Setelah mulai menguasai teknologi satelit eksperimental, Indonesia segera merintis penguasaan teknologi satelit operasional. Namun untuk menuju penguasaan teknologi itu, masih harus melalui jalan panjang.
"Memang soal satelit operasional masih kami diskusikan.Bicara ini kan bicara alih teknologi," jelas Direktur Pusat Teknologi Satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Suhermanto. Dia mengungkapkannya usai seminar Inovasi Teknologi satelit di PP IPtek TMII, Jakarta, Kamis 29 Agustus 2013.
Suhermanto menjelaskan saat ini kemampuan pengembangan satelit yang dimiliki Indonesia masih dalam tahap eksperimental, yang rata-rata bobotnya kecil, kisaran 100 Kg. Sedangkan satelit operasional bobotnya mencapai 1 ton dengan struktur kerangka dan panel yang lebih kompleks.
"Memang di Indonesia fasilitas perakitan dan pengujian untuk kategori satelit itu belum ada, misalnya untuk menaikkan temperatur 100 derajat," kata Suhermanto.
Lebih lanjut, dia menggambarkan Indonesia sudah mulai menguasai tahapan teknologi untuk menuju pengembangan satelit operasional.
"Satelit eksperimental kita mulai dari LAPAN A1 sampai LAPAN A5 semuanya tahapan penguasaan teknologi. Ada teknologi radar, thermal (panas bumi)," katanya. Posisi tahapan menurutnya bisa persiapan yang bagus untuk satelit operasional.
Selain soal alih dan penguasaan teknologi, setidaknya Indonesia harus membangun infrastuktur, sumber daya manusia, pembiayaan.
"Harga satelit operasional itu kisaran Rp 2,5 trilun. Itu belum bicara infrastruktur,ground station (stasiun bumi). Jadi itu tidak bisa dilakukan LAPAN secara mandiri," tegasnya.
Alih Teknologi Untuk itu, saat ini sedang digulirkan opsi membentuk konsorsium nasional satelit operasional Indonesia. Konsep ini melibatkan iuran pendanaan dari berbagai lintas lembaga di Indonesia, baik pemerintah maupun swasta dan industri, yang memiliki kepentingan dengan satelit operasional. Ia optimis mekanisme ini bisa lebih mendorong penguasaan teknologi satelit operasional.
"Tapi ini masih dibahas siapa lembaga yang harus jadi leader-nya. Usulannya sih Kemenristek yang pimpin konsorsium ini," jelasnya.
Ia mengakui pengembangan satelit operasional itu masih tergantung dengan produk luar negeri. Mengingat Indonesia punya kepentingan untuk alih teknologi, opsi yang ditempuh yakni membeli satelit buatan luar dengan syarat ada alih teknologi.
"Pembelian satelit kami syaratkan, kita harus ditraining teknologinya. Banyak yang tertarik, China, India Inggris, juga konsorsium Eropa. Sampai saat ini kami belum pikirkan tender ke negara manapun," ujarnya. (VivaNews)
JAKARTA —Pemerintah memiliki rencana serius untuk mengembangkan proyek nasional di bidang industri pertahanan. Harapannya, program ini tidak saja mempercepat modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) TNI, tetapi juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro menuturkan, Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) menggelar sidang ke-9 pada Selasa (11/6) lalu.
Sidang salah satunya membahas tentang perkembangan alih teknologi kapal selam dan program pengadaan pesawat tempur.
Purnomo yang juga menjabat Ketua KKIP menjelaskan, pemerintah RI telah menjalin kerja sama dengan Korea Selatan terkait pembangunan tiga unit kapal selam untuk penguatan TNI AL.
Satu di antaranya direncanakan akan dibuat di Indonesia. Untuk itu, pemerintah kini tengah mempersiapkan segala infrastruktur yang dibutuhkan oleh PT PAL di Surabaya, sebagai BUMN yang menjalankan kebijakan ini nantinya.
“Indonesia saat ini hanya mempunyai dua unit kapal selam. Jumlah ini masih sangat minim untuk mendukung pertahanan laut kita,” tutur Purnomo.
Ia memperkirakan, pembuatan kapal selam Indonesia yang ketiga dapat dimulai dalam waktu satu atau dua tahun ke depan.
Dengan begitu, tidak tertutup kemungkinan nantinya Indonesia bisa memasarkan kapal selam buatan dalam negeri ke negara-negara lain.
“Sebelumnya, kita juga berhasil memasarkan senapan serbu jenis SS1 dan SS2 buatan PT Pindad kepada sejumlah negara, terutama negara-negara tentangga,” aku Purnomo.
