Tak terasa, pengujung tahun 2012 tinggal menghitung hari. Maka izinkanlah saya, men jelang tutup tahun ini, ngobrol bersama Anda di beranda ini, ihwal pencapaian luar biasa, yang telah di catatkan perekonomian Indonesia sepanjang 2012.
Moga-moga saja Anda masih teringat, tatkala pada awal tahun bangsa ini mendapatkan “berkah” luar biasa setelah “menerima” predikat investment grade, alias sebagai bangsa dianggap layak menerima investasi dari luar dalam jumlah besar. Bolehlah sebagian orang menganggap istilah tersebut cuma label atau sekadar stempel, apalagi berbau neolib. Namun suka tidak suka, Indonesia memang mendapatkan banyak rejeki setelah lembaga pemeringkat global menaikkan rating ke level yang dianggap layak investasi tersebut.
Maka aliran modal asing pun begitu deras dan kencang dalam berbagai bentuk. Saking kencangnya, sampai-sampai Menteri Keuangan merasa khawatir, aliran duit asing, termasuk dalam bentuk utang perusahaan swasta, dianggap mencemaskan. Boleh saja Menkeu Agus Martowardojo berdebar-debar cemas soal utang swasta itu, karena data dari Bank Indonesia juga menunjukkan lonjakan yang signifikan.
Hanya dalam 9 bulan tahun ini saja, utang swasta naik sekitar US$23 miliar. Jumlah yang besar, bukan? Hampir sama dengan jumlah subsidi bahan bakar minyak, yang setiap tahun habis dibakar di jalan raya. Derasnya aliran utang hanyalah salah satu variabel kepercayaan asing terhadap bangsa kita, dan tentu saja perusahaan Indonesia, akhir-akhir ini.
Tak heran, meskipun banyak pihak masih merasa cemas tentang prospek pemulihan ekonomi global, kinerja perekonomian Indonesia tak buruk-buruk amat. Bahkan masih tetap kinclong. Meskipun pula banyak anggapan ekonomi Indonesia berjalan melalui mekanisme autopilot, toh tetap bisa tumbuh di atas 6% per tahun tak boleh dikecilkan sebagai sebuah kebetulan atau nasib baik. Ini adalah hasil kerja keras dari seluruh pemangku kepentingan.
Mengutip Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat mengakhiri sidang kabinet 2012, “the state never sleep”. Negara tidak pernah tidur, meski kadang banyak pula keluhan negara tak benar-benar terbangun. Menteri BUMN Dahlan Iskan juga selalu mengusung semboyan: Kerja, kerja dan kerja, kendati kementerian yang beliau pimpin belum berhasil meraih target kinerja yang diharapkan.
Dan tentu saja, ekspansi swasta juga bukan main, antara lain dengan bahan bakar pinjaman tadi. Sektor swasta bukan cuma berlari, tetapi malah ngebut. Itu setidaknya terlihat dari sektor otomotif, yang berhasil melampaui penjualan 1 juta unit mobil baru tahun ini. Dan Astra, salah satu pionir industry otomotif Indonesia, bakal segera menyandang gelar “three billion dollar company”, jika mendengar bisik-bisik bakal mampu meraih untung bersih di atas Rp2 triliun.
Sektor properti, pembiayaan dan perbankan, yang sempat cemas terhadap aturan uang muka kredit, malah seperti berpesta tahun ini, karena justru bisnis sedang bersinar. Pasalnya, kita sudah terbiasa kreatif dan punya cara berkelit dan terhindar dari kemacetan. Di sektor lain, misalnya, meski katanya harga komoditas merosot, tetapi tak terdengar ada perusahaan yang gulung tikar. Apalagi dengan sengaja menggulung tikarnya sendiri, alias ganti haluan bisnis.
***
Maka saya bersyukur menjadi orang Indonesia. Meski banyak hal yang masih perlu diperbaiki di sana-sini, Indonesia terlahir sebagai bangsa yang mendapat karunia Tuhan luar biasa. Kalau banyak kritikan yang kita dengar dari talkshow di televisi atau dari pemberitaan media, bahwa pemerintah kadang setengah tidur atau setengah bangun, buat saya nggak jadi soal.
Sebab karunia Tuhan telah mengantarkan Indonesia layak untuk mendapatkan berkahnya sendiri.
Kekayaan sumber daya manusia berusia muda, dengan kemampuan daya beli yang terus meningkat secara signifikan akhir–akhir ini, disertai tingkat pendidikan yang semakin memadai, telah menjadi mesin ekonomi yang luar biasa.
