PTDI targetkan produksi N-219 mulai 2017
Bandung (ANTARA News) - PT Dirgantara Indonesia (PTDI) menargetkan produksi pesawat perintis N-219 secara massal pada 2017.
"Proyek N-219 telah dirintis sejak 2004, namun terkendala krisis sehingga tertunda pada tahapan desain dan uji materil. Namun harapan memproduksi pesawat itu kini kembali terbuka dan sudah ada yang siap menggunakan pesawat itu," kata Ketua Tim Komunikasi PT Dirgantara Indonesia Sonny Saleh Ibrahim di Bandung, Selasa.
Menurut Sonny, pesawat N-219 tersebut akan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan pesawat perintis untuk dioperasikan di wilayah Timur. Pesawat yang digerakan dengan baling-baling atau propeler itu cocok untuk menerbangi kawasan bergunung-gunung dan bercelah seperti di Papua.
Ia menyebutkan, salah satu maskapai penerbangan telah menandatangani "letter of interest" untuk membeli 20 pesawat jenis tersebut yang kemudian akan dioperasikan di wilayah Indonesia Timur.
"Pasarnya fokus untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, pengembangannya akan dilakukan 2013-2017. Bila telah ada lisensi terbang maka siap diproduksi massal," katanya.
Untuk merealisasikan proyek N-219, PT Dirgantara Indonesia akan menginvestasikan senilai 16 juta dolar AS. Angka itu masih jauh dari mencukupi, namun akan menjadi langkah awal yang positif bagi pengembangan pesawat kecil itu.
"Investasinya tidak langsung, namun menyisihkan dari laba yang diperoleh perusahaan. Butuh dana besar untuk bisa memproduksi pesawat itu namun kita akan coba dengan skema yang akan kita tempuh nanti," kata Sonny.
Selain akan mengembangkan proyek N-219, PTDI saat ini fokus untuk menyelesaikan pesawat pesanan antara lain CN-235/MPA pesanan TNI AL, kemudian pesawat pesanan TNI-AU termasuk pesawat varian baru N-259 dimana PTDI menjadi pemegang lisensi pemasara di Asia Pasific.
"PTDI melakukan revitalisasi mesin produksi diharapkan bisa meningkatkan produktifitas, dan itu pasti berdampak positif pada kinerja PTDI ke depan," katanya.
Terkait kinerja kontrak PTDI pada 2012 menurut Sonny mencapai Rp8,2 triliun dan ia optimis pada akhir tahun bisa menembus angka Rp9,5 triliun. Kontrak itu antara lain untuk perawatan pesawat, pembuatan komponen, pembuatan pesawat serta lainnya.
"Proyek N-219 telah dirintis sejak 2004, namun terkendala krisis sehingga tertunda pada tahapan desain dan uji materil. Namun harapan memproduksi pesawat itu kini kembali terbuka dan sudah ada yang siap menggunakan pesawat itu," kata Ketua Tim Komunikasi PT Dirgantara Indonesia Sonny Saleh Ibrahim di Bandung, Selasa.
Menurut Sonny, pesawat N-219 tersebut akan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan pesawat perintis untuk dioperasikan di wilayah Timur. Pesawat yang digerakan dengan baling-baling atau propeler itu cocok untuk menerbangi kawasan bergunung-gunung dan bercelah seperti di Papua.
Ia menyebutkan, salah satu maskapai penerbangan telah menandatangani "letter of interest" untuk membeli 20 pesawat jenis tersebut yang kemudian akan dioperasikan di wilayah Indonesia Timur.
"Pasarnya fokus untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, pengembangannya akan dilakukan 2013-2017. Bila telah ada lisensi terbang maka siap diproduksi massal," katanya.
Untuk merealisasikan proyek N-219, PT Dirgantara Indonesia akan menginvestasikan senilai 16 juta dolar AS. Angka itu masih jauh dari mencukupi, namun akan menjadi langkah awal yang positif bagi pengembangan pesawat kecil itu.
"Investasinya tidak langsung, namun menyisihkan dari laba yang diperoleh perusahaan. Butuh dana besar untuk bisa memproduksi pesawat itu namun kita akan coba dengan skema yang akan kita tempuh nanti," kata Sonny.
Selain akan mengembangkan proyek N-219, PTDI saat ini fokus untuk menyelesaikan pesawat pesanan antara lain CN-235/MPA pesanan TNI AL, kemudian pesawat pesanan TNI-AU termasuk pesawat varian baru N-259 dimana PTDI menjadi pemegang lisensi pemasara di Asia Pasific.
"PTDI melakukan revitalisasi mesin produksi diharapkan bisa meningkatkan produktifitas, dan itu pasti berdampak positif pada kinerja PTDI ke depan," katanya.
Terkait kinerja kontrak PTDI pada 2012 menurut Sonny mencapai Rp8,2 triliun dan ia optimis pada akhir tahun bisa menembus angka Rp9,5 triliun. Kontrak itu antara lain untuk perawatan pesawat, pembuatan komponen, pembuatan pesawat serta lainnya.