"Kerja sama itu bukan hanya dengan AS, karena Indonesia dinilai strategis di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara bagi pertahanan AS,"
Jakarta - Anggota Komisi I DPR Husnan Bey Fananie mengatakan, kerja sama bidang alat utama sistem persenjataan antara Indonesia-Amerika Serikat berdampak positif bagi Indonesia dalam membangun persenjataan yang lebih modern. Pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel berdampak positif bagi Indonesia dalam membangun alat utama sistem persenjataan (Alutsista) dalam negeri, kata Husnan di Jakarta, Rabu. Dia juga mengatakan, kerja sama tersebut bagian dalam program pembangunan Kekuatan Pokok Minimum atau Minimum Essential Force (MEF). Hal tersebut menurut dia ditunjukkan dengan peningkatan anggaran pertahanan di dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara diatas Rp30 triliun. "Kerja sama itu bukan hanya dengan AS, karena Indonesia dinilai strategis di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara bagi pertahanan AS," ujarnya. Husnan menjelaskan, pembelian helikopter Apache AH-64 dari AS merupakan langkah tepat karena sesuai dengan geografis dan kebutuhan Indonesia. Dia menilai helikopter tersebut mampu bermanuver di daerah hutan pegunungan yang mendominasi beberapa wilayah di Indonesia. Selain itu dia mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara independen sehingga tidak dapat dipengaruhi dalam melakukan pembelian alutsista. Sebelumnya, Presiden Yudhoyono menerima kunjungan Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel pada Senin (26/8). Presiden SBY didampingi Menteri Pertahanan Indonesia Purnomo Yusgiantoro dan beberapa menteri kabinet Indonesia Bersatu II. Kementerian Pertahanan Indonesia berencana akan membeli delapan helikopter jenis AH-64 Apache sebagai kendaraan tempur dan diperkirakan akan tiba di Indonesia pada Oktober 2014. (Antara News)
JAKARTA--Pesawat komersil yang baru dikembangkan oleh PT Dirgantara Indonesia (DI), N 219 sangat diminati di dalam negeri. Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan beberapa gubernur di Indonesia menyatakan tertarik dengan pesawat berkapasitas 19 orang ini.
''Kemenhan, pesan untuk menggantikan Nomad angkatan laut,'' ujar Program Manager N219, Director of Technology and Development, PT DI, Budi Sampurno kepada wartawan di acara Pameran Ritech Expo 2013, Kamis (29/8).
Menurut Budi, harga pembelian N219 tersebut bervariasi tergantung operasional yang akan dipasang di pesawat apa saja. Harga dasar pesawat tersebut berkisar 4,2 juta dolar Amerika. Sementara, untuk tipe operasional komplit harga bisa mencapai 5 juta dolar Amerika.
''N219 dengan Kemhan, baru MoU belum deal sampai kontrak. Pengerjaannya, jadi harus melihat dulu nanti,'' katanya.
Budi mengatakan PT DI menargetkan pengerjaan N219 ini satu bulan bisa 2 pesawat. Meski, normalnya sekarang satu bulan menyelesaikan satu unit. ''Banyak pesanan, tentu kami akan meningkatkan kapasitas produksi per tahunnya jadi bisa dibuat 24 unit per tahun,'' katanya.
Kapan pesawat pesanan Kemhan akan dikerjakan? Budi mengatakan pengiriman untuk Kemhan masih model CN235 untuk angkatan laut. Tahun ini dijadwalkan pengiriman 3 unit dari total pesanan sebanyak 5 unit. (Republika.co.id)
Jakarta - Mantan Presiden BJ Habibie mengatakan pesawat Regio Prop 80 (R80) yang diproduksi PT Ragio Aviasi Industri (RAI) dalam tahap pembuatan awal dan dikembangkan lebih hebat dari pesawat N250.
"Kita buat lebih hebat. It`s a surprise, you`ll see it, ok (Ini adalah kejutan, kamu akan melihatnya, ok)," kata Habibie usai berpidato di Rakornas Riset dan Teknologi (Rakornas Ristek) di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, pesawat R80 yang akan dibuat berdaya tampung 80 kursi dan ditargetkan terbang 2018 ini akan memanfaatkan pengalaman membuat pesawat N250.
Sebelumnya diberitakan bahwa pesawat R80, menurut Komisaris PT RAI Ilham A Habibie, merupakan The Next N250 yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara Indonesia.
Ia mengatakan saat ini pembuatan R80 masih dalam tahap pembuatan awal atau 10 persen. Kemampuan, desain, dan teknologi pesawat ini mirip N250, meski dari segi ukuran akan lenih besar dan panjang.
Pesawat R80, menurut dia, tetap menggunakan baling-baling di bagian atas badan pesawat sebagai penggerak pesawat seperti N250. Dengan menggunakan baling-baling maka konsumsi bahan bakar akan jauh lebih irit.
R80 ini, lanjutnya, didesain untuk jarak tempuh kurang dari 600 km, karena itu dapat dipastikan akan semakin irit bahan bakar. Sedangkan untuk produksi tahap awal, menurut dia, diperlukan dana 400 juta dolar AS. (Antara News)
Jakarta - Satu skuadron helikopter serang AH-64E Apache buatan Boeing, Amerika Serikat, akan tiba memperkuat TNI AD, sejalan penandatanganan pemesanan helikopter serang itu, antara Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro, dan koleganya, Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Chuck Hagel, di Jakarta, Senin.
