Tuesday, February 12, 2013

Berkat “The Raid”, Pencak Silat Terkenal Hingga Mancanegara


Mungkin anda bertanya, apakah judul di atas sesuai dengan tema blog ini tentang teknologi ? Saya jawab ya, masih relevan dengan teknologi. Sebagaimana para ilmuwan memasukkan perkembangan ilmu psikologi terkini sebagai teknologi terbaru misalnya Neuro Lingusistic Programming (NLP), maka ilmu bela diri Indonesia umumnya termasuk teknologi karena tidak hanya mengandalkan gerakan fisik semata. Pencak silat adalah seni, dan di dalamnya terdapat teknologi paling maju dalam psikologi, yakni efektivitas pengendalian diri, pengendalian pikiran dan emosi. Seni bela diri Indonesia adalah unik, berbeda dengan bela diri dari manca negara sepertin Kung Fu, Tae Kwondo, Ju Jit Su, dan lain-lain.
Teknologi mind controlling Indonesia adalah hebat, sangat maju, misalnya sanggup mematahkan sebatang besi dengan hanya menggunakan gulungan koran. Dalam Sin Lam Ba, lawan bisa terpental jauh bahkan bisa luka parah dengan hanya satu gertakan verbal kalau saja pihak penyerang sedang marah bernafsu ingin menghancurkan. Ini bukan mistis, tapi nyata dan ilmiah karena saya pernah belajar Sin Lam Ba. Contoh lain paling umum adalah mengangkat benda berat dengan hanya menggunakan ujung jari. Dalam transpersonal Psychology, penggunaan tenaga psiko-nuklir dalam tubuh manusia adalah teknik canggih yang penggunaannya bisa untuk tujuan kesehatan, keamanan, perlindungan diri/lingkungan, dan pengobatan/penyembuhan. 

Baiklah, kita kembali tentang film The Raid dan Pencak Silat. Berikut ini kutipan dari Yahoo blog.  

Pada 23 Maret 2012 silam, “The Raid” resmi ditayangkan di bioskop. Tak hanya di Indonesia, tapi juga Australia, Kanada, dan Amerika Serikat. Film ini memang fenomenal dan mendapatkan cukup banyak pujian dari dunia internasional. Diputar di festival-festival film internasional seperti Festival Film Toronto, Sundance Film Festival, Sitges International Fantastic Film Festival, SXSW Film Festival, dan Festival Film Busan.

Saat Dublin International Film Festival, “The Raid” mendapat predikat sebagai Best Film. Saat ditayangkan di Amerika, para bintang Hollywood pun turut menonton dan memuji film ini, seperti Paris Hilton, Denzel Washington, dan Jason Statham, aktor “The Expendables” dan “Transporter”. 

Kemampuan laga aktor “The Raid” ternyata mengundang minat industri film Hollywood. Iko Uwais dan Joe Taslim, mendapat kesempatan untuk bermain film Hollywood. Iko, dipercaya bintang Hollywood Keanu Reeves untuk berlaga di film terbarunya. Joe Taslim, ikut bermain dalam “Fast and Furious 6” bersama Vin Diesel.

Menyusul kesuksesan “The Raid”, Merantau Films akan membuat film sekuel “The Raid 2: Berandal”. Ditemui di markas Merantau Films di Jakarta pada Kamis (20/12), sutradara Gareth Evans bersama produser Aryo Sagantoro menceritakan kepada Yahoo! OMG! sedikit bocoran tentang “The Raid 2: Berandal”. Gareth Evans, yang meski sama sekali tidak memiliki darah Indonesia, mengaku dirinya turut bangga dapat mengusung ilmu bela diri Indonesia pencak silat hingga populer di mancanegara.

Produser Aryo Sagantoro dan Sutradara Gareth Evans (Foto: Jonathan Rian/Yahoo!)Apa tantangan untuk pembuatan film “The Raid 2”?
Gareth Evans: Ekspektasi. Itu tantangan terbesar. Dulu di “The Raid” pertama, orang tidak tahu akan seperti apa film itu, jadi kami dapat memberikan kejutan kepada penonton. Namun untuk “The Raid 2” ini, faktor kejutan itu sudang hilang. Orang akan berekspektasi film ini seperti apa. 

