Selasa, 08 Januari 2013 06:00
Yudiutamo dan Kusnanto (Foto GATRA/Jongky H) |
Jakarta, GATRAnews -Yudiutomo dan Kusnanto sukses menghasilkan radioisotop pengayaan tingkat rendah. Reaktor Batantek di Amerika Serikat akan menjadi reaktor berbahan bakar cair untuk radioisotop. Pertama di dunia. ---
Bejo atau beruntung.
Begitulah menurut Yudiutomo Imardjoko, merendah. Bersama temannya sedari
kuliah, Kusnanto yang kini direktur produksi, mereka dapat membangkitkan PT
Batan Teknologi (Batantek) dari mati suri. Dalam waktu singkat, Yudi, Direktur
Utama Batantek ini akrab disapa, membawa persero nuklir ini berekspansi
radioisotop ke Amerika Serikat (AS).
"Saat ini sampai tahap soal bisnisnya," ujar jebolan Iowa State University, AS ini. Batantek hendak membangun reaktor di AS bekerjasama dengan Babcock & Wilcox (B&W), perusahaan yang lama berkiprah di bidang energi. Medio Desember ini, Yudi kembali ke AS untuk menindaklanjuti pertemuan awal September lalu.
Kini akan membicarakan partisipasi desain dan porsi saham masing-masing. Batantek menginginkan saham mayoritas 51%. "Kalau nanti terjadi keputusan yang memerlukan voting, Batantek yang memutuskan," katanya kepada Taufiqurrohman dari GATRA. Wajar jika Yudi tergiur membangun reaktor di AS. Pasalnya, 60% pasar radioisotop dunia diserap oleh AS.
Langkah ini awal untuk menguasai pasar radioisotop dunia. Begitu pentingnya Batantek, bahkan B&W berencana ke Indonesia Januari nanti. Batantek sukses mengisi pasar radioisotop dengan pengayaan tingkat rendah. Para pemain lain masih berkutat pada pengayaan tingkat tinggi. Padahal ke depan, pengayaan tingkat tinggi akan ditinggalkan karena larangan International Atomic Energy Agency (IAEA).
Sesungguhnya jerih payah dua sekawan ini lebih dari sekedar bejo. Mereka mulai dari nol, layaknya orang yang mencari kerja di sebuah perusahaan. Suatu hari di awal 2011, Yudi iseng ke Kementerian BUMN. Di sana ia melihat informasi soal lowongan kerja di Batantek. Yudi yang dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta mencoba peruntungan itu.
Kala wawancara, panitia penerima menanyakan soal posisi yang diincar. "Saya mau jadi dirut. Kalau gak saya gak mau," kata Yudi di ruang kerjanya, di Gedung 70 Kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan, awal Desember lalu. Meski tawaran gaji kecil, Yudi tetap bersikeras masuk. Ia hanya minta diberi kesempatan mengembangkan Batantek.
Saat itu, Yudi mendapat informasi soal keterpurukan Batantek. Izin ditangguhkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 90% peralatan rusak, kerugian Rp 13 milyar, moral karyawan turun karena perusahaan tidak beroperasi meski masih menerima gaji.
Yudi juga memiliki motivasi lain. Sebagai dosen, ia memikirkan nasib mahasiswanya yang akan lulus teknik nuklir. Ia menyayangkan jika Batantek sebagai satu-satunya industri nuklir milik Indonesia harus tutup. "Lah, terus nanti mau kerja di mana mereka," ujarnya.
Saat fit and proper test itu, Yudi sempat ditanya apakah memiliki teman untuk menjadi direktur produksi. "Oh ada," spontannya. Ia langsung mengingat Kusnanto, temannya sejak kuliah dan kini di UGM menjadi dosen.
Pada Juli 2011, begitu menjadi direksi di Batantek, persoalan pun menanti. Meski kondisinya mati suri, Yudi percaya Batantek masih bisa bangkit. selama masih ada napasnya. Latar belakang sebagai dosen memberikan arti tersendiri bagi Yudi dan Kusnanto. Di kampus mereka sibuk dengan teori dan riset. "Padahal untuk ilmu teknik nuklir, aplikasi menjadi sangat penting," kata Yudi. Apalagi dana penelitian teknik nuklir mahal.
Bareng karyawan yang pernah ikut pengembangan radioisotop, Yudi dan Kusnanto pun melakukan riset. "Awalnya saya gak tahu apa yang harus dilakukan," Yudi mengaku. Mereka pun mencari cara untuk mengembangkan radioisotop dengan uranium pengayaan tingkat rendah. Lalu, akhir November 2011, tim peneliti melapor kepada Yudi, "Pak, jadi Pak."