Hagel ke Jakarta dalam rangkaian kunjungan ke Malaysia dan Brunei Darussalam; di negara terakhir ini, Hagel akan menghadiri Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN Plus, yang juga melingkupi Jepang, Amerika Serikat, Rusia, Australia, Selandia Baru, India, dan Korea Selatan.
Disepakati tipe Apache yang dibeli Indonesia dari Amerika Serikat adalah AH-64E Block III sebanyak delapan unit. Apache tipe ini merupakan tipe terbaru walau bukan tercanggih (AH-64D Longbow sebagaimana dimiliki Angkatan Darat Singapura).
AH-64E Apache telah dikirimkan ke Taiwan (30 unit), 22 unit untuk India, dan 24 unit ke Qatar. Khusus India, Boeing "terpaksa" memproduksi bersama AH-64E Apachedengan industri kedirgantaraan negara India.
"Nilai kontrak sekitar 600 juta dolar Amerika Serikat, mulai dari helikopternya, persenjataan, pelatihan awak darat dan pilot, dan lain-lain," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, yang turut menyaksikan penandatanganan itu. Hagel juga membawa sejumlah besar petinggi militer dan sipil di lingkungan Departemen Pertahanan negaranya.
Selain kontrak pembelian, kedua menteri pertahanan juga membahas peningkatan kerja sama pertahanan diperluas dan pelatihan bersama internasional antiteror ASEAN Plus di Pusat Pelatihan Pasukan Pemeliharan Perdamaian TNI, di Sentul, pada pertengahan September nanti.
Juga program Inisiatif Reformasi Lembaga Pertahanan, yang akan menjadi pola bagi Kementerian Pertahanan meningkatkan kualitas sistem perencanaan strategis, pengadaan barang, dan aspek manajerial lain. (Antara News)
Smartphone Ciptaan LIPI berbasis Sistem Operasi buatan sendiri
Jakarta - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang mengembangkan beberapa hasil penelitian unggulan. Salah satunya smartphone BandrOS alias atau Bandung Raya Operating System yang memiliki kemampuan anti sadap dan mulai diproduksi pada 2014.
"Pengembangan anti sadapnya hingga saat ini masih dalam laboratorium, diuji coba," ujar Ana Heriana, peneliti Pusat Penelitian LIPI Bandung di Puspiptek Serpong, Tangerang, Senin (26/8/2013).
Ana menjelaskan bahwa fitur yang ada di dalam smartphone ini nantinya tidak dipasarkan secara bebas. "Ini kan secure komunikasi, jadi penggunaannya hanya untuk keperluan-keperluan tertentu saja," ulasnya.
Hal ini diamini oleh peneliti LIPI lainnya, LT Handoko. Handoko menjelaskan penggunaan ponsel pintar ini nantinya untuk internal office.
"Kalau produksi luas harus banyak izin regulasi, frekuensi. Kita mau bisa mulai diproduksi tahun depan," kata Handoko.
BandrOS merupakan ponsel cerdas dengan menggunakan sistem operasi (OS) open-source berbasis Linix. Sistem operasi ini merupakan pengembangan dari sistem operasi yang sudah diciptakan sebelumnya. Prototipe dari ponsel pintar ini menggunakan processor MTK 6575-cortex A9 1Ghz, memanfaatkan jaringan GSM, layar touchscreen, Dual SIM dan kamera 2MP.
Ponsel ini rencananya akan dibanderol Rp 600 ribu. Sedangkan pengembangan sistem operasi BandrOS dibiayai APBN melalui DIPA Pusat Penelitian Informatika LIPI senilai Rp 50 juta dari rencana awal Rp 250 juta.
Hingga kini smartphone BandrOS masih terus melakukan inventarisasi potensi HaKI. Beberapa hal yang berpotensi untuk didaftarkan Hadki adalah merek BandrOS dan software aplikasi yang akan disertakan pada sistem operasi BandrOS. (Detik.com)
Kupang - Kolonel dari Komite Kebijakan Industri Pertahanan Gita Amperiawan mengatakan TNI Angkatan Udara akan kembali menerima pesawat transportasi teknis jenis CN-295 pada bulan depan.
"Dari sembilan pesawat CN-295 yang kita pesan untuk skuadron dua TNI AU tahun ini, sebanyak dua pesawat kan sudah datang, sudah dipakai. Dua lagi akan datang 35 hari mendatang, atau kira-kira bulan depan lah," kata Kolonel dari Komite Kebijakan Industri Pertahanan Gita Amperiawan, kepada wartawan di sela-sela perjalanan dari Jakarta menuju Kupang menumpang pesawat CN-295, bersama rombongan Kementerian BUMN, Jumat (23/8) malam.
Pesawat CN-295 merupakan pesawat yang dibuat oleh PT Dirgantara Indonesia, namun saat ini masih dirakit di Spanyol.