Seperti apa perbedaan saat pembuatan “The Raid 2”?
Gareth Evans: Saat ini kami merasakan cukup banyak tekanan. Jika “The Raid” pertama kami memang membuatnya hanya untuk kepuasan diri kami sendiri, belum mempertimbangkan opini penonton. Tapi untuk sekuel kali ini, bahkan Iko Uwais juga sempat menanyakan hal ini pada saya, bagaimana tanggapan masyarakat nantinya dengan “The Raid 2”. Saya katakana padanya, kita tidak harus memikirkan opini penonton, kita buat saja seperti saat dulu “The Raid” pertama.

Cerita “The Raid 2” masih berhubungan dengan yang pertama?
Gareth EvansYa. Kisahnya bermula sejak hari pertama saat film “The Raid” pertama selesai. Perbedaannya ada dalam lamanya waktu dalam film ini. Jika di “The Raid” pertama semuanya terjadi dalam satu hari, “The Raid 2” akan berlangsung selama tiga atau empat tahun.  Jadi nanti ceritanya akan lebih banyak, karakternya akan bertambah, tantangannya juga makin besar.

Untuk proses produksi, lebih repot dari “The Raid” pertama?
Aryo Sagantoro: Pastinya! Banyak banget yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Di sini kan tantangannya. Seperti kalau kita menonton film luar negeri seri pertama, kemudian keluar sekuelnya, pasti kita memiliki harapan lebih. 

Kami ingin tampilkan gambar-gambar yang belum pernah ditampilkan sebelumnya. Tidak ada di “Merantau”, tidak ada di “The Raid”. Film “Merantau” kan isinya penuh adegan berkelahi dengan tangan kosong, bertahan untuk hidup. Sementara di “The Raid”, terbunuh atau dibunuh. Nah untuk “The Raid 2”, adegan mobil yang tidak ada sebelumnya, perkelahian yang lebih agresif. Proyek ini memang sudah kami persiapkan dari tiga tahun yang lalu, sudah menjadi impian kami.

Berarti konsepnya memang sudah ada sejak awal?
Aryo Sagantoro: Konsepnya sebenarnya “The Raid 2: Berandal” dulu. Tapi terpaksa ditunda karena banyak adegan yang kami belum siap. Kami butuh waktu lebih panjang karena kan adegannya berat. Waktu kami membuat koreografi untuk “The Raid”, ada adegan-adegan yang kami anggap lebih pantas dan lebih sangar untuk kami tampilkan di “The Raid 2”.

Apakah “The Raid 2” akan adegan di luar ruangan? Kalau “The Raid” sebagian besar kan dilakukan di dalam ruangan.
Aryo Sagantoro: “The Raid” pertama dilakukan di dalam ruangan untuk mengatasi masalah cuaca yang tidak bisa kami kontrol. Pengalaman kami di “Merantau” harus menambah waktu produksi sebulan lebih. Akhirnya muncullah konsep satu hari di dalam gedung. Tapi di “The Raid 2”, kami mau menjual lanskap dan lain sebagainya, jadi lebih banyak di luar ruangan.

Sudah mulai syuting?

Aryo Sagantoro: Belum. Pada 1 Oktober 2012 lalu, kami adakan syukuran untuk memulai proyek “The Raid 2”. Insya Allah tanggal 19 Januari 2013 sampai awal Juli, jadi sekitar enam bulan. Ini merupakan proyek terpanjang kami, enam bulan syuting, bukan hal yang mudah. 

Kalau “The Raid” pertama membutuhkan waktu berapa lama?
Sekitar tiga bulan lebih. “Merantau” sekitar empat bulan.

Lokasi syuting “The Raid 2” akan dilakukan di mana?
Lokasi syuting 90 persen dilakukan di Jakarta, sisanya Jawa Barat. Ada beberapa lokasi yang memang tidak ada di Jakarta, jadi harus dilakukan di luar.