Keberhasilan itu menjadi titik awal Batantek kembali memasarkan radioisotop ke klien-kliennya. Kali ini dengan uranium pengayaan tingkat rendah. Padahal para produsen lain masih eksis dengan uranium pengayaan tingkat tinggi, seperti Kanada dan Australia.
Ke depan, Batantek akan melangkah ke reaktor berbahan bakar cair. Yudi meyakini, reaktor masa depan itu adalah yang berbahan bakar cair. Reaktor Batantek kini masih berbahan bakar uranium padat. Kala menjadi dosen, ia sudah meneliti, tapi terbentur dana penelitian.
Perbedaan reaktor nuklir cair dengan padat seperti reaktor Batantek ada pada dayanya. Reaktor Batantek butuh daya 30 megawatt untuk menghasilkan radioisotop sebanyak1.800 curie (ci) per minggu. Sedangkan reaktor berbahan bakar cair hanya butuh daya 960 kilowatt untuk menghasilkan 4.400 ci per minggu.
Karena lebih efisien, maka produknya lebih kompetitif. Apalagi, reaktor berbahan cair ukurannya lebih kecil. "Analoginya, dulu pake desktop kini laptop," ujar Yudi. Nah, reaktor yang bakal dibangun di AS nanti akan menjadi reaktor berbahan bakar cair untuk radioisotop pengayaan tingkat rendah pertama di dunia. "Rusia pernah bikin, namanya reaktor Argus, tapi memakai uranium pengayaan tingkat tinggi," ia menambahkan.
Keuntungan kedua dari model reaktor di AS itu, bahan bakarnya hanya butuh diganti 20 tahun sekali. Sedangkan reaktor Batantek setiap tahun harus ganti bahan bakar. Nanti proyek di AS berhasil, Yudi berniat membangun juga di Indonesia.
Bagaimana kerja reaktor itu? "Nuklir itu inti," Yudi menjelaskan. Sedangkan atom itu semuanya. Isi dari inti atom itu yang dipecah. Untuk memecahkan, inti atom itu ditembak sehingga menghasilkan energi dari radiasi. Radiasi ini yang dimanfaatkan. Teknologi di Batantek adalah memakai electroplatting dalam uranium pengayaan tingkat rendah.
Melihat pasar radioisotop saat ini, Yudi melihat para pemain industri ini berkisar pada harga US$ 1.000-US$ 1.500 per curie. Meskipun persaingan cukup ketat, Batantek berhasil menjualnya dengan harga paling kompetitif. Apalagi dengan tambahan reaktor yang akan dibangun di AS nanti. Joint venture Batantek dan B&W diklaim dapat menjadi penyokong 80% pasar radioisotop dunia. "2013 menjadi tahun Batantek," ucapnya yakin.
Reaktor di AS nanti, menurut Yudi, akan menghasilkan 4.400 ci per minggu, dengan pasokan 84 kilowatt daya reaktor. Langkah Bantantek ke AS itu, menurut Yudi, juga diuntungkan dengan kondisi reaktor National Research Universal (NRU) Kanada yang telah berusia 50 tahun.
Ketika hendak ditutup dan diganti dua reaktor baru, ungkap Yudi, ternyata reaktor baru salah desain sehingga dilarang beroperasi. Alhasil, NRU yang menyuplai 60% radioisotop dunia mendeklarasikan untuk berhenti produksi pada 2016. Penutupan reaktor NRU itu, tambah Yudi, juga menjadi salah satu alasan membangun pabrik di AS.
Kini, kebutuhan radioisotop dunia 12.000 ci per minggu. Separuh lebih diserap Amerika. Untuk memenuhi kebutuhan Amerika, suplai radioisotop dipasok perusahaan asal Kanada dan Eropa yang memakai pengayaan tingkat tinggi. "Amerika impor 100%," ungkap Yudi.
Sejauh ini, radioisotop memiliki pasar sangat besar untuk kedokteran nuklir. Dari total pangsa pasar rumah sakit (RS), AS memiliki 1.500 RS, Filipina 35 RS, Malaysia 28 RS, Thailand 22 RS. "Justru di Indonesia, hanya 12 RS yang memakai," ujar Yudi.
Radioisotop berumur 66 jam dalam bentuk MO. Lalu diubah menjadi TC99M dengan sebuah generator, baru diberikan kepada pasien. Ketika digunakan ke pasien, umurnya hanya enam jam. Setelah itu, radioisotop hilang tak bersisa. (G.A. Guritno)
--------------
PROFIL
Yudiutomo Imardjoko
Soal kecintaannya pada nuklir, Yudi yang kelahiran Yogyakarta, 15 Maret 1963, mengaku pengen masuk nuklir sejak di SMA Negeri 1 Yogyakarta. "Waktu itu ada promo Teknik Nuklir UGM ke SMA-SMA lewat pamflet," ia mengenang. Saking senangnya, waktu di IOWA State, ia pernah riset dari jam 10.00 pagi sampai jam 03.00 dini hari.