Gita mengatakan meskipun dirakit di Spanyol, namun dua pesawat CN-295 yang telah datang, dilakukan pengecatan dan penyelesaian di Indonesia. Pesawat ketiga dan keempat yang diperkirakan tiba September, juga akan dicat dan diselesaikan di Indonesia.
Kemudian pesawat kelima, keenam dan ketujuh yang datang selanjutnya, akan mulai dikustomisasi di Indonesia. Sedangkan pesawat kedelapan dan kesembilan sepenuhnya akan dirakit oleh PT Dirgantara Indonesia di Bandung, Indonesia.
"Dan mulai tahun depan, mudah-mudahan PT Dirgantara Indonesia sudah bisa memproduksi sendiri di Indonesia," kata dia.
Dia mengatakan TNI AU akan terus menambah pesawat jenis CN-295 hingga berjumlah 16 buah untuk memenuhi kebutuhan skuadron dua TNI AU di Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Dia menjelaskan, pesawat jenis CN-295 berkapasitas penumpang 79 orang (jika dimodifikasi dengan bangku model memanjang). Pesawat tipe medium itu memiliki kekuatan mesin dan kecepatan lebih besar dibandingkan tipe sebelumnya yakni CN-235.
"Kemampuan terbangnya sembilan jam jika bahan bakar penuh," ujar dia.
Menurut dia, CN-295 merupakan pesawat khusus transportasi baik untuk prajurit maupun logistik. Dalam kondisi perang, pesawat jenis tersebut harus dikawal oleh pesawat tempur, karena CN-295 tidak dirancang untuk bertempur.
"Pesawat ini tidak dipersenjatai dan memang tidak bisa dipasangkan senjata, hanya khusus untuk `dropping` pasukan dan logistik. Jadi dalam kondisi perang harus ada pesawat `escort` atau pendamping," kata dia.(ANTARA News)
JAKARTA - Rencana Lion Air membeli 100 unit pesawat N-219 produksi BUMN PT Dirgantara Indonesia akan segera terwujud. Nota kesepahaman (MoU) pembelian pesawat perintis tersebut akan ditandatangani kedua belah pihak pada pekan depan.
Menteri Ristek Gusti Muhammad Hatta mengatakan, MoU pembelian pesawat akan ditandatangani dirut Lion Air dan dirut PT DI di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan Hari Kebangkitan Teknologi di Jakarta 28 Agustus mendatang. "Nilai transaksinya belum diketahui karena baru akan disebutkan pada saat penandatanganan MoU," kata Gusti di kantornya kemarin (23/8).
Harga pesawat berkapasitas 19 penumpang tersebut diperkirakan USD 4,5 juta hingga USD 5 juta per unit. Dengan demikian, nilai transaksi untuk 100 unit pesawat diperkirakan akan mencapai sekitar Rp 5 triliun. Meski demikian, uang tersebut tidak akan langsung diterima, karena pengiriman tiga unit pesawat baru akan dilakukan mulai 2016 dan tahun berikutnya menyusul akan diserahkan tiga pesawat.
Pada tahap awal, PT DI baru menggunakan 30 persen komponen lokal dan pada tahap berikutnya ditargetkan komponen lokal akan meningkat jadi 60 persen. Komponen yang masih perlu diimpor antara lain mesin pesawat dan peralatan elektronik atau navigasi. Kedua komponen tersebut lebih ekonomis bila membeli dibandingkan membuat sendiri.
Gusti mengatakan, pesanan dari Lion mampu membangkitkan semangat PT DI yang telah merancang pesawat baling-baling tersebut sejak 2006. "Kalau tidak ada yang membeli maka tentu saja produksi dalam negeri tidak akan berkembang," katanya.
Pesawat N-219 merupakan pesawat penumpang yang ditujukan untuk melayani bandara-bandara perintis dan pulau-pulau terpencil. Pesawat ini mampu lepas landas dari landasan pacu sepanjang 600 meter dan berkontur tidak rata. Mesin yang digunakan juga kuat karena berkekuatan 850 shaft horse power.
Sejak tahun lalu, PT DI telah membuat pesawat prototipe senilai Rp 300 miliar untuk static test dan uji produksi mesin. Pesawat purwareka tersebut telah lolos tes aerodinamika di laboratorium Badan Pengkajian Penerapan Teknologi di Serpong serta ditargetkan memperoleh sertifikat laik terbang pada 2014. (JPPN.com)
PURWOKERTO - PT Dirgantara Indonesia (PT DI) saat ini sudah banyak mengalami kemajuan. Padahal pada tahun 1998 lalu, PT DI sempat merugi dan tak terdengar gaungnya.
"PT DI sekarang bukan lagi perusahaan rugi atau BUMN mayat dan bukan perusahaan sulit lagi. PT DI sekarang sudah maju," ujar Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan di Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat (23/8).
Persoalan PT DI menurut Dahlan adalah kurangnya pegawai muda untuk mengerjakan proyek. Sejak krisis 1998, kata Dahlan, PT DI tidak pernah merekrut pegawai muda karena minimnya proyek waktu itu.