Apakah akan ada pemain perempuan dalam “The Raid 2”? Di “The Raid” pertama kan tidak ada pemain perempuan yang jadi sorotan utama.
Gareth Evans: Kali ini ada. Dari dulu saya juga ingin ada tokoh petarung perempuan. Akan ada tokoh bernama Hammer Girl, dia menggabungkan teknik bela diri silat harimau, seperti yang digunakan di “Merantau”, tapi dia juga menggunakan dua palu di kedua tangannya. Jadi dia akan memukul lawannya dengan keras. Karakter yang sangat keren.

Gareth memang dari dulu menggemari bela diri?
Garet Evans: Oh iya. Dari kecil saya suka menonton film-film bela diri. Sejak saya terlibat di “Merantau”, saya terus memikirkan bagaimana caranya mendapatkan angle yang bagus untuk adegan bela diri, gerakan kameranya akan seperti apa, kemudian apa yang mau diangkat dari bela diri itu sendiri. Bisa turut andil untuk mempopulerkan pencak silat, menjadi sebuah kehormatan untuk saya.

Sutradara "Merantau", "The Raid", dan "The Raid 2: Berandal" (Foto: Jonathan Rian/Yahoo!)Ada berbagai macam ilmu bela diri yang lain, seperti kungfu atau taekwondo, kenapa Gareth memilih pencak silat?
Gareth Evans: Kungfu sudah masuk dalam industri film selama berpuluh-puluh tahun. Film tentang silat sendiri juga sudah banyak sebenarnya, tapi belum ada dalam film itu yang menyatakan, “Seperti ini lho pencak silat.” Dari sinilah saya tergerak untuk membuat film tentang silat, dan sejalan dengan saya mempelajarinya, saya juga mendapatkan ilmu tentang filosofi pencak silat itu sendiri. 

Pencak silat itu merupakan ilmu bela diri yang indah untuk disorot kamera. Saya agak terkejut saat mengetahui belum ada pembuat film yang menggarapkan dengan pantas. Saat saya menonton tayangan tentang pencak silat, yang diselipi ilmu-ilmu sihir yang menurut saya itu semua hanya omong kosong. Saya harus membuat sesuatu yang menjauhkan silat dari hal-hal berbau mistis. 

Banyak orang kaget saat menonton “Merantau”, karena mereka terbiasa menonton pencak silat yang berbau mistis. Saya katakan bahwa seperti inilah pencak silat yang sebenarnya. Berkat film ini, kami sukses mempopulerkan pencak silat, tak hanya di dalam negeri tapi juga hingga ke luar negeri. 

Beberapa perguruan pencak silat mengaku ke kami bahwa mereka mendapatkan banyak peserta baru, yang tidak hanya berasal dari Indonesia, tapi juga berasal dari luar negeri karena mereka ingin mempelajari apa yang mereka tonton di film kami.

Ada rencana membuat film dengan genre lain?
Gareth Evans: “The Raid 2: Berandal” akan menjadi film tentang pencak silat saya yang terakhir untuk sementara. Saya ingin mencoba membuat dua film baru, mungkin tentang kriminalitas. Kami akan istirahat sejenak, Iko Uwais dan kawan-kawan akan latihan lagi sambil kami memikirkan untuk fim berikutnya.

Toro, bagaimana sih pengalaman bekerja bersama Gareth Evans?
Aryo Sagantoro: Oke banget sih. Kami kerja bareng sejak “Merantau” sekitar 2008. Waktu itu kami bertemu juga sama-sama belum punya pengalaman film. Semua yang terlibat di “Merantau”, itu film pertama kami. Ada kepercayaan satu sama lain, itu yang paling penting. 

Kami berusaha memberikan yang terbaik yang bisa kami kasih, tapi pasarnya sendiri saat itu banyak yang memandang sebelah mata. Film laga, pencak silat apalagi, siapa yang mau nonton gitu kan. Saat itu juga kan film Tanah Air juga sedang jatuh sekali. 

Kami punya minat yang sama di ilmu bela diri, kami sama-sama ingin mengangkat pencak silat, dan kami percaya bahwa pencak silat apabila dikemas dengan baik bisa menjadi tontonan yang sangat menarik dan bisa menjadi kebanggaan Indonesia.

Harapan kalian untuk “The Raid 2”?
Aryo Sagantoro: Harapannya sih bisa seperti apa yang kami bayangkan. Kami punya konsep, apa yang kami lakukan adalah yang terbaik, baru setelah itu kami serahkan ke pasar. Ekspektasi penonton, seperti yang tadi kita bahas, itu menjadi tantangan kami.