Anak kedua dari lima bersaudara ini terlahir dari keluarga dosen. Dan hanya dia yang meneruskan jejak orang tuanya, Prof. Imam Barnadib, MA, PhD, dan Prof. Dr. Sutari. Pernikahannya dengan Drg. Diatri Nari Ratih, PhD, yang juga dosen di UGM, dikaruniai tiga lelaki. Anak pertama baru lulus dari IOWA State University jurusan akutansi dan bisnis internasional. Anak kedua sekolah di Purdue Chemical Engineering. Yang bontot masih di kelas III SMP di Yogyakarta.
Kini, Yudi ingin agar industri nuklir di Indonesia bisa besar. Menurutnya cakupan industri nuklir masih luas. Selain itu, ia tidak ingin terjadi gap seperti di Amerika. Karena itu, harus ada regenerasi. "Paling saya maksimum 15 tahun lagi dalam pengabdian," katanya kepada Taufiqurrohman dari GATRA.
Kini, di sela-sela kesibukannya di Batantek, Yudi tetap meluangkan waktu untuk mengajar. Bahkan saat berada di luar negeri, ia tetap berbagi ilmu ke para mahasiswanya. Setelah lulus S3, Yudi, 15 tahun, hidup di luar negeri: 7 tahun di AS, Australia 4 tahun, dan Wina 2 tahun. "Waktu di Australia mengajar pakai teleconference. Di Wina saya bolak-balik ke Tanah Air," ia mengenang.
Saat ini, menurut Yudi, banyak orang Indonesia pintar nuklir. "Tapi kebanyakan gak balik," imbuhnya. Banyak mahasiwanya yang lulus kuliah di Prancis dan Jerman, tapi tidak pernah balik, karena industri nuklir Indonesia belum berkembang.
Namun, Yudi tetap berkomunikasi dengan mahasiswanya yang tersebar di luar negeri. "Pak, saya siap dipanggil pulang," kata mahasiswanya kepada Yudi melalui Facebook. Terbukti, satu mahasiswanya di UGM yang kini studi di Korea, balik ke Indonesia. "Saya suka anak muda, jiwanya adventurer," Yudi mengomentari mahasiswanya yang ditarik Batantek dan akan ditempakan di AS.
Jika Batantek meraih saham mayoritas, Yudi berharap banyak pemuda dapat mengisi ruang dalam perkembangan Batantek. Untuk mengoperasikan reaktor di AS butuh sekitar 300 orang. Mereka dapat berlatih dan berdisiplin dalam pengelolaan nuklir. "Mereka bisa menjadi aset," ujarnya.
Berbeda dengan di Indonesia, standard operating procedure (SOP) di AS memang "superketat". "Di sana, reaktor dijaga tentara dengan prosedur militer," ia menjelaskan. Setiap dua tahun sekali para karyawan harus diuji ulang untuk mengevaluasi kemampuan hingga psikologisnya. "Jika alarm bunyi, gak boleh stres, takut, terus lari cari slamet sendiri," selorohnya.
Saat masuk Batantek, Yudi agak kaget dengan tingkat kedisiplinan segelintir anak buahnya. Seperti membawa radioisotop, harus standar dengan menggunakan mobil box shielding. "Kalau nabrak nanti radiasinya gak ke mana-mana," ujarnya. Lalu, saat di hotshell, tempat pengolahan radioisotop, itu harus memakai sarung tangan, masker, penutup kepala, dan baju khusus. "Jangan nyampur di hotshell pake kaus singlet," katanya.
Menurut Yudi, kondisi mati suri Batantek adalah saat diharuskan mengubah radioisotop dari tingkat pengayaan tingkat tinggi ke pengayaan tingkat rendah. Sempat menggunakan foil target, sampai mendatangkan konsultan dari AS. Tapi tidak berhasil.
Yudi, Kusnanto, dan tim pun berhasil mengubahnya dengan menggunakan electroplatting sebagai target. Padahal, salah satu ilmuwan di AS juga menggunakan electroplatting, tapi gagal. Hasilnya tidak bagus dan tidak cocok untuk industri. Nah, radioisotop buatan Batantek ini menghasilkan radioisotop berkualitas sangat bagus mencapai 99%.
Formulasi radioisotop dengan electroplatting perlu kreativitas. Metodenya sudah baku, tapi dalam membuat formulasi radioisotop pengayaan tingkat rendah yang pas butuh seni meracik tersendiri. Nah, mereka menjadi kunci dari penemuan engineering-nya itu. Seorang periset AS juga memakai electroplatting, tapi gagal. "Dia tidak bisa homogenisasi uranium 235. Itu kesalahannya, jadi hasilnya grejel-grejel, gak lurus," ujar Yudi.
