Mulai Dari Pencurian Teknologi sampai Cara Mengemudi
INI mirip dengan istilah "sengsara membawa nikmat". Kecelakaan ini, meski menimbulkan keributan yang bising, benar-benar memberikan pelajaran yang berharga.
Selama ini, secara ilmiah, memang terjadi perbedaan pandangan di antara lima putra petir yang menciptakan kendaraan/mobil listrik yang saya koordinasikan. Perbedaan pandangan seperti itu juga terjadi di luar negeri yang lagi sama-sama dikembangkan di seluruh dunia.
Ada yang berpandangan mobil listrik tidak perlu menggunakan gearbox. Untuk itu, power dari motor listrik langsung menggerakkan gardan/roda.
Tapi, ahli kita seperti Ir Dasep Ahmadi MSc (alumnus ITB) berpendapat mobil listrik harus menggunakan gearbox. Ricky Elson, putra Padang yang melahirkan 14 paten motor listrik di Jepang, termasuk golongan ini. Demikian juga Ravi Desai (alumnus Gujarat). Mereka setuju tidak harus pakai gearbox, tapi harus hanya untuk mobil dalam kota (city car).
Kecelakaan mobil Tucuxi (baca: tukusi, nama sejenis lumba-lumba) yang saya kemudikan di dataran tinggi Tawangmangu, Sarangan Sabtu pekan lalu memberikan pelajaran yang sangat penting mengenai pilihan-pilihan tersebut.
Saya memang tidak ingin menyatukan pendapat mereka. Ilmuwan perlu diberi kebebasan untuk mewujudkan ambisi keilmuannya. Apalagi, saya menangkap sinyal bahwa para ahli kita itu memang ingin membuktikan kehebatan masing-masing. Saya sangat menghargai itu. Saya memilih bersikap memberikan otonomi yang luas kepada mereka.
Karena itu, ketika Kang Dasep menciptakan mobil AhmaDI dengan menggunakan gearbox, saya dukung penuh. Dana talangan langsung saya kirim. Ketika mobil hijau itu jadi kenyataan, saya langsung mencobanya.
Sebenarnya, pada awalnya saya dan Kang Dasep menanggung malu: Begitu tiba di Jalan Thamrin, Jakarta (dari Depok), mobil AhmaDI "mogok". Media meliputnya dengan besar-besaran. Saya malu sekali. Tapi, saya minta Kang Dasep tidak menyerah. Setelah dianalisis, ternyata mobil itu tidak rusak, melainkan low batt. Indikator baterainya kurang sempurna sehingga "menipu".
Minggu berikutnya kami berdua masih menanggung malu: Mobil listrik itu tidak kuat menaiki tanjakan. Padahal tidak terjal. Padahal perjalanan uji coba itu juga diliput langsung oleh media secara luas.
Sekali lagi saya minta Kang Dasep untuk tidak patah semangat.
Sebetulnya masih banyak "malu" yang lain. Tapi, biarlah itu hanya kami berdua yang merasakan.
Tiga bulan kemudian, ketika mobil AhmaDI kian sempurna, rasa malu itu berubah menjadi bangga. Putra bangsa kita bisa menciptakan mobil listrik. Saya pun mencobanya secara sungguh-sungguh. Saya mengemudikan mobil tersebut hampir setiap hari hingga mencapai 1.000 km.
Kang Dasep sendiri, di luar 1.000 km yang saya lakukan, mencobanya dari Bandung ke Jakarta melalui Puncak. Tidak ada masalah sama sekali. Tanjakan yang terjal dan turunan yang curam dilewati dengan mudah. Kang Dasep dengan ketekunan dan kecerdasannya boleh dikata berhasil gemilang.
Setelah itu saya minta Kang Dasep membuat mobil listrik jenis yang lebih besar. Sebesar Alphard. Tiga bulan lagi insya Allah sudah bisa dilihat. Saya sudah setuju untuk membiayainya. Bahkan, saya juga sudah minta Kang Dasep untuk membuat bus listrik.
Seminggu setelah mobil AhmaDI selesai dicoba sampai 1.000 km, mobil Tucuxi bikinan Mas Danet Suryatama (alumnus USA) selesai dibuat. Saya pun bertekad mencobanya dengan sungguh-sungguh sampai 1.000 km.