"Ahli PT DI sejak krisis 1998 mereka tidak ada pekerjaan, sekarang usianya relatif tua. Lebih dari 10 tahun (PT DI-red) tidak pernah merekrut tenaga muda. Sekarang PT DI akan merekrut tenaga baru untuk perkembangan PT DI ke depan," paparnya.
Bahkan Dahlan menyebut PT DI adalah perusahaan yang tersibuk saat ini. Karena sedang mengerjakan proyek pembuatan 63 helikopter dalam 3 tahun ke depan.
"PT DI juga mengerjakan proyek pembuatan bagian tertentu dari pesawat raksasa Air Bus 380 dan bagian tertentu dari Boeing dan Air Bus. PT DI sekarang ini betul betul sangat sibuk dan tersibuk dalam sejarahnya," tutup bekas Dirut PLN ini. (chi/jpnn)
Indonesia sendiri tidak mau bergantung kepada satu pihak.
Rusia bertekad semakin aktif menjalin kerjasama dengan Indonesia di bidang pertahanan. Kerjasama ini tidak sebatas jual-beli alat-alat utama sistem pertahanan (alutsista), namun juga latihan militer bersama dan rencana membuat proyek patungan industri alutsista.
Saat masih berbentuk Uni Soviet (USSR), Rusia menjual persenjataannya ke Indonesia tidak lama setelah kedua negara membuka hubungan diplomatik pada 1950. Di tahun-tahun awal, banyak pula personel angkatan laut dan udara Indonesia dikirim ke Uni Soviet untuk menempuh pendidikan.
Namun, hubungan itu terganggu di pertengahan dekade 1960an karena alasan-alasan politis. Kedua negara kembali melanjutkan hubungan di awal dekade 1990an, walau baru berjalan erat satu dekade kemudian karena saat itu masih terhalang beberapa faktor.
Contohnya, pembicaraan soal jual-beli jet tempur Rusia Sukhoi-30 ke Indonesia sudah berlangsung sejak 1997. Namun jual-beli itu baru disepakati pada 2003.
Eratnya kembali kerjasama pertahanan Rusia-Indonesia banyak terbantu berkat rengganggnya hubungan serupa antara Indonesia dengan Amerika Serikat di akhir dekade 1990an. Kerenggangan itu muncul setelah Washington menjatuhkan embargo penjualan senjata ke Jakarta karena menilai Indonesia saat itu melanggar Hak Asasi Manusia di Timor Timur, yang kini bernama Timor Leste sejak menjadi negara berdaulat pada 2002.
Embargo senjata AS ke RI itu, berikut suku cadang, berlangsung selama 1999-2005. AS mengakhiri embargo ketika Presidennya saat itu, George W Bush, menganggap Indonesia termasuk mitra penting memerangi terorisme.
Setelah mencabut embargo, AS pun terlihat aktif menawarkan mesin-mesin perangnya kepada Indonesia. Pada 2011, AS sepakat mengirim 24 unit jet tempur bekas tipe F-16 seri C/D blok 25 kepada Indonesia secara cuma-cuma, kecuali untuk biaya pemutakhiran (upgrade).
Pada akhir 2012, AS dan Indonesia berunding untuk jual-beli helikopter serbaguna UH-60 Black Hawk dan helikopter tempur AH-60D buatan Boeing.
Namun, belajar dari embargo AS itu, Indonesia membuka pintu kerjasama seluas-luasnya kepada negara lain, termasuk Rusia, agar tidak lagi bergantung kepada satu pihak dalam pengadaan alutsista. Maka, sejak itu, Indonesia tidak hanya kembali berbisnis senjata dengan AS, namun juga mempererat kerjasama serupa dengan Rusia.
Maka, Indonesia dan Rusia bersepakat soal jual beli jet tempur dan mesin-mesin perang lain. Sejak 2003, Rusia telah mengirim 12 unit jet tempur Sukhoi ke Indonesia dan pengiriman empat unit lagi masih menunggu persetujuan lebih lanjut.
Moskow pun telah menjual sejumlah helikopter militer Mi-35 dan Mi-17 kepada Jakarta. Alutsista lain yang dijual Rusia ke Indonesia adalah kendaraan tempur lapis baja BMP-3F, kendaraan pengangkut personel BTR-80A, serta senapan serbu AK-102.
Untuk membeli persenjataan itu, Moskow pada 2007 memberi fasilitas kredit sebesar US$1 miliar kepada Jakarta. Kerjasama pertahanan di luar jual-beli persenjataan juga telah berlangsung, seperti menggelar latihan bersama memerangi perompak di laut antara pasukan Indonesia dengan Rusia pada 2011.
Kerjasama kedua negara juga mencakup kemitraan Rusia dengan ASEAN. Pada Juli 2004, Rusia dan ASEAN menyapakati deklarasi memerangi bersama terorisme.
ASEAN dan Rusia pun menggelar pertemuan tahunan dan kelompok-kelompok diskusi di bidang keamanan maritim, bantuan kemanusiaan, pengobatan militer, operasi penjaga perdamaian , dan pemberantasan ranjau darat.