----------------
Kusnanto
Pria kelahiran Boyolali, Jawa Tengah, 13 Februari 1962, ini tidak pernah menyangka bekerja untuk Batantek. Sekitar awal April 2011, Kusnanto ditelepon oleh orang dari Kementerian BUMN: "Bisa datang sekarang?" Ditanya begitu, Kusnanto menjawab, "Wah, saya gak bisa. Saya masih ngajar ini." Beberapa hari kemudian, Kusnanto terbang ke Jakarta untuk fit and proper test.
Tiga bulan kemudian, Kusnanto kembali mendapat telepon dari Kementerian BUMN. "Besok pelantikan, datang sama istri, ya." Kusnanto jelas kaget. "Saya kira gak lolos, eh langsung disuruh pelantikan," Kusnanto mengenang sambil terkekeh. Meski sibuk mengembangkan Batantek, ia setiap Sabtu selalu meluangkan waktu balik ke Yogyakarta untuk mengajar di UGM.
Sebelum di Batantek, Kusnanto dan Yudi memang sudah biasa kerja bersama. Pada saat masih menjadi mahasiswa, keduanya aktif dalam kegiatan kemahasiswaan di kampus. Pada saat menjadi dosen pun mereka aktif bareng di jurusan. Mereka menjadi angkatan pertama teknik nuklir UGM pada tahun 1981 yang berjumlah 60 orang seangkatan. Untuk masuk satu pendaftar harus menyisihkan 100 orang.
Kusnanto meraih gelar doktor di Jerman, yakni di RWTH Aachen, tempat B.J. Habibie dulu pernah kuliah. Di sana, ia meraih gelar Diplom, Ing. Selanjutnya langsung menempuh program S3 di situ juga. Total enam tahun di Jerman. "Tapi 1,5 tahun terakhir itu dihabiskan untuk ikut proyek penelitian dosen saya," katanya kepada Taufiqurrohman dari GATRA.
Darah mengajar didapat Kusnanto dari ayahnya yang seorang guru SD. Kusnanto bersama istrinya, yang juga seorang pengajar, sudah dikaruniai tiga anak. Mereka semua masih duduk di bangku SMP dan SD. "Dari ketiganya, yang paling kecil sudah menyatakan minatnya untuk seperti saya," katanya sambil tersenyum.
Bagi Kusnanto, uranium menjadi salah satu energi masa depan yang luar biasa. Ia tertarik masuk teknik nuklir, justru karena kontroversi tentang nuklir, yang menjadi alat persenjataan --yang pada masa Perang Dingin digunakan oleh dua negara adidaya, AS dan Uni Soviet, untuk menunjukkan kekuatannya. "Justru karena kontroversinya itu," kata Kusnanto seraya tertawa.
Obsesi Kusnanto dan Yudiutomo tidak hanya akan berhenti pada radioisotop saja. Menurut Kusnanto, radioisotop ini sebenarnya hanya bisnis pinggiran dari teknologi nuklir. Ada proyek besar yang akan dipimpin Kusnanto, yakni mengembangkan energi bahan bakar bersumber air laut. "Itu Pak Kusnanto yang memimpin," ucap Yudi.
Kusnanto, yang mengambil spesifikasi material nuklir temperatur tinggi, akan memimpin proyek pengembangan energi bersumber dari air laut. Sejauh ini, Batantek sudah melakukan focus group discussion (FGD) dengan Pertamina dan PT Badak LNG Bontang dalam kemungkinan membangun reaktor nuklir temperatur tinggi (high temperature reactor --HTR).
Konsepnya adalah water splitting, yaitu air laut didesalinasi dengan menggunakan reaktor nuklir. Kandungan H2 dan O2 dari air laut dipisah melalui proses desalinasi itu. (H2) ini direaksikan dengan CO2, hasil dari pembuangan LNG Bontang. Hasil reaksinya adalah C4 atau gas metan. Itu yang kemudian dikonversi menjadi C4OHA atau metanol. "Proses water splitting itu hanya bisa dilakukan dengan HTR," Kusnanto menjelaskan.
Kontribusi HTR akan sangat besar. Menurut Kusnanto, HTR menjadi kualifikasi yang tinggi dalam ilmu nuklir. Bisa untuk menghasilkan listrik dan bahan bakar. HTR menghasilkan suhu reaktor minimal 900 derajat celcius. Sementara itu, untuk reaktor Batantek hanya sampai 500 derajat celcius. Indonesia belum memiliki HTR. Semakin rendah temperaturnya, maka yang dihasilkan juga semakin sedikit. Itulah keuntungan dari HTR: lebih efisien.