Begitu tiba di Jakarta 19 Desember lalu, mobil Tucuxi (semula saya usul namanya Gundala, tapi Mas Danet memutuskan nama ini) saya coba dari Pancoran ke Bandara Soekarno-Hatta. Mas Danet mendampingi saya. Sepanjang perjalanan sekitar 30 km itu saya merasakan apa saja yang menjadi kelebihannya dan apa saja kekurangannya. Mobil tiba di Cengkareng dengan kebanggaan penuh: Mas Danet hebat! Hari pertama ini tidak membawa malu.
Kalau toh ada kekurangannya, hanya kami berdua yang tahu. Saya langsung menyampaikan kekurangan-kekurangan itu ke Mas Danet. Saya minta diperbaiki. Dua hari kemudian Tucuxi saya coba lagi di sekitar Stadion Utama Senayan. Dua jam lamanya. Tucuxi mengelilingi stadion berkali-kali. Beberapa wartawan secara bergantian ikut mencoba duduk di sebelah saya.
Semua yang menyaksikan terlihat bangga. Putra Indonesia ternyata hebat-hebat.
Beberapa kekurangan memang masih terasa. Tapi tidak mungkin diperbaiki di Jakarta. Maka, saya minta Tucuxi dibawa kembali ke Jogja. Mas Danet lantas menuduh saya melakukan pencurian teknologi. Saya tidak begitu jelas teknologi apa yang saya curi dan untuk apa.
Syukurlah, dalam keterangan pers terbarunya akhir pekan kemarin Mas Danet tidak lagi menyebut-nyebut soal pencurian teknologi. Yang dipersoalkan tinggal kesalahan cara saya mengemudi dan (menurut perasaannya) saya akan menyingkirkannya.
Setelah diperbaiki, mobil dicoba di sekitar Jogja. Tidak ada masalah. Termasuk sampai Kaliurang. Tapi, suasana sudah kurang nyaman akibat isu pencurian teknologi yang sudah meluas.
Saya sendiri saat itu lagi keliling hutan jati milik BUMN di Randublatung, Blora, dan Purwodadi. Saya sedang mendesain pola kemitraan antara Perum Perhutani dan masyarakat miskin sekitar hutan. Saya bermalam di Semarang. Karena mau pulang ke Magetan, saya harus lewat Solo. Karena itu, saya minta Tucuxi disiapkan di Solo untuk saya coba lewat medan yang berat.
Itu penting karena uji coba selama ini baru dilakukan di jalan yang datar. Sebagai mobil yang dibuat dengan biaya hampir Rp 3 miliar, mobil tersebut harus dicoba di daerah yang sulit. Terutama melewati jalan yang menanjak. Pikiran saya selalu: Bisakah mengatasi tanjakan? Apalagi sampai 1.300 meter seperti di Sarangan. Ricky Elson menemani saya.
Ternyata hebat sekali. Sepanjang jalan, saya terus memuji Mas Danet. Luar biasa. Tarikannya, power-nya, dan kemampuan menanjaknya hebat sekali. Demikian juga kemampuan baterainya.
Baru ketika jalan mulai menurun dengan sangat tajamnya, dengan belokan-belokan yang berliku, saya mulai waswas. Saya harus menginjak rem sekuat tenaga.
Saya tidak segera menyadari bahwa Tucuxi berbeda dengan AhmaDI. Saya tidak segera menyadari bahwa Tucuxi ciptaan Mas Danet itu tidak menggunakan gearbox. Untuk menahan laju Tucuxi, sepenuhnya hanya menggantungkan pada kekuatan rem. Tidak ada bantuan pengendalian dari gearbox!
Tentu saya mencoba untuk sesekali mengendurkan rem agar tidak overheated. Ini juga disinggung dalam keterangan pers terbaru Mas Danet. Tapi, setiap kali rem saya longgarkan, mobil langsung melaju. Padahal, jalan berkelok-kelok dengan jurang dalam di sisinya. Tentu saya tidak berani tidak menginjak rem kuat-kuat. Mungkin, seperti disebut Mas Danet, saya memang salah dalam cara mengemudi seperti itu.
Tapi, mengingat jurang-jurang yang dalam di kawasan itu, saya terus menginjak rem dengan kekuatan kaki sekuat-kuatnya. Untung, otot kaki saya lumayan kuat karena setiap hari senam satu jam di Monas. Tapi, bau menyengat akibat rem yang bekerja keras tak tertahankan. Saya memutuskan untuk berhenti. Sekalian mendinginkan rem. Penurunan tajam masih akan panjang dan berliku. Totalnya 15 km. Masih akan sampai di Ngerong.