Baru-baru ini Rusia menawarkan bantuan ke Indonesia membangun sistem pertahanan udara. Saat ini, Indonesia hanya memiliki rudal-rudal pertahanan SAM (surface-to-air missile) jarak dekat.
Industri Pertahanan
Maka, Viktor Komardin dari perusahaan ekspor senjata-senjata Rusia (Rosoboronexport) mengungkapkan bahwa Moskow akan menjual perangkat sistem SAM sekaligus membantu mempersiapkan jaringan pertahanan udara.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Edy Prasetyono, menilai kerjasama pertahanan RI-Rusia masih belum maksimal, tidak saja dalam jual-beli alustsita, namun juga di bidang lain seperti pelatihan, dan pendidikan militer.
"Indonesia kini punya undang-undang industri pertahanan yang menyatakan bahwa pembangunan industri pertahanan bisa berlangsung melalui kerjasama internasional. Maka, ada ruang bagi Rusia untuk bekerjasama dengan Indonesia, terutama dalam beberapa platform senjata tertentu. Kedua negara perlu bernegosiasi soal ini," kata Prasetyono. Artikel ini kerjasama VIVAnews dan RBTH Asia.
Purnomo ingin perjanjian dengan Singapura murni tanpa imbal balik.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro berharap tidak ada lagi kesepakatan antara Singapura dan Indonesia yang membutuhkan imbal balik.
Imbal balik yang dirujuk Purnomo terkait dengan perjanjian ekstradisi yang telah diteken oleh pemerintah dua negara pada tahun 2007 lalu, namun kemudian disandingkan dengan kesepakatan kerja sama pertahanan.
Hal ini diungkapkan Purnomo di ballroom Hotel Shangri-La pada Rabu malam 21 Agustus 2013, saat perayaan 48 hari ulang tahun negara Singapura. Purnomo ingin semua kesepakatan yang diteken murni sebuah perjanjian dan tanpa butuh imbal balik apa pun.
"Kalau saat ini kan ada pertukaran. Apabila Indonesia menandatangani kesepakatan kerjasama pertahanan, maka Singapura akan mulai memberlakukan perjanjian ekstradisi. Saya sih maunya ya kesepakatan pertahanan ya pertahanan saja. Kalau ekonomi ya ekonomi saja," ucap Purnomo.
Purnomo mengaku masih terus menjembatani supaya terdapat pemahaman di antara kedua pemerintah terkait isu tersebut. Namun terlepas dari isu tadi, Purnomo menyebut hubungan Indonesia dengan Singapura sangat baik.
Kedua Menteri Pertahanan kerap melakukan kontak lewat telepon untuk membicarakan berbagai hal.
"Bahkan sudah ada kerjasama di bidang pertahanan dalam hal perawatan tank Leopard, karena baik Singapura dan Indonesia sama-sama memiliki alutsista itu," kata dia.
Saat ditanyakan pendapatnya soal hubungan kedua negara yang kerap memanas akibat beberapa isu tertentu, Purnomo menyebut hal itu wajar terjadi. Sebagai negara yang saling bertetangga, masalah pasti selalu ada.
"Yang namanya hidup berdampingan, kalau ada masalah itu wajar dan dapat diselesaikan. Seperti dengan Singapura, apabila ada masalah, maka kami akan duduk bersama untuk mencari solusi untuk berbagai isu," ujarnya.
Dia yakin solusi dapat diraih selama kedua negara menyelesaikan permasalahan menggunakan semangat ASEAN.
"Artinya, kalau ada masalah ya diselesaikan secara baik dan mengedepankan pemahaman bersama," katanya.
Pemerintah Indonesia dan Singapura diketahui telah menandatangani perjanjian ekstradisi pada 27 April 2007 silam di Istana Tapak Siring, Bali. Saat itu terjadi pertemuan antara Presiden SBY dengan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong.
Saat itu Singapura bersedia membahas kembali kelanjutan kesepakatan ekstradisi yang sempat terhenti. Namun kemudian Singapura menggandengkan kesepakatan ekstradisi dengan perjanjian pertahanan.
Dalam perjanjian pertahanan, Singapura meminta Indonesia menyediakan zona latihan perang bagi mereka. Hal ini lah yang menyebabkan DPR menolak untuk meratifikasi paket kesepakatan tersebut.
Purnomo sendiri mengaku tidak dapat mendesak DPR karena itu sudah bukan ranah pemerintah.
"Kami tidak mungkin ikut campur dalam hal itu. Sehingga apabila belum ada niatan dari DPR untuk meratifikasi perjanjian itu, maka implementasi kesepakatan ekstradisi pun belum berjalan," kata dia. (VivaNews)
Pemerintah Indonesia menargetkan tercapainya kemandirian senjata untuk kebutuhan TNI pada tahun 2029 namun target ini dianggap sangat berat dicapai.
Target itu dirumuskan dalam UU Industri Pertahanan yang disahkan tahun lalu dan mewajibkan penghentian penggunaan produk impor jika industri domestik mampu memenuhi.