Cina berencana membangun 18 unit HTR. "Karena dengan jumlah itu akan mencapai harga termurah," kata Kusnanto. Jerman, AS, dan Jepang pun sudah memulai. "Trennya ke sana," imbuhnya, "Menjadi reaktor nuklir generasi keempat." Keuntungannya: limbahnya sedikit, tingkat keselamatan yang lebih tinggi karena karakter bahan bakar nuklir yang tidak akan menghasilkan plutonium dalam jumlah banyak untuk kepentingan senjata.
"Saat ini sampai tahap soal bisnisnya," ujar jebolan Iowa State University, AS ini. Batantek hendak membangun reaktor di AS bekerjasama dengan Babcock & Wilcox (B&W), perusahaan yang lama berkiprah di bidang energi. Medio Desember ini, Yudi kembali ke AS untuk menindaklanjuti pertemuan awal September lalu.
Kini akan membicarakan partisipasi desain dan porsi saham masing-masing. Batantek menginginkan saham mayoritas 51%. "Kalau nanti terjadi keputusan yang memerlukan voting, Batantek yang memutuskan," katanya kepada Taufiqurrohman dari GATRA. Wajar jika Yudi tergiur membangun reaktor di AS. Pasalnya, 60% pasar radioisotop dunia diserap oleh AS.
Langkah ini awal untuk menguasai pasar radioisotop dunia. Begitu pentingnya Batantek, bahkan B&W berencana ke Indonesia Januari nanti. Batantek sukses mengisi pasar radioisotop dengan pengayaan tingkat rendah. Para pemain lain masih berkutat pada pengayaan tingkat tinggi. Padahal ke depan, pengayaan tingkat tinggi akan ditinggalkan karena larangan International Atomic Energy Agency (IAEA).
Sesungguhnya jerih payah dua sekawan ini lebih dari sekedar bejo. Mereka mulai dari nol, layaknya orang yang mencari kerja di sebuah perusahaan. Suatu hari di awal 2011, Yudi iseng ke Kementerian BUMN. Di sana ia melihat informasi soal lowongan kerja di Batantek. Yudi yang dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta mencoba peruntungan itu.
Kala wawancara, panitia penerima menanyakan soal posisi yang diincar. "Saya mau jadi dirut. Kalau gak saya gak mau," kata Yudi di ruang kerjanya, di Gedung 70 Kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan, awal Desember lalu. Meski tawaran gaji kecil, Yudi tetap bersikeras masuk. Ia hanya minta diberi kesempatan mengembangkan Batantek.
Saat itu, Yudi mendapat informasi soal keterpurukan Batantek. Izin ditangguhkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 90% peralatan rusak, kerugian Rp 13 milyar, moral karyawan turun karena perusahaan tidak beroperasi meski masih menerima gaji.
Yudi juga memiliki motivasi lain. Sebagai dosen, ia memikirkan nasib mahasiswanya yang akan lulus teknik nuklir. Ia menyayangkan jika Batantek sebagai satu-satunya industri nuklir milik Indonesia harus tutup. "Lah, terus nanti mau kerja di mana mereka," ujarnya.
Saat fit and proper test itu, Yudi sempat ditanya apakah memiliki teman untuk menjadi direktur produksi. "Oh ada," spontannya. Ia langsung mengingat Kusnanto, temannya sejak kuliah dan kini di UGM menjadi dosen.
Pada Juli 2011, begitu menjadi direksi di Batantek, persoalan pun menanti. Meski kondisinya mati suri, Yudi percaya Batantek masih bisa bangkit. selama masih ada napasnya. Latar belakang sebagai dosen memberikan arti tersendiri bagi Yudi dan Kusnanto. Di kampus mereka sibuk dengan teori dan riset. "Padahal untuk ilmu teknik nuklir, aplikasi menjadi sangat penting," kata Yudi. Apalagi dana penelitian teknik nuklir mahal.
Bareng karyawan yang pernah ikut pengembangan radioisotop, Yudi dan Kusnanto pun melakukan riset. "Awalnya saya gak tahu apa yang harus dilakukan," Yudi mengaku. Mereka pun mencari cara untuk mengembangkan radioisotop dengan uranium pengayaan tingkat rendah. Lalu, akhir November 2011, tim peneliti melapor kepada Yudi, "Pak, jadi Pak."
Keberhasilan itu menjadi titik awal Batantek kembali memasarkan radioisotop ke klien-kliennya. Kali ini dengan uranium pengayaan tingkat rendah. Padahal para produsen lain masih eksis dengan uranium pengayaan tingkat tinggi, seperti Kanada dan Australia.
Ke depan, Batantek akan melangkah ke reaktor berbahan bakar cair. Yudi meyakini, reaktor masa depan itu adalah yang berbahan bakar cair. Reaktor Batantek kini masih berbahan bakar uranium padat. Kala menjadi dosen, ia sudah meneliti, tapi terbentur dana penelitian.