Waktu berhenti ini, semua orang yang mengerumuni Tucuxi membicarakan bau yang menyengat itu. Lantas berfoto-foto di ketinggian lereng Gunung Lawu yang indah. Kabut tebal yang menyelimuti jalan dan dataran tinggi itu menambah keindahan pemandangan.
Seandainya waktu istirahat ini dibuat lama, sampai rem dingin, mungkin kecelakaan itu tidak terjadi. Tapi, saya terikat janji dengan Dr Fachri Aly yang akan ke kampung saya sore itu. Dan malamnya kami masih akan salawatan Maulid Nabi dengan Habib Syekh dari Solo di kampung saya itu.
Kami pun segera berangkat lagi. Tucuxi kembali harus menuruni jalan yang curam dan berliku. Kami belum menyadari bahwa tanpa bantuan gearbox, rem akan bekerja sendirian terlalu keras. Kekuatan kaki saya sepenuhnya untuk menginjak rem sedalam-dalamnya. Bau menyengat kembali menusuk-nusuk hidung.
Ketika akhirnya berhasil mencapai Ngerong, saya pun lega. Tidak ada lagi penurunan yang curam dan berkelok. Jalan memang masih akan terus menurun, tapi sudah tidak ekstrem.
Justru di saat hati sudah lega itulah saya merasakan rem Tucuxi tidak lengket lagi. Mobil melaju di jalan yang menurun tanpa bisa dihambat oleh rem. Saya coba angkat rem tangan. Sama saja. Mobil kian kencang. Tidak terkendali. Saya sadar sepenuhnya. Maka, saya harus ambil keputusan cepat. Terlambat sedikit akan banyak memakan korban.
Saya segera memutuskan ini: Lebih baik saya sendiri yang menjadi korban. Saya lihat ada tebing terjal di kanan jalan. Mumpung tidak ada mobil dari arah berlawanan, saya banting setir mobil itu untuk menabrak tebing tersebut.
Braaak! Mobil hancur. Tidak ada lagi atap di atas kepala saya. Tapi, saya tidak terpelanting. Saya tetap terduduk di belakang setir. Saya raba kepala saya: Tidak ada darah. Saya raba muka saya: Tidak ada luka. Saya gerakkan kaki-kaki saya: normal. Tidak ada yang terjepit.
Setelah mengucap syukur kepada Allah, saya kembali memuji Mas Danet. Konstruksi mobil ini tidak membuat saya mati terjepit atau menderita luka. Bahkan, tergores sedikit pun tidak. Padahal, seperti kata polisi, kaca-kaca mobil ini bukan kaca fiber yang kalau pecah berubah menjadi kristal. Kaca-kaca ini jenis kaca yang pecahnya membentuk segi tiga-segi tiga kecil. Allahu Akbar!
Saya pun memperoleh pelajaran luar biasa hebat: pentingnya fungsi gearbox. Karena itu, ke depan, masyarakat harus bisa memilih: beli mobil listrik yang pakai gearbox atau yang tidak pakai gearbox.
Mungkin saya akan menghadapi masalah hukum akibat pelanggaran saya ini. Itu akan saya jalani dengan seikhlas-ikhlasnya. Tapi, pelajaran teknologi itu akan menyelamatkan banyak orang di masa depan. Saya akan jalani konsekuensi itu, tapi ilmu pengetahuan harus tetap berkembang. Tidak boleh terhenti karena kecelakaan itu.
Baik Kang Dasep yang menggunakan gearbox maupun Mas Danet yang tidak menggunakan gearbox sama-sama hebatnya. Sama-sama sudah membuktikan diri menjadi putra bangsa yang membanggakan. Tucuxi akan dikenang sepanjang sejarah mobil listrik di Indonesia.
Mas Danet akan terus saya dorong untuk proyek berikutnya. Tentu kalau dia terbuka untuk mendiskusikan teknologinya.
Yang penting putra-putra bangsa harus menguasai teknologi mobil listrik. Saya terbuka untuk putra-putra petir yang lain. Mari berlomba untuk kebaikan negeri. Mumpung negara-negara maju juga baru mulai melakukannya.
Kesalahan masa lalu tidak boleh terulang. Kalau mobil listrik tidak kita siapkan sekarang, kita akan menyesal untuk kedua kalinya. Kelak, kalau dunia sudah berganti ke mobil listrik, jangan sampai kita kembali hanya jadi pasar mobil impor seperti sekarang ini!