Gareth Evans: Kami tidak ingin “The Raid 2” disamakan dengan “The Raid”. Karakternya mungkin akan sama, tapi perasaan saat nonton filmnya, tampilan film dan pengemasan, akan terlihat jauh lebih mantap. Akan menjadi sesuatu yang lebih segar meskipun ini sekuel.

Apa nih yang paling membedakan antara “The Raid” pertama dan kedua?
Aryo Sagantoro: Konsep “The Raid” pertama adalah roller coaster. Kami tidak memberikan kesempatan bagi penonton untuk bernapas. Baru napas sebentar, tapi sudah disikat lagi. Kalau “The Raid 2”, cara bertutur akan lebih halus. Karakter akan lebih kuat karena organisasinya lebih besar. Begitu banyak variasi, tak hanya adegan berkelahinya saja. 

Gareth Evans: Di bagian awal mungkin masih bisa agak tenang nontonnya. Tapi kamu tidak akan mampu bernapas di 25 menit terakhir.





Pencak Silat Mendunia






Pencak Silat Merambah Jerman
Dua peserta kenaikan tingkat tengah mendemonstrasikan jurus di hadapan peserta lain (foto Aksara Kauniyah)

Metrotvnews.com, Berlin: Siapa sangka olahraga pencak silat asli dari Indonesia semakin mendunia. Bahkan di Berlin, Jerman, telah berdiri sekolah pencak silat.

Seni bela diri dan olah raga pencak silat sigepi (silat gerak pilihan), dikreasikan oleh Octav Setiadji pada  tahun 1976 di Bandung. Silat ini dibawanya ke Berlin pada tahun 1981, dan diperkenalkan pertama kali kepada 60 mahasiswa Indonesia di Berlin.

Dalam mengembangkan pencak silat ini, Octav mengajarkannya di universitas tehnik dan beberapa sekolah sport di Berlin, hingga akhirnya membuka Sigepi Institut pada tahun 2011.

Jumlah murid di sekolah tersebut sekitar 500 orang, dan 98 persen di antaranya adalah warga Jerman. Bahkan juga ada warga Amerika Serikat.

Sigepi telah mengikuti 6 kali kejuaraan Eropa dan dunia, serta sering tampil dalam acara kebudayaan Indonesia di Jerman. Sigepi juga mengajarkan senam kesehatan dan pernafasan.

Senam kesehatan dan pernafasan sangat membantu menyembuhkan penyakit. Hal ini dirasakan oleh salah satu murid Sigepi, Gudrun, yang mempunyai masalah dengan punggungnya .

Menurut Duta Besar RI untuk Jerman, pengembangan pencak silat di Jerman merupakan hal yang sangat penting dalam kerangka hubungan bilateral Indonesia-Jerman.(Dni)



Pencak Silat Masuk Kurikulum American University, AS


Dua orang pesilat sedang mendemonstrasikan jurus saat ujian kenaikan tingkat di AS.




Pencak silat adalah olah raga seni bela diri asli Indonesia yang harus dilestarikan. Namun, di negeri asalnya, pencak silat sepertinya ‘kalah pamor’ dengan karate, tae kwon do, kung fu, atau bela diri lain dari luar Indonesia. Di sekolah-sekolah kita, banyak yang mempelajari bela diri asing tersebut.
Berbeda dengan di Indonesia, pencak silat justru akan dipelajari para mahasiswa di Amerika Serikat (AS) dalam waktu dekat ini. Bahkan akan dimasukkan ke dalam kurikulum.
Kabar tersebut disampaikan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Jalal melalui akun twitternya, Jumat (10/6/2011). Dino menulis, “MenDuniakan Indonesia: alhamdullilah pencak silat resmi masuk Kurikulum American University, Washington DC. Who else will follow?”
Kelas pencak silat akan dibuka American University pada musim gugur mendatang, yakni sekitar bulan September. Kelas ini akan berlangsung dari Senin hingga Kamis tiap pukul 08.55-10.10 waktu setempat. Para mahasiswa yang mengikuti kelas pencak silat tidak hanya akan mempelajari jurus-jurus pencak silat, tetapi juga budaya Indonesia.

