedjatmoko, who had been functioning as Malik‘s advisor, became ambassador in
Washington.
“We consider that we were training ourselves for this,” Sadli
told a reporter from Fortune - “a historic opportunity to fix
the course of events.” To make the most of the opportunity, Ford provided the
Indonesians with a post-graduation present - a development team from Harvard.
Since 1954, Harvard‘s Development Advisory Service (DAS), the
Ford-funded elite corps of international modernizers, had brought Ford
influence to the national planning agencies of Pakistan, Greece, Argentina,
Liberia, Colombia, Malaysia and Ghana. Officially the Harvard-DAS Indonesia
project began July 1, 1968. but DAS head Gus Papanek had people in the field
well before that, joining with AID’s Cal Cowles in bringing back the old
Indonesia hands of the ’50s and ’60s. Dave Cole returned to work with Widjojo
on the Ford/Harvard payroll. Leon Mears, the agricultural economist who had
learned Indonesian rice-marketing in the Berkeley project, came for AID and
stayed on for Harvard. Sumitro’s old buddy from MIT, Bill Hollinger,
transferred from the DAS-Liberia project and now shares Sumitro’s office in the
Ministry of Trade.
The Harvard people are “advisors,” explains DAS Deputy
Director Lester Gordon - “foreign advisors who don’t have to deal with all the
paperwork and have time to come up with new ideas.” They work “as employees of
the government would,” he says, “but in such a way that it doesn’t get out that
the foreigners are doing it.” Indiscretions got them bounced from Pakistan. “We
stay in the background.”
They stayed in the background for the five-year plan. In the
winter of 1967-68, a good harvest and a critical infusion of U.S. “Food
for Peace” rice had kept prices down, cooling the political situation for a
time. Hollinger, the DAS’s first full-time man on the scene, arrived in March
and helped the economists lay out the plan’s strategy. As the other DAS
technocrats arrived, they went to work on its planks. “Did we cause it, did the
Ford Foundation cause it, did the Indonesians cause it?” asks AID’s Cal Cowles
rhetorically. “I don’t know.”
The plan went into force without fanfare in January 1969. With
its key elements being foreign investments and agricultural self-sufficiency,
it is a late-20th Century American “development” plan that sounds suspiciously
like the mid-19th century Dutch colonial strategy. Then, Indonesian labor -
often corvee - substituted for Dutch capital in building the roads
and digging the irrigation ditches necessary to create a plantation economy for
Dutch capitalists, while a “modern” agricultural technology increased the
output of Javanese paddies to keep pace with the expanding population. The plan
brought an industrial renaissance to the Netherlands, but only an expanding
misery to Indonesia.
As in the Dutch strategy, the Ford scholars’ five-year plan
introduces a “modern” agricultural technology - the so-called “green revolution”
of high-yield hybrid rice - to keep pace with Indonesian rural population
growth and to avoid “explosive” change in Indonesian social - i.e., class -
relationships.
Probably it will do neither, though AID is currently
supporting a project at Berkeley’s Center for South and Southeast Asian Studies
to give it the old college try. Negotiated with Harsja Bachtiar, the
Harvard-trained sociologist now heading the Faculty’s Ford-funded research
institute, the project is to train Indonesian sociologists to “modernize”
relations between the peasantry and the Army’s state power.
The agricultural plan is being implemented by the central
government’s agricultural extension service, whose top men were trained by a
University of Kentucky program at the Bogor Agricultural Institute. In effect,
the agricultural agents have been given a monopoly in the sale of seed and the
buying of rice, which puts them in a natural alliance with the local military
commanders - who often control the rice transport business - and the local santri landlords
whose higher returns are being used to quickly expand their holdings. The
peasants find themselves on the short end of the stick, but if they raise a
ruckus they are sabotaging a national program and must be PKI agents, and the
soldiers are called in.
The Indonesian ruling class, observes Dutch scholar Wertheim,
is now “openly waging [its] own brand of class struggle.” It is a struggle the
Harvard technocrats must “modernize”. Economically the issue is
Indonesia’s widespread unemployment; politically it is Suharto’s need to
legitimize his power through elections. “The government … will have to do
better than just avoiding chaos if Suharto is going to be popularly elected,”
Papanek reported in October 1968: “A really widespread public works program,
financed by increased imports of PL480 ["Food for Peace”] commodities sold
at lower prices, could provide quick economic and political benefits in the
countryside.