Mobil listrik made in Indonesia harus berjaya! Sekaranglah saatnya Indonesia punya kesempatan bisa bersaing dengan negara maju! (*)
Ada yang berpandangan mobil listrik tidak perlu menggunakan gearbox. Untuk itu, power dari motor listrik langsung menggerakkan gardan/roda.
Tapi, ahli kita seperti Ir Dasep Ahmadi MSc (alumnus ITB) berpendapat mobil listrik harus menggunakan gearbox. Ricky Elson, putra Padang yang melahirkan 14 paten motor listrik di Jepang, termasuk golongan ini. Demikian juga Ravi Desai (alumnus Gujarat). Mereka setuju tidak harus pakai gearbox, tapi harus hanya untuk mobil dalam kota (city car).
Kecelakaan mobil Tucuxi (baca: tukusi, nama sejenis lumba-lumba) yang saya kemudikan di dataran tinggi Tawangmangu, Sarangan Sabtu pekan lalu memberikan pelajaran yang sangat penting mengenai pilihan-pilihan tersebut.
Saya memang tidak ingin menyatukan pendapat mereka. Ilmuwan perlu diberi kebebasan untuk mewujudkan ambisi keilmuannya. Apalagi, saya menangkap sinyal bahwa para ahli kita itu memang ingin membuktikan kehebatan masing-masing. Saya sangat menghargai itu. Saya memilih bersikap memberikan otonomi yang luas kepada mereka.
Karena itu, ketika Kang Dasep menciptakan mobil AhmaDI dengan menggunakan gearbox, saya dukung penuh. Dana talangan langsung saya kirim. Ketika mobil hijau itu jadi kenyataan, saya langsung mencobanya.
Sebenarnya, pada awalnya saya dan Kang Dasep menanggung malu: Begitu tiba di Jalan Thamrin, Jakarta (dari Depok), mobil AhmaDI "mogok". Media meliputnya dengan besar-besaran. Saya malu sekali. Tapi, saya minta Kang Dasep tidak menyerah. Setelah dianalisis, ternyata mobil itu tidak rusak, melainkan low batt. Indikator baterainya kurang sempurna sehingga "menipu".
Minggu berikutnya kami berdua masih menanggung malu: Mobil listrik itu tidak kuat menaiki tanjakan. Padahal tidak terjal. Padahal perjalanan uji coba itu juga diliput langsung oleh media secara luas.
Sekali lagi saya minta Kang Dasep untuk tidak patah semangat.
Sebetulnya masih banyak "malu" yang lain. Tapi, biarlah itu hanya kami berdua yang merasakan.
Tiga bulan kemudian, ketika mobil AhmaDI kian sempurna, rasa malu itu berubah menjadi bangga. Putra bangsa kita bisa menciptakan mobil listrik. Saya pun mencobanya secara sungguh-sungguh. Saya mengemudikan mobil tersebut hampir setiap hari hingga mencapai 1.000 km.
Kang Dasep sendiri, di luar 1.000 km yang saya lakukan, mencobanya dari Bandung ke Jakarta melalui Puncak. Tidak ada masalah sama sekali. Tanjakan yang terjal dan turunan yang curam dilewati dengan mudah. Kang Dasep dengan ketekunan dan kecerdasannya boleh dikata berhasil gemilang.
Setelah itu saya minta Kang Dasep membuat mobil listrik jenis yang lebih besar. Sebesar Alphard. Tiga bulan lagi insya Allah sudah bisa dilihat. Saya sudah setuju untuk membiayainya. Bahkan, saya juga sudah minta Kang Dasep untuk membuat bus listrik.
Seminggu setelah mobil AhmaDI selesai dicoba sampai 1.000 km, mobil Tucuxi bikinan Mas Danet Suryatama (alumnus USA) selesai dibuat. Saya pun bertekad mencobanya dengan sungguh-sungguh sampai 1.000 km.
Begitu tiba di Jakarta 19 Desember lalu, mobil Tucuxi (semula saya usul namanya Gundala, tapi Mas Danet memutuskan nama ini) saya coba dari Pancoran ke Bandara Soekarno-Hatta. Mas Danet mendampingi saya. Sepanjang perjalanan sekitar 30 km itu saya merasakan apa saja yang menjadi kelebihannya dan apa saja kekurangannya. Mobil tiba di Cengkareng dengan kebanggaan penuh: Mas Danet hebat! Hari pertama ini tidak membawa malu.