Tidak heran, pencak silat memang lekat dengan kebudayaan Tanah Air. Kata Pencak Silat sendiri merupakan gabungan dua istilah. “Pencak” dari bahasa Sunda, atau “Mancak” dari bahasa Madura dan Bali, dengan “Silat” atau “Silek” yang biasa digunakan di Sumatra.
Kelas pencak silat ini akan melatih aspek fisik para mahasiswa, aplikasi bela diri, pertarungan satu lawan satu, jurus mengunci lawan, hingga pelatihan spiritual. Materi yang diberikan akan mencakup dasar-dasar pencak silat yakni dasar-dasar menyerang, bertahan, bela diri, dan pencak silat sebagai seni.
Pihak kampus American University berharap, dengan mengikuti kelas tersebut para mahasiswanya dapat mengetahui teknik dasar bela diri dan mengaplikasikannya di saat-saat darurat.


Sumber: Okezone / silatdc.com

Dr Hiltrud Cordes, Peneliti “Silek” Minangkabau.

    [ in English ] 



Hiltrud memulai hubungannya dengan Indonesia dari Minangkabau. Setelah meneliti ”silek” (pencak silat) Minangkabau dan menulis buku rujukan pertama dari sisi antropologi, Hiltrud tak terbendung lagi.
Mendirikan perguruan pencak silat di Jerman dan Serikat Pencak Silat Jerman (PSUD). Ia lalu menjadi presiden pertama Federasi Pencak Silat Eropa (EPSF).
Hiltrud juga mendirikan lembaga amal Kultur Kontakt yang berfokus pada kerja sama lembaga dan pembangunan kebudayaan Indonesia- Jerman. Hal itu di antaranya mengumpulkan dana bagi kelompok-kelompok kesenian dari Indonesia untuk berpentas di Eropa.
Dia juga mendirikan Yayasan Penyu yang berpusat di Swiss dan Jerman serta mengelola program konservasi penyu di Berau, Kalimantan Timur. Ia juga menjadi manajer produksi beragam program dokumenter soal Indonesia yang digarap stasiun televisi Bayerischer Rundfunk di Muenchen, Jerman.

Dua tahun terakhir, Hiltrud menjadi salah seorang kurator Sawahlunto International Music Festival (SIMFes). Sebuah festival musik di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, yang baru saja merangkak dengan seniman dari berbagai benua.
Jangan panggil saya doktor, panggil saja Hilli,” katanya.
Hilli lalu menerawang jauh ke tahun 1980-an, seusai menamatkan kuliah S-2 tahun 1983, saat ia melancong ke Indonesia untuk pertama kali. ”Saat itu Indonesia adalah tujuan yang cukup populer. Banyak anak muda Eropa jalan-jalan ke Indonesia,” kenangnya.
Hilli bukan sekadar jalan-jalan. Ia mencari daerah penelitian untuk program S-3. Ia langsung betah dan menetapkan fokus. Apalagi ketika ia menemukan pencak silat di dataran Sunda. ”Saya cerita kepada pembimbing saya, Prof Kurt Tauchmann, bagaimana jika saya meneliti pencak silat,” ujarnya.