Perbedaan reaktor nuklir cair dengan padat seperti reaktor Batantek ada pada dayanya. Reaktor Batantek butuh daya 30 megawatt untuk menghasilkan radioisotop sebanyak1.800 curie (ci) per minggu. Sedangkan reaktor berbahan bakar cair hanya butuh daya 960 kilowatt untuk menghasilkan 4.400 ci per minggu.
Karena lebih efisien, maka produknya lebih kompetitif. Apalagi, reaktor berbahan cair ukurannya lebih kecil. "Analoginya, dulu pake desktop kini laptop," ujar Yudi. Nah, reaktor yang bakal dibangun di AS nanti akan menjadi reaktor berbahan bakar cair untuk radioisotop pengayaan tingkat rendah pertama di dunia. "Rusia pernah bikin, namanya reaktor Argus, tapi memakai uranium pengayaan tingkat tinggi," ia menambahkan.
Keuntungan kedua dari model reaktor di AS itu, bahan bakarnya hanya butuh diganti 20 tahun sekali. Sedangkan reaktor Batantek setiap tahun harus ganti bahan bakar. Nanti proyek di AS berhasil, Yudi berniat membangun juga di Indonesia.
Bagaimana kerja reaktor itu? "Nuklir itu inti," Yudi menjelaskan. Sedangkan atom itu semuanya. Isi dari inti atom itu yang dipecah. Untuk memecahkan, inti atom itu ditembak sehingga menghasilkan energi dari radiasi. Radiasi ini yang dimanfaatkan. Teknologi di Batantek adalah memakai electroplatting dalam uranium pengayaan tingkat rendah.
Melihat pasar radioisotop saat ini, Yudi melihat para pemain industri ini berkisar pada harga US$ 1.000-US$ 1.500 per curie. Meskipun persaingan cukup ketat, Batantek berhasil menjualnya dengan harga paling kompetitif. Apalagi dengan tambahan reaktor yang akan dibangun di AS nanti. Joint venture Batantek dan B&W diklaim dapat menjadi penyokong 80% pasar radioisotop dunia. "2013 menjadi tahun Batantek," ucapnya yakin.
Reaktor di AS nanti, menurut Yudi, akan menghasilkan 4.400 ci per minggu, dengan pasokan 84 kilowatt daya reaktor. Langkah Bantantek ke AS itu, menurut Yudi, juga diuntungkan dengan kondisi reaktor National Research Universal (NRU) Kanada yang telah berusia 50 tahun.
Ketika hendak ditutup dan diganti dua reaktor baru, ungkap Yudi, ternyata reaktor baru salah desain sehingga dilarang beroperasi. Alhasil, NRU yang menyuplai 60% radioisotop dunia mendeklarasikan untuk berhenti produksi pada 2016. Penutupan reaktor NRU itu, tambah Yudi, juga menjadi salah satu alasan membangun pabrik di AS.
Kini, kebutuhan radioisotop dunia 12.000 ci per minggu. Separuh lebih diserap Amerika. Untuk memenuhi kebutuhan Amerika, suplai radioisotop dipasok perusahaan asal Kanada dan Eropa yang memakai pengayaan tingkat tinggi. "Amerika impor 100%," ungkap Yudi.
Sejauh ini, radioisotop memiliki pasar sangat besar untuk kedokteran nuklir. Dari total pangsa pasar rumah sakit (RS), AS memiliki 1.500 RS, Filipina 35 RS, Malaysia 28 RS, Thailand 22 RS. "Justru di Indonesia, hanya 12 RS yang memakai," ujar Yudi.
Radioisotop berumur 66 jam dalam bentuk MO. Lalu diubah menjadi TC99M dengan sebuah generator, baru diberikan kepada pasien. Ketika digunakan ke pasien, umurnya hanya enam jam. Setelah itu, radioisotop hilang tak bersisa. (G.A. Guritno)
--------------
PROFIL
Yudiutomo Imardjoko
Soal kecintaannya pada nuklir, Yudi yang kelahiran Yogyakarta, 15 Maret 1963, mengaku pengen masuk nuklir sejak di SMA Negeri 1 Yogyakarta. "Waktu itu ada promo Teknik Nuklir UGM ke SMA-SMA lewat pamflet," ia mengenang. Saking senangnya, waktu di IOWA State, ia pernah riset dari jam 10.00 pagi sampai jam 03.00 dini hari.
Anak kedua dari lima bersaudara ini terlahir dari keluarga dosen. Dan hanya dia yang meneruskan jejak orang tuanya, Prof. Imam Barnadib, MA, PhD, dan Prof. Dr. Sutari. Pernikahannya dengan Drg. Diatri Nari Ratih, PhD, yang juga dosen di UGM, dikaruniai tiga lelaki. Anak pertama baru lulus dari IOWA State University jurusan akutansi dan bisnis internasional. Anak kedua sekolah di Purdue Chemical Engineering. Yang bontot masih di kelas III SMP di Yogyakarta.