Kalau toh ada kekurangannya, hanya kami berdua yang tahu. Saya langsung menyampaikan kekurangan-kekurangan itu ke Mas Danet. Saya minta diperbaiki. Dua hari kemudian Tucuxi saya coba lagi di sekitar Stadion Utama Senayan. Dua jam lamanya. Tucuxi mengelilingi stadion berkali-kali. Beberapa wartawan secara bergantian ikut mencoba duduk di sebelah saya.
Semua yang menyaksikan terlihat bangga. Putra Indonesia ternyata hebat-hebat.
Beberapa kekurangan memang masih terasa. Tapi tidak mungkin diperbaiki di Jakarta. Maka, saya minta Tucuxi dibawa kembali ke Jogja. Mas Danet lantas menuduh saya melakukan pencurian teknologi. Saya tidak begitu jelas teknologi apa yang saya curi dan untuk apa.
Syukurlah, dalam keterangan pers terbarunya akhir pekan kemarin Mas Danet tidak lagi menyebut-nyebut soal pencurian teknologi. Yang dipersoalkan tinggal kesalahan cara saya mengemudi dan (menurut perasaannya) saya akan menyingkirkannya.
Setelah diperbaiki, mobil dicoba di sekitar Jogja. Tidak ada masalah. Termasuk sampai Kaliurang. Tapi, suasana sudah kurang nyaman akibat isu pencurian teknologi yang sudah meluas.
Saya sendiri saat itu lagi keliling hutan jati milik BUMN di Randublatung, Blora, dan Purwodadi. Saya sedang mendesain pola kemitraan antara Perum Perhutani dan masyarakat miskin sekitar hutan. Saya bermalam di Semarang. Karena mau pulang ke Magetan, saya harus lewat Solo. Karena itu, saya minta Tucuxi disiapkan di Solo untuk saya coba lewat medan yang berat.
Itu penting karena uji coba selama ini baru dilakukan di jalan yang datar. Sebagai mobil yang dibuat dengan biaya hampir Rp 3 miliar, mobil tersebut harus dicoba di daerah yang sulit. Terutama melewati jalan yang menanjak. Pikiran saya selalu: Bisakah mengatasi tanjakan? Apalagi sampai 1.300 meter seperti di Sarangan. Ricky Elson menemani saya.
Ternyata hebat sekali. Sepanjang jalan, saya terus memuji Mas Danet. Luar biasa. Tarikannya, power-nya, dan kemampuan menanjaknya hebat sekali. Demikian juga kemampuan baterainya.
Baru ketika jalan mulai menurun dengan sangat tajamnya, dengan belokan-belokan yang berliku, saya mulai waswas. Saya harus menginjak rem sekuat tenaga.
Saya tidak segera menyadari bahwa Tucuxi berbeda dengan AhmaDI. Saya tidak segera menyadari bahwa Tucuxi ciptaan Mas Danet itu tidak menggunakan gearbox. Untuk menahan laju Tucuxi, sepenuhnya hanya menggantungkan pada kekuatan rem. Tidak ada bantuan pengendalian dari gearbox!
Tentu saya mencoba untuk sesekali mengendurkan rem agar tidak overheated. Ini juga disinggung dalam keterangan pers terbaru Mas Danet. Tapi, setiap kali rem saya longgarkan, mobil langsung melaju. Padahal, jalan berkelok-kelok dengan jurang dalam di sisinya. Tentu saya tidak berani tidak menginjak rem kuat-kuat. Mungkin, seperti disebut Mas Danet, saya memang salah dalam cara mengemudi seperti itu.
Tapi, mengingat jurang-jurang yang dalam di kawasan itu, saya terus menginjak rem dengan kekuatan kaki sekuat-kuatnya. Untung, otot kaki saya lumayan kuat karena setiap hari senam satu jam di Monas. Tapi, bau menyengat akibat rem yang bekerja keras tak tertahankan. Saya memutuskan untuk berhenti. Sekalian mendinginkan rem. Penurunan tajam masih akan panjang dan berliku. Totalnya 15 km. Masih akan sampai di Ngerong.
Waktu berhenti ini, semua orang yang mengerumuni Tucuxi membicarakan bau yang menyengat itu. Lantas berfoto-foto di ketinggian lereng Gunung Lawu yang indah. Kabut tebal yang menyelimuti jalan dan dataran tinggi itu menambah keindahan pemandangan.