Kekayaan sumber daya manusia berusia muda, dengan kemampuan daya beli yang terus meningkat secara signifikan akhir–akhir ini, disertai tingkat pendidikan yang semakin memadai, telah menjadi mesin ekonomi yang luar biasa.
Maka mesin bisnis pun berputar jauh lebih kencang. Saya malah khawatir, janganjangan data statistik pertumbuhan ekonomi tidak benar-benar mampu memotret kapasitas sebenarnya dari perekonomian kita. Coba saja deh, banyak perusahaan mengaku membukukan kenaikan untung tahun ini. Banyak yang melaporkan kenaikan pendapatan. Bahkan perusahaan-perusahaan pelat merah pun, yang belum sanggup mencapai target yang dicanangkan Pak Dahlan Iskan, masih membukukan kenaikan pendapatan dan keuntungan di atas 10%, jika dibandingkan dengan kinerja tahun 2011 silam.
Tengok pula sebagian anak muda sekarang, yang tak mau mencari pekerjaan; tetapi lebih suka membangun usaha start-up sendiri. Dengan tiga atau empat karyawan, dengan modal dan omzet tak terlalu besar di awal; mereka telah menggerakkan pertumbuhan ekonomi, menyediakan pekerjaan, dan tentu saja mengurangi pengangguran.
Meski statistik resmi tidak pernah mampu mengungkapkan jumlah start-up seperti itu, melalui banyak forum fenomena tersebut semakin tampak ke permukaan.
Tengoklah kompetisi Wirausaha Muda Mandiri, untuk kita lihat sebagai sekadar contoh. Banyak mahasiswa yang ikut kompetisi tersebut; awal tahun ini jumlahnya lebih dari 3.500 kontestan, yang di antaranya mampu mencatatkan omzet miliaran rupiah dalam setahun.
Bukan cuma besar omzetnya untuk ukuran mahasiswa, tetapi mempekerjakan banyak karyawan pula. Lagi-lagi, saya khawatir, aktivitas informal seperti itu terlewat dari catatan statistik resmi pertumbuhan ekonomi kita.
Maka, cerita tadi sekadar memberikan sejumlah ilustrasi, Indonesia semakin luar biasa. Tak perlu risau dengan para pakar yang sering bilang bahwa rasio entrepreneurs di Indonesia baru di bawah 1%, jauh di bawah Singapura yang mencapai 7%. Okelah, kalau bicara rasio. Tetapi lihatlah pada jumlah. Maka Anda akan kaget karena 1% dari 235 juta adalah 2,35 juta. Sebaliknya, 7% dari 6 juta penduduk Singapura, berarti cuma sedikit di atas 400.000. Itulah kamuflase dari populasi.
Maka jangan pula selalu rendah diri menghadapi Malaysia, meskipun tim sepakbola Indonesia akhir-akhir ini sering keok. Top ten percent dari piramida penduduk Indonesia, alias penduduk terkaya kita, mencapai 24 juta. Itu artinya sama dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia. Itulah kekuatan populasi.
***
Maka tak ada alasan untuk tidak optimistis. Modal kita banyak, terutama modal demografi yang kini menjadi bonus besar. Perjalanan banyak inspirator Indonesia, membuktikan eksistensi bangsa ini dalam mengarungi kemajuan. Tinggal modal politik saja yang perlu dimanfaatkan lebih optimal. Demokrasi bolehlah kita lalui dengan tetap mengedepankan pentingnya pengaturan.
Untuk soal ini bolehlah saya salut pada Jokowi, panggilan akrab Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama Ahok, sang wakil gubernur. Keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko tidak populer dari warga dan pelaku bisnis di Jakarta, memberikan keyakinan ia memiliki modal yang kuat untuk membenahi banyak urusan.
Sekadar contoh saja: Jokowi berani menerapkan car free night di jalur Sudirman- Thamrin di malam tahun baru di Jakarta karena tidak punya vested interest. “Saya tidak bisa ditekuk,” begitu dia pernah mengatakan kepada saya pada suatu kesempatan.
Itulah esensi pemerintah, yang kehadirannya diperlukan untuk mengatur; apa pun konsekuensi dan risikonya. Dan Jokowi benar, tak perlu ikut belok kiri dan kanan, karena begitu bisa ditekuk, banyak pihak yang akan mempermainkan. Tentu tidak cukup Jokowi seorang. Saya kok yakin banyak Jokowi lain yang telah dan akan muncul ke permukaan, yang menjadi modal bagi Indonesia semakin lebih baik dan maju ke depan. Bagaimana menurut Anda?
* Tulisan ini diadopsi dari Harian Bisnis Indonesia edisi Sabtu, 29 Desember 2012
No comments:
Post a Comment