"Suka tidak suka, UU mengamanatkan offset industri pertahanan kita adalah 35%," kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.
Offset, istilah yang dipakai untuk menyebut tingkat pencapaian alih teknologi dari luar ke dalam BUMN strategis, saat ini diklaim sudah mencapai 35% bahkan lebih.
"Kalau dihitung-hitung dalam proses produksi CN 295 misalnya, offset PTDI sampai 40%," klaim Purnomo.
CN 295 adalah pesawat angkut kelas kecil-menengah buatan Airbus Military (dulu CASA) Spanyol.
Pemerintah Indonesia secara resmi mengatakan proyek hanya ditunda namun menurut pengamat militer Andi Widjajanto yang terjadi sesungguhnya lebih serius karena menyangkut kontrak alih teknologi.
"Kita sebagai negara bebas-aktif tidak menganut blok pertahanan, karena itu upaya alih transfer teknologi menjadi lebih sulit," kata pengajar di Jurusan Hubungan Internasional UI ini.
Dalam kasus KFX menurut Andi, Indonesia berharap belajar teknologi jet F16 yang lisensinya sudah dilimpahkan AS kepada Korsel, yang merupakan sekutu dekatnya di Pasifik.
Belakangan ternyata Korea Selatan lebih tergiur mengembangkan KFX dengan teknologi pesawat F35, yang lisensinya belum tentu boleh dibagi dengan Indonesia.
"Karena tidak ada pelibatan (Indonesia) sama sekali dalam konsorsium (persenjataan) global dengan Amerika."
Tinggal teriak
Apapun tantangannya, pengesahan UU Industri Pertahanan jelas memberi dorongan besar pada pabrikan senjata lokal yakni PTDI, Pindad dan PT PAL Surabaya.
"Kita sekarang kewalahan memenuhi permintaan TNI bahkan harus bayar denda keterlambatan dari tahun 2011," kata Dirut Pindad Adik Sudaryanto.
Lonjakan permintaan belum dapat dipenuhi segera menurut Adik karena kebutuhan mesin setidaknya perlu dua tahun untuk dipesan.
"Karena mesin industri alutsista itu tidak dijual di pasar bebas, kalau bebas kacau kan semua bisa bikin senjata."
Baru pada tahun ini hingga 2015 Adik memperkirakan mesin-mesin baru tiba dan Pindad bisa menggenjot produksi.
Sejak UU diketok palu, Pindad juga tak kesulitan uang karena berbagai sumber dana disiapkan pemerintah termasuk yang sebelumnya tak ada.
"Kita tinggal teriak kita bisa (produksi), langsung (order) diberikan," tambahnya.
Berkah lain dari UU 16 yang dinikmati produsen senjata Indonesia adalah pintu alih teknologi yang terbuka lebih lebar.
Ia mencontohkan produksi tank Anoa yang mulanya harus memakai rangka buatan VAB serta mesin hasil impor dari pabrikan otomotif dan senjata Prancis, Renault.
"Sekarang dia mau jual engine-nya saja, VAB-nya dari kita, sehingga penjualan dia turun," kata Dirut Pindad sejak 2008 itu.
Produsen asing mengalah mengikuti ketentuan UU Industri Pertahanan karena kalau menolak mereka akan sama sekali kehilangan pasar.
Kasus yang sama juga terjadi pada amunisi ukuran besar 105mm yang mulanya dibeli dari Korsel.
Pabrikan Korsel itu kemudian mengajari Pindad mekanik dan teknik fuse-nya, dan terpaksa puas jadi pemasok komponen.
"Dulu mana mereka mau, sekarang produknya kita integrasikan jadi produksi kita."
Dengan permintaan TNI yang masih lebih tinggi dari kemampuan pasoknya, sejak tahun lalu Pindad memilih fokus pada substitusi impor bukan pada ekspor.
Kutukan
Sebaliknya PTDI memilih untuk aktif menawarkan dagangan langsung pada negara pembeli potensial setelah bisnis yang makin bergairah beberapa tahun terakhir.
Satu-satunya produsen pesawat di Asia Tenggara itu baru dibawa Wakil menteri pertahanan Sjafrie Sjamsuddin dalam sebuah road show negara ASEAN pada awal Juni lalu.
PTDI menyebut tengah melakukan finalisasi kontrak pembelian dengan Filipina, setelah sebelumnya Vietnam juga dikabarkan akan memesan CN295.
Dua negara lain, Thailand dan Brunei, meminta dilakukan uji terbang (flight test) di negeri mereka.
Melihat pasar yang sebenarnya cukup ramah terhadap pesawat angkut dan penumpang terbatas, bahkan muncul usulan agar PTDI tak usah repot memikirkan urusan produksi jet tempur.
"Toh jelas pasar CN 295 ada, peminatnya lumayan. Sementara pesawat jet akan perlu investasi dan biaya pengembangan yang lama dan besar. Kita beli saja," seru anggota Komisi Pertahanan DPR, TB Hasanuddin.