Seandainya waktu istirahat ini dibuat lama, sampai rem dingin, mungkin kecelakaan itu tidak terjadi. Tapi, saya terikat janji dengan Dr Fachri Aly yang akan ke kampung saya sore itu. Dan malamnya kami masih akan salawatan Maulid Nabi dengan Habib Syekh dari Solo di kampung saya itu.
Kami pun segera berangkat lagi. Tucuxi kembali harus menuruni jalan yang curam dan berliku. Kami belum menyadari bahwa tanpa bantuan gearbox, rem akan bekerja sendirian terlalu keras. Kekuatan kaki saya sepenuhnya untuk menginjak rem sedalam-dalamnya. Bau menyengat kembali menusuk-nusuk hidung.
Ketika akhirnya berhasil mencapai Ngerong, saya pun lega. Tidak ada lagi penurunan yang curam dan berkelok. Jalan memang masih akan terus menurun, tapi sudah tidak ekstrem.
Justru di saat hati sudah lega itulah saya merasakan rem Tucuxi tidak lengket lagi. Mobil melaju di jalan yang menurun tanpa bisa dihambat oleh rem. Saya coba angkat rem tangan. Sama saja. Mobil kian kencang. Tidak terkendali. Saya sadar sepenuhnya. Maka, saya harus ambil keputusan cepat. Terlambat sedikit akan banyak memakan korban.
Saya segera memutuskan ini: Lebih baik saya sendiri yang menjadi korban. Saya lihat ada tebing terjal di kanan jalan. Mumpung tidak ada mobil dari arah berlawanan, saya banting setir mobil itu untuk menabrak tebing tersebut.
Braaak! Mobil hancur. Tidak ada lagi atap di atas kepala saya. Tapi, saya tidak terpelanting. Saya tetap terduduk di belakang setir. Saya raba kepala saya: Tidak ada darah. Saya raba muka saya: Tidak ada luka. Saya gerakkan kaki-kaki saya: normal. Tidak ada yang terjepit.
Setelah mengucap syukur kepada Allah, saya kembali memuji Mas Danet. Konstruksi mobil ini tidak membuat saya mati terjepit atau menderita luka. Bahkan, tergores sedikit pun tidak. Padahal, seperti kata polisi, kaca-kaca mobil ini bukan kaca fiber yang kalau pecah berubah menjadi kristal. Kaca-kaca ini jenis kaca yang pecahnya membentuk segi tiga-segi tiga kecil. Allahu Akbar!
Saya pun memperoleh pelajaran luar biasa hebat: pentingnya fungsi gearbox. Karena itu, ke depan, masyarakat harus bisa memilih: beli mobil listrik yang pakai gearbox atau yang tidak pakai gearbox.
Mungkin saya akan menghadapi masalah hukum akibat pelanggaran saya ini. Itu akan saya jalani dengan seikhlas-ikhlasnya. Tapi, pelajaran teknologi itu akan menyelamatkan banyak orang di masa depan. Saya akan jalani konsekuensi itu, tapi ilmu pengetahuan harus tetap berkembang. Tidak boleh terhenti karena kecelakaan itu.
Mobil listrik harus jaya!
Baik Kang Dasep yang menggunakan gearbox maupun Mas Danet yang tidak menggunakan gearbox sama-sama hebatnya. Sama-sama sudah membuktikan diri menjadi putra bangsa yang membanggakan. Tucuxi akan dikenang sepanjang sejarah mobil listrik di Indonesia.
Mas Danet akan terus saya dorong untuk proyek berikutnya. Tentu kalau dia terbuka untuk mendiskusikan teknologinya.
Yang penting putra-putra bangsa harus menguasai teknologi mobil listrik. Saya terbuka untuk putra-putra petir yang lain. Mari berlomba untuk kebaikan negeri. Mumpung negara-negara maju juga baru mulai melakukannya.
Kesalahan masa lalu tidak boleh terulang. Kalau mobil listrik tidak kita siapkan sekarang, kita akan menyesal untuk kedua kalinya. Kelak, kalau dunia sudah berganti ke mobil listrik, jangan sampai kita kembali hanya jadi pasar mobil impor seperti sekarang ini!
Mobil listrik made in Indonesia harus berjaya! Sekaranglah saatnya Indonesia punya kesempatan bisa bersaing dengan negara maju! (*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
(Sumber : Manufacturing Hope-Jppn.com)
No comments:
Post a Comment