Kini, Yudi ingin agar industri nuklir di Indonesia bisa besar. Menurutnya cakupan industri nuklir masih luas. Selain itu, ia tidak ingin terjadi gap seperti di Amerika. Karena itu, harus ada regenerasi. "Paling saya maksimum 15 tahun lagi dalam pengabdian," katanya kepada Taufiqurrohman dari GATRA.
Kini, di sela-sela kesibukannya di Batantek, Yudi tetap meluangkan waktu untuk mengajar. Bahkan saat berada di luar negeri, ia tetap berbagi ilmu ke para mahasiswanya. Setelah lulus S3, Yudi, 15 tahun, hidup di luar negeri: 7 tahun di AS, Australia 4 tahun, dan Wina 2 tahun. "Waktu di Australia mengajar pakai teleconference. Di Wina saya bolak-balik ke Tanah Air," ia mengenang.
Saat ini, menurut Yudi, banyak orang Indonesia pintar nuklir. "Tapi kebanyakan gak balik," imbuhnya. Banyak mahasiwanya yang lulus kuliah di Prancis dan Jerman, tapi tidak pernah balik, karena industri nuklir Indonesia belum berkembang.
Namun, Yudi tetap berkomunikasi dengan mahasiswanya yang tersebar di luar negeri. "Pak, saya siap dipanggil pulang," kata mahasiswanya kepada Yudi melalui Facebook. Terbukti, satu mahasiswanya di UGM yang kini studi di Korea, balik ke Indonesia. "Saya suka anak muda, jiwanya adventurer," Yudi mengomentari mahasiswanya yang ditarik Batantek dan akan ditempakan di AS.
Jika Batantek meraih saham mayoritas, Yudi berharap banyak pemuda dapat mengisi ruang dalam perkembangan Batantek. Untuk mengoperasikan reaktor di AS butuh sekitar 300 orang. Mereka dapat berlatih dan berdisiplin dalam pengelolaan nuklir. "Mereka bisa menjadi aset," ujarnya.
Berbeda dengan di Indonesia, standard operating procedure (SOP) di AS memang "superketat". "Di sana, reaktor dijaga tentara dengan prosedur militer," ia menjelaskan. Setiap dua tahun sekali para karyawan harus diuji ulang untuk mengevaluasi kemampuan hingga psikologisnya. "Jika alarm bunyi, gak boleh stres, takut, terus lari cari slamet sendiri," selorohnya.
Saat masuk Batantek, Yudi agak kaget dengan tingkat kedisiplinan segelintir anak buahnya. Seperti membawa radioisotop, harus standar dengan menggunakan mobil box shielding. "Kalau nabrak nanti radiasinya gak ke mana-mana," ujarnya. Lalu, saat di hotshell, tempat pengolahan radioisotop, itu harus memakai sarung tangan, masker, penutup kepala, dan baju khusus. "Jangan nyampur di hotshell pake kaus singlet," katanya.
Menurut Yudi, kondisi mati suri Batantek adalah saat diharuskan mengubah radioisotop dari tingkat pengayaan tingkat tinggi ke pengayaan tingkat rendah. Sempat menggunakan foil target, sampai mendatangkan konsultan dari AS. Tapi tidak berhasil.
Yudi, Kusnanto, dan tim pun berhasil mengubahnya dengan menggunakan electroplatting sebagai target. Padahal, salah satu ilmuwan di AS juga menggunakan electroplatting, tapi gagal. Hasilnya tidak bagus dan tidak cocok untuk industri. Nah, radioisotop buatan Batantek ini menghasilkan radioisotop berkualitas sangat bagus mencapai 99%.
Formulasi radioisotop dengan electroplatting perlu kreativitas. Metodenya sudah baku, tapi dalam membuat formulasi radioisotop pengayaan tingkat rendah yang pas butuh seni meracik tersendiri. Nah, mereka menjadi kunci dari penemuan engineering-nya itu. Seorang periset AS juga memakai electroplatting, tapi gagal. "Dia tidak bisa homogenisasi uranium 235. Itu kesalahannya, jadi hasilnya grejel-grejel, gak lurus," ujar Yudi.
----------------
Kusnanto
Pria kelahiran Boyolali, Jawa Tengah, 13 Februari 1962, ini tidak pernah menyangka bekerja untuk Batantek. Sekitar awal April 2011, Kusnanto ditelepon oleh orang dari Kementerian BUMN: "Bisa datang sekarang?" Ditanya begitu, Kusnanto menjawab, "Wah, saya gak bisa. Saya masih ngajar ini." Beberapa hari kemudian, Kusnanto terbang ke Jakarta untuk fit and proper test.
