TEKNOLOGI PERSINYALAN – MEMULAI KEMANDIRIAN
Persinyalan kereta api di Indonesia kini mulai beralih dari manual ke sistem otomatis berbasis komputer. Belakangan ini diterapkan serangkaian komponen mikroelektronika yang lebih kompak dan ringkas. Sistem pengendali yang modern itu bernama Computer Based Interlocking, buatan dalam negeri. YUNI IKAWATI
Era perkeretaapian di Indonesia dimulai 1867, pada masa kolonial Belanda. Pengembangan jalur sarana transportasi massal selama ini terbatas di Jawa dan Sumatera. Modernisasinya tersendat, termasuk sistem persinyalan.
Sistem persinyalan kereta api, 98 persen masih manual atau menggunakan sistem mekanik. Kemampuan industri dalam negeri untuk memasok tidak terlalu besar. Dari seluruh sinyal kereta api, 60 persen merupakan buatan dalam negeri.
Meningkatnya mobilitas manusia menggunakan kereta api yang mendorong penambahan rangkaian dan lalu lintas memerlukan sistem persinyalan yang dapat bekerja cepat dengan tingkat keamanan dan keandalan tinggi. Ini dapat dipenuhi dengan sinyal elektrik yang mampu bekerja otomatis.
Sayangnya, saat ini jalur kereta api yang menggunakan sinyal elektrik baru 2 persen. Untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan transportasi kereta api, Menteri Perhubungan Evert Erenst Mangindaan, Desember lalu, mengatakan akan meningkatkan secara bertahap penggunaan sinyal elektrik yang dilengkapi sistem pengontrol mikro. Penerapannya akan menggantikan sistem manual.
Ada beberapa kelebihan yang dapat dicapai dengan menggunakan sinyal elektrik dan otomatis. Tidak hanya keamanan dan keselamatan transportasi lebih terjamin, tetapi juga meningkatkan kapasitas perlintasan kereta dan efisiensi sistem persinyalan.
Persinyalan elektrik untuk kereta api di Indonesia, sekitar 80 persen merupakan generasi kedua. Kini, mulai dirintis sistem generasi ketiga, antara lain Computer Based Interlocking, dilengkapi pengontrol mikro.
Berbeda dengan sinyal manual yang sebagian besar dapat dipenuhi industri dalam negeri, sinyal elektrik masih bergantung pada produk asing. Menurut Asisten Deputi Menteri Riset dan Teknologi Bidang Produktivitas dan Riset Iptek Industri Erry Ricardo, 96 persen teknologi sinyal kereta api berbasis listrik dibangun oleh vendor dari luar negeri, yaitu Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Jerman, Belanda, dan Australia.
Upaya mandiri
Untuk mengurangi ketergantungan pihak asing, dibentuk Konsorsium Persinyalan Kereta Api untuk merancang bangun dan memproduksi sinyal elektrik secara mandiri. Konsorsium itu terdiri dari Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Perhubungan, PT Len Industri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Perintisan sinyal elektrik, menurut Agung Darmawan, Kepala Divisi Teknologi dan Inovasi PT Len Industri, dimulai dengan merancang programmable logic controller (PLC), yaitu sistem pengontrol yang menggunakan komponen elektromekanikal sebagai pengontrol otomatis yang terprogram berbasis digital komputer.
PLC yang merupakan generasi kedua sinyal elektrik, menurut Agung, proses rekayasanya masih menggunakan modul impor. Jadi, yang dikembangkan adalah sistem integrasi dan bahasa pemrogramannya.
Meski begitu, tim perekayasa di Konsorsium Persinyalan berhasil melakukan loncatan dengan menguasai teknologi CBI, yang merupakan generasi ketiga. Penguasaannya meliputi pembuatan desain komponen, modul, peranti lunak, hingga rancang bangun CBI. Sistem persinyalan ini meliputi enam rak setinggi 3 meter dan lebar 80 sentimeter. Di dalamnya terdiri dari modul-modul untuk pengaturan daya, transfer keluar-masuk data atau sinyal, serta modul antarmuka.
Sistem CBI
Sistem CBI terdiri dari peralatan yang dipasang di sekitar rel, antara lain point machine yang akan menggerakkan westle atau perpindahan jalur kereta api secara otomatis. Komponen CBI yang terbangun sekitar 70 persen merupakan produk dalam negeri.
Pengembangan desain dan rekayasa CBI dapat menghemat sekitar 30 persen biaya konstruksi interlocking dibandingkan teknologi sebelumnya. Total daya yang dikeluarkan untuk membangun sistem ini sekitar Rp 70 miliar.
Menurut Direktur Jenderal Perkeretaapian Tunjung Indrawan, CBI mulai dikembangkan pada 2009. Selama ini CBI diuji coba untuk menguji keandalannya. Uji perdana CBI dilakukan di Stasiun Gumilir Cilacap, Desember lalu.
Penerapan lebih lanjut dilakukan di Stasiun KA Cikampek, Cirebon, dan Maos. Percobaan di empat stasiun itu dengan pertimbangan memiliki frekuensi lalu lintas tinggi dan percabangan jalur kereta lebih dari dua.
Pada masa mendatang, menurut Erry, CBI memiliki pangsa pasar luas. Akan ada sekitar 300 stasiun sinyal mekanik yang akan diganti dengan sistem otomatis.
Selain itu, untuk meningkatkan mobilitas massal, pemerintah berencana menghidupkan jalur kereta api yang mati dan menambah jalur baru, termasuk untuk moda MRT guna angkutan ke bandara, jalur pintas, depo, dan pengangkutan batubara. Direncanakan pula pembukaan jaringan kereta api di pulau lain, yaitu trans-Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Sumber : Kompas, 16 Januari 2013
No comments:
Post a Comment