Harvard is pushing its Indonesian New Deal with a “rural
development” program that will further strengthen the hand of the local
Army commanders. Supplying funds meant for labor-intensive public works, the
program is supposed to increase local autonomy by working through local
authorities. The money will merely line military pockets. DAS Director Papanek
admits that the program is “civilian only in a very broad sense. because many
of the local administrators are military people” And the military has two
very large, and rather cheap, labor forces which are already at work in “rural
development”
One is the 300,000-man Army itself. The other is composed of
the 120,000 political prisoners still being held after the Army’s 1965-1966
anti-Communist sweeps. Some observers estimate there are twice as many
prisoners, most of whom the Army admits were not PKI members, though they fear
they may have become Communists in the concentration camps.
Despite the abundance of “Food for Peace” rice for other
purposes, there is none for the prisoners, for whom the government’s daily food
expenditure is slightly more than a penny. At least two journalists have
reported on Sumatran prisoners quartered in the middle of a Goodyear rubber
plantation where they had worked before the massacres as members of a PKI
union. Now, the correspondents report, they daily work its trees for the
substandard wages paid to their guards.
In Java the Army uses the prisoners in public works.
Australian professor Herbert Feith was shown around one Javanese town in 1968
where prisoners had built the prosecutor’s house. the high school, the mosque,
and (in process) the Catholic church. “It is not really hard to get work out of
them if you push them,” he was told.
Just as they are afraid and unwilling to free the prisoners,
so the generals are afraid to demobilize the troops. “You can’t add to the
unemployment,” explained an Indonesia desk man at the State Department.
“especially with people who know how to shoot a gun.” Consequently, the troops
are being worked more and more into the infrastructure labor force - to which
the Pentagon is providing roadbuilding equipment and advisors.
But is it the foreign investment plank of the five-year plan
that is the pay-off of Ford’s 20-year-long strategy in Indonesia and the pot of
gold that the Ford modernizers - both American and Indonesian - are paid to
protect. The 19th century Colonial Dutch strategy built an agricultural export
economy. But the Americans are interested primarily in resources, mainly
mineral.
Freeport Sulphur will mine copper on West Irian.
Inter-national Nickel has got the Celebes’ nickel. Alcoa is negotiating for
most of Indonesia’s bauxite. Weyerhaeuser. Inter-national Paper. Boise Cascade
and Japanese. Korean and Filipino lumber companies will cut down the huge
tropical forests of Sumatra, West Irian and Kalimantan (Borneo). A
U.S.-European consortium of mining giants, headed by U.S. Steel, will mine West
Irian’s nickel, Two others, U.S.-British and U.S.-Australian. will mine tin. A
fourth. U.S.-New Zealander, is contemplating Indonesian caoline. The Japanese
will take home the archipelago’s shrimp and tuna and dive for her pearls.
Another unmined resource is Indonesia’s 120 million
inhabitants - half of the people in Southeast Asia. ”Indonesia today,” boasts a
California electronics manufacturer now operating his assembly lines in
Djakarta, “has the world’s largest untapped pool of capable assembly labor at a
modest cost”. The cost is ten cents a day.
But the real prize is oil. During one week in 1969, 23
companies, 19 of them American, bid for the right to explore and bring to
market the oil beneath the Java Sea and Indonesia’s other coastal waters. In
one 21,000-square-mile concession off Java’s northeast coast, Natomas and
Atlantic-Richfield are already bringing in oil. Other companies with contracts
signed have watched their stocks soar in speculative orgies rivaling those
following the Alaskan North Slope discoveries.
Ford, like an over-attentive mother. is sponsoring a new
Berkeley project at the U.C. law school in “developing human resources for the
handling of negotiations with foreign investors in Indonesia.”
Meanwhile in Indonesia, the “chaos” that Ford and its
modernizers are forever preventing is once more gathering force. Late last
year, troops from West Java’s crack Siliwangi division rounded up
5000 surprised and sullen villagers in an odd military exercise that speaks
more of Suharto’s fears than of Indonesia’s political “stability.” Billed as a
test in “area management” officers told reporters that it was an
exercise in preventing a “potential fifth column” in the once heavily-PKI area
from linking up with an imaginary invader. But the Army got no cheers as it
passed through the villages, an Australian reporter wrote. “To an innocent eye
from another planet it would have seemed that theSiliwangi division was an
army of occupation.”
There is no more talk about land reform or arming the people
in Indonesia now. But the silence is eloquent. In the Javanese villages where
the PKI was strong before the pogrom, now landlords and officers fear going out
after dark. Those who do so are sometimes found in the morning with their
throats cut. The generals mutter about “night PKI.”
* Ramparts, Vol. 9, No. 4, October 1970, pp. 26-28,
40-49
David Ransom, a member of the Pacific Studies Center, is
currently at work on a book on Indonesia. His views do not necessarily
represent those of the Center. Sumber : Pergerakan Kebangsaan
No comments:
Post a Comment