Tiga bulan kemudian, Kusnanto kembali mendapat telepon dari Kementerian BUMN. "Besok pelantikan, datang sama istri, ya." Kusnanto jelas kaget. "Saya kira gak lolos, eh langsung disuruh pelantikan," Kusnanto mengenang sambil terkekeh. Meski sibuk mengembangkan Batantek, ia setiap Sabtu selalu meluangkan waktu balik ke Yogyakarta untuk mengajar di UGM.
Sebelum di Batantek, Kusnanto dan Yudi memang sudah biasa kerja bersama. Pada saat masih menjadi mahasiswa, keduanya aktif dalam kegiatan kemahasiswaan di kampus. Pada saat menjadi dosen pun mereka aktif bareng di jurusan. Mereka menjadi angkatan pertama teknik nuklir UGM pada tahun 1981 yang berjumlah 60 orang seangkatan. Untuk masuk satu pendaftar harus menyisihkan 100 orang.
Kusnanto meraih gelar doktor di Jerman, yakni di RWTH Aachen, tempat B.J. Habibie dulu pernah kuliah. Di sana, ia meraih gelar Diplom, Ing. Selanjutnya langsung menempuh program S3 di situ juga. Total enam tahun di Jerman. "Tapi 1,5 tahun terakhir itu dihabiskan untuk ikut proyek penelitian dosen saya," katanya kepada Taufiqurrohman dari GATRA.
Darah mengajar didapat Kusnanto dari ayahnya yang seorang guru SD. Kusnanto bersama istrinya, yang juga seorang pengajar, sudah dikaruniai tiga anak. Mereka semua masih duduk di bangku SMP dan SD. "Dari ketiganya, yang paling kecil sudah menyatakan minatnya untuk seperti saya," katanya sambil tersenyum.
Bagi Kusnanto, uranium menjadi salah satu energi masa depan yang luar biasa. Ia tertarik masuk teknik nuklir, justru karena kontroversi tentang nuklir, yang menjadi alat persenjataan --yang pada masa Perang Dingin digunakan oleh dua negara adidaya, AS dan Uni Soviet, untuk menunjukkan kekuatannya. "Justru karena kontroversinya itu," kata Kusnanto seraya tertawa.
Obsesi Kusnanto dan Yudiutomo tidak hanya akan berhenti pada radioisotop saja. Menurut Kusnanto, radioisotop ini sebenarnya hanya bisnis pinggiran dari teknologi nuklir. Ada proyek besar yang akan dipimpin Kusnanto, yakni mengembangkan energi bahan bakar bersumber air laut. "Itu Pak Kusnanto yang memimpin," ucap Yudi.
Kusnanto, yang mengambil spesifikasi material nuklir temperatur tinggi, akan memimpin proyek pengembangan energi bersumber dari air laut. Sejauh ini, Batantek sudah melakukan focus group discussion (FGD) dengan Pertamina dan PT Badak LNG Bontang dalam kemungkinan membangun reaktor nuklir temperatur tinggi (high temperature reactor --HTR).
Konsepnya adalah water splitting, yaitu air laut didesalinasi dengan menggunakan reaktor nuklir. Kandungan H2 dan O2 dari air laut dipisah melalui proses desalinasi itu. (H2) ini direaksikan dengan CO2, hasil dari pembuangan LNG Bontang. Hasil reaksinya adalah C4 atau gas metan. Itu yang kemudian dikonversi menjadi C4OHA atau metanol. "Proses water splitting itu hanya bisa dilakukan dengan HTR," Kusnanto menjelaskan.
Kontribusi HTR akan sangat besar. Menurut Kusnanto, HTR menjadi kualifikasi yang tinggi dalam ilmu nuklir. Bisa untuk menghasilkan listrik dan bahan bakar. HTR menghasilkan suhu reaktor minimal 900 derajat celcius. Sementara itu, untuk reaktor Batantek hanya sampai 500 derajat celcius. Indonesia belum memiliki HTR. Semakin rendah temperaturnya, maka yang dihasilkan juga semakin sedikit. Itulah keuntungan dari HTR: lebih efisien.
Cina berencana membangun 18 unit HTR. "Karena dengan jumlah itu akan mencapai harga termurah," kata Kusnanto. Jerman, AS, dan Jepang pun sudah memulai. "Trennya ke sana," imbuhnya, "Menjadi reaktor nuklir generasi keempat." Keuntungannya: limbahnya sedikit, tingkat keselamatan yang lebih tinggi karena karakter bahan bakar nuklir yang tidak akan menghasilkan plutonium dalam jumlah banyak untuk kepentingan senjata.
No comments:
Post a Comment