Meski boleh jadi cukup masuk akal, usulan ini dianggap justru akan mematikan peluang industri senjata Indonesia sendiri.
"Semua industri senjata dunia mengalami kutukan ini," kata Andi Widjajanto.
Negara yang terlambat mengembangkan industri senjatanya, harus bersabar dan tabah menghadapi rintangan alih teknologi.
"Periode awal bisa 10-20 tahun industrinya akan mengahsilkan senjata yang kualitas teknologinya tertinggal dan lebih mahal," kata Andi, putra mendiang Pangdam Udayana, Theo Sjafei.
Apakah itu sepadan dengan anggaran yang besar yang keluar hingga 2029? Menurut Andi jawabnya ya.
Mengutip sebuah studi ia menyebut dalam pada abad 21 hanya akan ada tujuh negara dengan industri pertahanan mandiri: AS, Rusia, Negara Eropa Barat, Brasil, Cina, India dan Indonesia.
"Negara lain pilih cara yang gampang: beli saja."(BBC Indonesia)
Jakarta - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) produsen pesawat terbang PT Dirgatara Indonesia (PTDI) mengaku sanggup membangun dan memproduksi mulai pesawat versi paling sederhana hingga pesawat super canggih sekelas jet tempur. Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama PTDI Budi Santoso di acara Kongres Diaspora Ke-2 di JCC Senayan Jakarta, Senin (19/8/2013). "Kita bikin N219 sampai kita mengerjakan program bersama KFX/IFX (jet tempur sekelas F22). Ini dari teknologi paling sederhana sampai paling canggih," ucap Budi. Ia mengatakan, pengembangan pesawat penumpang ringan N219 masih dalam tahap penyelesaian akhir. Pesawat yang diproduksi dan dikembangkan di Bandung Jawa Barat ini diprediksi bisa rampung dan ditampilkan ke publik pada 2015 nanti. "N219 awal 2015 sudah mulai terbang," jelasnya. Sementara untuk pesawat tercanggih jenis jet tempur, PTDI menggandeng Korea Selatan. Budi mengakui dalam proses perancangan pesawat tidak menghadapi tantangan sulit karena PTDI memiliki kemampuan engineering. "Kalau dulu bangun fighter dimarahi pak Habibie. Mau bikin fighter atau nggak, engineer sama, aero dynamic sama juga. Jadi mayoritas dari engineer sama. Yang beda leader-nya," jelasnya. (Detik.com)
Beijing - Indonesia dan China sepakat untuk memantapkan kerja sama industri pertahanan berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan saling menghormati.
"Indonesia dan China telah memiliki kerja sama yang baik, termasuk dalam industri pertahanan," kata Dirjen Departemen Perdagangan Militer dan Hubungan Luar Negeri State Administration for Science, Technology and Industry for National Defense (SASTIND) Zhan Chunli di Beijing, Senin.
Dalam pertemuan kedua kerja sama pertahanan Indonesia-China, ia mengatakan pihaknya mengharapkan kerja sama yang telah terjalin baik dapat ditingkatkan dan diperluas di masa datang.
"Karena itu dalam pertemuan kali ini diharapkan dapat disepakati sejumlah perkembangan yang telah dijalankan sebelumnya oleh kedua pihak dalam kerja sama industri pertahanan," kata Zhan Chunli.
Ia menegaskan dengan pemantapan butir-butir kerja sama yang telah disepakati dalam pertemuan sebelumnya, diharapkan kerja sama industri pertahanan kedua negara akan semakin luas.
Sementara Dirjen Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan RI Pos Hutabarat mengatakan Indonesia sangat menyambut positif kerja sama industri pertahanan dengan China.
"China menjadi salah satu mitra strategis bagi pengembangan industri pertahanan Indonesia, banyak hal yang dapat kita kerja sama dengan dasar saling menguntungkan," katanya.
Sebelumnya Kemhan RI dan SASTIND telah menyepakati sejumlah poin kerja sama industri pertahanan seperti produksi bersama, pengembangan bersama, pemasaran bersama serta alih teknologi.
"Kedepan sejumlah poin yang sudah disepakati itu dapat dimantapkan lagi sehingga benar-benar memberikan manfaat dan keuntungan bagi industri pertahanan kedua negara, dan bagi hubungan kedua pihak di masa depan," ujar Pos Hutabarat.
Selama ini Indonesia telah menjalin kerja sama industri pertahanan dengan China, antara lain dalam pengembangan bersama peluru kendali C-705, dan telah melakukan pembelian senjata dari China seperti rudal panggul QW3 untuk Pasukan Khas TNI Angkatan Udara.
Dalam pertemuan kedua itu, masing-masing industri pertahanan kedua pihak melakukan presentasi tentang produk yang dimiliki.
Dari pihak Indonesia terdapat PT LEN, PT Dirgantara Indonesia, PT Indadi Setia, dan PT Info Global. Sedangkan pihak China menampilkan antara lain PT CETC, Nourinco, dan ALIT. (Antara).