Terpesona silat
Gayung bersambut karena saat itu belum ada penelitian di dunia akademis soal pencak silat dari sudut pandang antropologi. Ia kembali ke Eropa dan tahun 1986 ia terpesona penampilan dua perempuan Bukittinggi yang menampilkan silek dalam Kejuaraan Dunia Pencak Silat di Vienna, Austria.
Ia mengingat silek untuk pertama kali sebagai perpaduan yang sangat harmonis. Sederhana, tak banyak gerak, tetapi penuh ledakan energi.
Dia pun bertemu dengan mahasiswa Indonesia dari Nagari Magek, Kabupaten Agam -dekat Bukittinggi- yang tengah melanjutkan kuliah di Hamburg. Mahasiswa itu, Aryadie Adnan, kini dosen Jurusan Kepelatihan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Padang.
”Saya bertemu Hilli dalam pertandingan sepak takraw di Hamburg. Saat itu dia datang dari Cologne dan mengutarakan keinginannya meneliti silek. Saya langsung persilakan datang dan tinggal bersama orangtua saya,” kata Aryadie.
Beberapa waktu kemudian, Hilli berkirim surat kepada Aryadie yang sudah kembali ke Indonesia. ”Kami lalu bertemu di Padang. Dia antar saya ke Magek. Saya dititipkan kepada ibunya untuk menumpang tinggal selama sepuluh bulan. Mereka adalah keluarga angkat saya sekarang,” kenang Hilli.
Hilli belajar kepada sejumlah guru silek, termasuk kepada Sutan Malenggang, guru dua perempuan pesilat dari Bukittinggi yang pernah ditontonnya di Vienna. Ia merasa perlu belajar langsung silek Minangkabau. ”Supaya saya paham, saya harus praktik sendiri,” kata Hilli.
Persiapan merantau
Penelitiannya lalu berfokus pada fungsi silek dalam sistem sosial Minangkabau. Filosofi silek Minangkabau sebagai persiapan bagi anak-anak muda Minang sebelum merantau menjadi dasar pemahamannya kemudian.
Ia mengatakan tidak ada aliran dalam silek Minangkabau. Pengajaran dilakukan antara kelompok murid dan guru. Ini menjadi mata pelajaran untuk penguasaan soft skill sebelum memasuki jenjang pendidikan formal. ”Dengan surau sebagai pusatnya,” ujarnya.
Hilli melanjutkan, sekalipun belum ada data sahih, kuat diduga maksimal hanya 95 persen ilmu dari guru silek yang diturunkan kepada muridnya. ”Ada rahasia yang tidak diturunkan. Barulah biasanya ketika menjelang ajal, itu diturunkan,” kata anak kedua dari lima bersaudara itu.
Pesan untuk mengembangkan pencak silat di Eropa datang dari Sutan Malenggang di ujung masa penelitiannya. Sebagai murid yang baik, Hilli patuh.
Di sudut Museum Goedang Ransoem, Kota Sawahlunto, yang basah karena hujan malam itu, perbincangan kami sempat terhenti. Hilli mesti mengurusi pembukaan SIMFes yang padat. Namun, seusai pergelaran, ia kemudian kembali dan melanjutkan ceritanya sembari mengisap sebatang rokok mentol.
Di Jerman, dia mendirikan Perguruan Silek Tuo. Tahun 1988, dia mendirikan PSUD di Jerman dengan total lima perguruan pencak silat.
Selain itu, dia juga menjalankan amanah Sutan Malenggang dengan mengembangkan organisasi pencak silat di Eropa dengan mendirikan EPSF. ”Ini sebagai balas budi saya karena saya mendapatkan gelar S-3 juga karena orang-orang lain yang membantu,” katanya.
 Sekalipun lama tak bermain silek, Hilli mengatakan dirinya masih ingat beberapa jurus. ”Itu mirip dengan keterampilan bersepeda. Tinggal diasah saja lagi sekalipun lama tidak melakukannya,” ujarnya.
Tahun 1991 ia membantu seorang sutradara membuat film dokumenter soal konservasi. Tidak kurang dari 23 film dokumenter tentang kehidupan alam liar yang mencakup orangutan, burung, dan penyu.
Dari sinilah, ia berkenalan dengan fakta menyedihkan soal kehidupan penyu sebagai penjamin tingkat nutrisi di perairan dan fosil hidup. Ia menjalankan program konservasi di Berau. Bukan hanya menyelamatkan penyu, tetapi juga memikirkan mata pencarian alternatif bagi penangkap penyu.

Hilli masih memendam keinginan untuk membuat program konservasi penyu di beberapa daerah lain di Indonesia. Namun, dana yang tersedia terbatas.
Suaminya, Prof Dr Otto Jockel, yang juga Rektor Sekolah Ekonomi Internasional Neuss di Jerman mendukungnya. Bagaimana pendapatnya mengenai negeri, terutama yang berkaitan dengan konservasi alam? ”Saya lihat dari undang-undang bagus. Saya kasih jempol. Cuma pelaksanaannya kurang,” kata Hilli
sumber : kompas
Kompas, Sabtu, 14 Januari 2012, rubrik Sosok

No comments: